"Jangan menciptakan api jika tak tahu cara memadamkannya"
****
Kabar kedatangan gus Aziz langsung terdengar di seantero pesantren. Termasuk Nur yang sejak subuh sudah kebingungan dengan berita datangnya gus Aziz. Kenapa harus seheboh itu?
Nur memang selalu melaksanakan salat subuh berjamaah bersama dengan mbak Fara di masjid pondok.
Awalnya Nur ragu. Namun, setelahnya ia menjadi biasa saja, ia tidak ingin menilai setiap tatapan santri yang melihatnya. Baginya saat ini hanya dirinya ingin menjadi lebih baik lagi, terserah apa kata mereka yang akan menilai dirinya.
"Mbak kenapa santri heboh sekali, memangnya Gus Aziz itu ke sini?" Mbak Fara mengangguk dan tersenyum manis menatap Nur. Mbak Faranya ini juga kenapa lagi?
"Iya Nur, Gus Aziz mengajar di sini. Pasti nanti sampean kesemsem deh." Nur tidak mengindahkan apa kata mbak Fara. Ia tidak ingin lebih berurusan dengan keluarga dhalem.
"Oh, ya ndak mungkin lah, Mbak," kenapa selalu Nur yang di sangkut pautkan dengan gus Aziz itu. Aduh mbak Fara ada-ada saja.
"Jangan ngambek dong, Nur," kali ini mbak Fara terkekeh karena kelakuan Nur yang terlihat kesal.
"Ndak lah, Mbak. Ya udah yuk, Mbak Nur mau siap-siap buat kerja," mbak Fara mengangguk dan melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda karena pembahasan gus Aziz pengajar baru pesantren Al-Falah.
Nur kembali ke kamar, rencananya hari ini ia akan bersiap lebih awal, selebihnya ia ingin membantu mbak dhalem menyiapkan sarapan untuk keluarga dhalem.
Nur sudah bersiap dengan setelan gamis dan jaket parka besarnya, cuaca pagi ini sepertinya cukup dingin dan mendung. Nur tidak mungkin membiarkannya begitu saja, ia tidak ingin merepotkan budhenya apalagi keluarga ning Firda.
"Nduk, masih pagi kok sudah siap saja?" Nur menghentikan aktifitasnya memasukkan beberapa barang termasuk mukna di tas besarnya.
"Iya Budhe, Riza mau bantuin Mbak dalem buat masak," budhe paham akan keponakannya ini. Ia tidak pernah berbohong padanya.
"Ya sudah hati-hati. Nanti kalau berangkat ndak ada Budhe di kamar berarti Budhe lagi dhuha, ya. Berangkat saja, jangan lupa pamit sama Gus Adnan sekalian Ning Firda, ya." Nur mengangguk, jika sudah diberi pesan seperti ini, ia tidak perlu khawatir akan keadaan budhenya.
"Nggeh Budhe, Riza ke bawah dulu ya," budhe Nina mengangguk. Nur mencium punggung tangan budhe Nina.
"Hati-hati,"
Nur keluar menuju dapur yang biasanya digunakan untuk memasak abdi dhalem dan satu suruhan dari pesantren bernama bu Yanti, mereka biasanya memanggil begitu . Ada sekitar lima santri putri yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Beruntunglah pagi ini jadwal mbak Fara memasak jadi Nur tak perlu takut akan tatapan santri maupun abdi dhalem yang mungkin saja menganggapnya aneh ataupun caper.
"Assalamu'alaikum Bu, Mbak. apa ada yang bisa saya bantu?" Nur berusaha seramah mungkin, ia disini tamu harusnya ia juga bisa bersikap dan membantu bukan hanya sekedar bermalas-malasan.
"Wa'alaikumussalam," jawab mereka serempak.
"Mbak beneran mau bantu? Nanti bau asap loh Mbak, kan udah cantik, rapi juga." Bu Yanti bertanya pada Nur yang sudah berdiri di dapur siap memasak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...