Salam Terimakasih

581 49 13
                                    

"Jangan kembali menggetarkan jika tak ingin suatu kesalahan terjadi"

****

Nur sudah pulang setelah menyelesaikan makan dan membersihkan sisa piring bekas makannya. Ia tak mungkin meninggalkannya begitu saja, terkesan tak sopan.

Setelah dibujuk bahkan dipaksa Nur tetap menolak diantar pulang hanya karena tak enak hati selalu merepotkan. Baik ning Firda ataupun gus Adnan termasuk bu nyai dan pak kiai pun tetap saja Nur memaksakan pulang sendiri.

"Beneran ndak mau diantar pulang?" Untuk kesekian kalinya Nur menggeleng.

"Ngapunten Bu Nyai, Riza sendiri saja. InsyaAllah nanti kalau sudah sampai rumah kulo kabari Ning Firda," putus Nur dengan tak enak hati.

"Ya, wis ndang ati-ati jangan ngebut, ya. Kapan-kapan main ke sini lagi," pasrah bu nyai.

"InsyaAllah, Bu Nyai...sedoyo mawon, kulo pamit rumiyen. Assalamu'alaikum," pamit Nur dengan mencium punggung tangan bu nyai Maimunah dan ning Firda.

"Wa'alaikumussalam,"

Bukan Nur tak sopan, hanya saja ia terlalu malu jika harus selalu merepotkan keluarga dhalem, siapa dirinya yang berani mengatakan nggeh meskipun hanya hal kecil. Nur tak semudah itu.

****

Sudah pukul sembilan, sehabis isya saya memutuskan untuk tetap di masjid menyelesaikan hafalan dan wirid saya.

Saya urung pulang ketika waktu menunjukkan pukul delapan malam, saya takut gadis bergamis masih di dhalem.

Langkah kaki saya masih berat, takut jika sampai saat ini juga gadis bergamis masih tetap di dhalem. Saya bisa saja masuk lewat pintu belakang, tapi urung juga ketika bisa saja umi atau mbak Firda memanggil saya. Lebih baik di masjid saja dulu.

Saya mengetuk pintu dhalem seraya mengucapkan salam. Saya lihat sudah sepi tak ada lagi motor gadis bergamis, mungkin sudah pulang.

"Wa'alaikumussalam. Monggo Gus," saya masuk setelah dibukakan pintu oleh khadamah umi.

"Maturnuwun, Mbak,"

Saya masuk dan menemukan orang-orang yang saya sayangi sudah duduk berjajar pada kursi ruang keluarga. Dan ingat masih ada si kecil Rafa.

"Dari mana saja, Le?" tanya abah setelah saya menyalami semuanya.

"Masjid, Bah."

"Makan dulu, Le biar ndak sakit, nanti biar dihangatkan Mbak santri. Ajak kang mas sama mbak yu mu juga tuh," titah umi yang paling pengertian.

"Nggeh, Mi," saya menurut dan pamit untuk makan jangan lupa dengan pasangan romantis depan saya ini.

Sepertinya mereka lupa jika sudah ada buntut yang sedang asik main mobil-mobilan di karpet bawah.

Saya sudah duduk dengan melihat beberapa nasi dan lauk, jangan ditanya pemandangan di depan saya.

Ya, mbak Firda yang sedang mengambilkan nasi untuk suaminya. Kalau makan hanya untuk melihat mereka bermesraan mending saya makan di dapur saja.

"Dek mau sama lauk apa?" Saya tersentak, duh ternyata mbak Firda tak hanya mengambilkan nasi untuk kang mas, ternyata akupun kebagian juga.

"Sup sama ikan saja, Mbak," singkat ku, dan segera mbak Firda ambilkan.

"Mbak, ndak makan?" tanya saya, karena di sini hanya saya dan kang mas saja yang makan.

"Sudah tadi, Dek." Saya mengangguk dan memulai makan setelah membaca doa.

Suasana hening, kang mas pun masih menikmati makan malamnya. Dan masih dengan mbak Firda yang menemaninya.

"Tadi kenapa ndak pulang, Dek?" tanya mbak Firda setelah melihat saya selesai makan.

"Aziz ke taman, Mbak cari angin," jujur saya.

"Ndak biasanya sampean keluar malam, Gus," saya tersenyum tipis karena pernyataan kang mas.

"Lagi pengen saja," hanya itu yang saya katakan, selebihnya kang mas memilih diam.

"Lah sampean melewatkan kesempatan. Tadi ada Riza," kata mbak Firda dengan antusias. Saya juga tahu mbak.

"Lah kesempatan apa, Mbak?" tanya saya tak paham dan masih dengan menggenggam air putih yang siap saya minum.

"Kesempatan bertemu lah, Dek. Tadi Riza titip salam. Katanya terima kasih sudah menolong waktu itu,"

"Uhu!" Saya tersedak.

Allah hamba kenapa? Kenapa penuturan mbak Firda buat hati saya berpacu begitu cepat? Sehat kan hati?

"Hati-hati, Gus," saya mengangguk karena teguran kang mas.

"Duh ini tisunya. Jadi kemana-mana minumnya. Makanya hati-hati, Dek," saya kembali mengangguk. Yang buat tersedak juga mbak Firda, kenapa mengatakan hal itu waktu saya minum?

"Ngapunten, Mas, mbak."

****

Aku sudah sampai rumah, alhamdulillah sampai dengan selamat. Aku juga sudah memberi kabar ning Firda sesuai janjiku.

"Mbak kemana saja?" Baru saja mau rebahan sudah dituding Jihan dengan pertanyaannya.

"Habis mampir ke pesantren Al Amin," singkat ku.

"Kok bisa?" Aku tak habis pikir kenapa adikku bisa kepo seperti ini?

"Udah belajar aja, Mbak mau tiduran bentar," putusku tak mau menanggapi pertanyaan Jihan

"Solat isya dulu, Mbak," katanya kesal mungkin. Aku hanya berdehem setelahnya memosisikan diri untuk rebahan. Sungguh nikmat sekali.

Malam jangan pernah bosan akan jeritan penantian ku. Tuhan belum mengizinkan jika aku kembali berbalas surat dengannya. Malam jangan murung, aku tahu menanti melelahkan tapi aku penasaran.

Tak ada angin tak ada hujan dia berkirim surat dan tak ada angin tak ada hujan pula dia menghilang.

Malam, apa harus aku menunggu sedang aku sendiri pun sepertinya selalu memikirkan kang sorban yang berbaik hati memberikan sorbannya untuk menghangatkan tubuh lusuh ku.

Tuhan, aku hanya ingin yang terbaik saja.

****

Alhamdulillah hehe
Lanjutin tidak? Semoga suka sama part ini yaa

Insya Allah setiap hari bakal update,
Semoga jadi teman berbuka puasa yaa

Jazakallahu khairan katsir ❤️

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang