"Berkata memang mudah, namun melakukan adalah tantangan
****
Dua minggu menjelang pernikahan Nur belum menceritakan apapun pada sahabatnya. Tak ada yang tahu bahkan tak ada yang curiga dengan cincin yang tersemat di jari manis Nur.
Nur sudah pasrah, menolak pun sudah terlambat. Semua sudah bahagia tapi tidak dengan perasaannya yang semakin hari semakin memikirkan kang sorban yang tampan. Bahkan Nur lupa akan undangan kang santri yang mengatakan jika satu bulan lagi akan menikah.
Jujur Nur kaget akan balasan itu, ia tak bisa datang karena Nur pun akan menikah dengan laki-laki yang Nur saja tak tahu siapa orangnya, seperti apa sosoknya bukankah itu hal yang konyol?
Bukan apa-apa itu semua keinginan Nur. Ia hanya berpikir jika nanti bertemu ia takut akan membatalkan semua rencana keluarganya, Nur tak ingin hal bodoh terjadi.
"Dua minggu lagi ke rumah, ya!" singkat Nur memberi tahu kedua sahabatnya yang sedang asik bermain ponsel.
"Ngapain?" tanya Najma tak paham.
"Aku mau nikah, datang, ya. Udah aku izinkan ke Pak Bos," jelas Nur tak semangat.
Sedang kedua sahabatnya sudah tertawa, lalu apanya yang lucu?
"Kamu bercanda?" Kini giliran Laila yang bertanya, mungkin tak percaya.
"Ndak, buat apa bercanda," singkat Nur yang membuat kedua sahabatnya melongo.
"Serius? Tapi sama siapa? Lamarannya kapan? Terus kenapa langsung nikah? Mana undangannya?" Bisakah Nur lenyap saat ini juga? Kenapa pertanyaan Najma begitu banyak, Nur pusing Tuhan.
"Satu-satu," lerai Nur dengan lesu.
"Jawab aja lah!" paksa Najma
"Serius, aku kan pernah bilang dijodohkan sama orang tua, ya aku terima. Lamarannya udah dua minggu yang lalu. Bukankah lebih cepat lebih baik hmmm? Undangannya waktu resepsi saja, udah," Nur menelungkup kan kepalanya di antara kedua tangan yang ia lipat. Lelah sekali rasanya memberitahu mereka.
"Calonnya ganteng ndak, Mbak?" Nur bangun dan mendelik, tak habis pikir akan pertanyaan Laila
"Ndak tahu," singkat Nur.
"Dih pelit banget, gak bakal aku tikung, Mbak," kesal Laila
"Aku ndak tahu Lail, aku belum lihat calonku seperti apa dan kaya apa. Yang aku tahu pilihan orang tua pasti yang terbaik," skakmat. Laila diam sedang Najma sudah tersenyum entah senyum yang sulit diartikan.
"Konyol. Nur ini pernikahan bukan permainan, kamu kata cinta ndak bisa dipaksa. Lalu apa yang kamu lakukan apa ndak maksa perasaan kamu buat cinta sama suami kamu nantinya? Ya, nanti kalau kamu bisa, Alhamdulillah, tapi kalau kemungkinan terburuknya kamu ndak bisa apa akan terus memaksa?" Nur diam. Perkataan Najma sungguh benar.
"Semuanya sudah terjadi, Naj. Ndak mungkin aku batalkan," singkat Nur, memang keras kepala.
"Keras kepala. Masih ada waktu Nur, pikirkan lagi. Ini masa depanmu," paksa Najma. Sedang Nur sudah menangis, entahlah kenapa akhir-akhir ini ia begitu rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...