"Jika takdir tak berpihak pada kita, sekuat apapun kita berusaha akan tetap gagal. Tatap saja takdir akan mengatakan bahwa belum sekarang waktunya"
****
Subhanallah wal hamdulillah, seindah ini pagi yang kembali menyapa. Seindah ini awan yang ceria bersama mentari.
Seindah senyum manis wanita itu. Wanita yang membuat saya terjebak dalam candu. Terjebak kerinduan tanpa tahu bagaimana cara temu, bagaimana cara bersatu.
"Pagi-pagi sudah mesam-mesem saja, Gus." Saya terperanjat kaget. Astagfirullah ternyata kang Ali.
"Astagfirullah ngagetin saja, Kang." Kang Ali terkikik dan sedikit menggeleng. Ada yang salah dengan saya?
"Assalamu'alaikum, Gus. Maaf sudah mengagetkan jenengan. Ini salam saya yang ke tiga loh, Gus," saya kembali tidak percaya, kang Ali sedang tidak bercanda kan?
"Wa'alaikumussalam. Maaf kang saya ndak tahu," sesal saya.
Kang Ali kembali terkekeh dengan sedikit gelengan kepala. Sepertinya ada yang salah dengan saya.
"Gus-Gus masih pagi jangan melamun, nanti jodohnya diambil ayam," kali ini saya sedikit tertawa, ada-ada saja.
"Saya ambil lagi, Kang jodoh saya," kami saling tertawa setelah candaan garing ini.
Lama hening, hingga akhirnya saya ingat akan surat balasan untuk gadis bergamis.
"Tunggu di sini sebentar, Kang. Daya ke dalem dulu. Ada yang mau saya titip kan," kata saya, kang Ali hanya mengangguk.
Posisi saya dan kang Ali masih berada di halaman pesantren. Rencana saya ingin keluar untuk sekedar olahraga pagi, tapi urung karena bayangan gadis bergamis yang sulit sekali saya tepis.
"Ini Kang, biasa ya. Semoga hari ini langsung bisa bertemu." Kang Ali tersenyum dan lagi-lagi mengangguk. Kali ini anggukannya lebih antusias.
"Siap, Gus. Jangan lupa kunjungi koperasi ya, Gus." saya yang mengangguk.
"Koperasi sepi, Gus. Ndak ada jenengan, santri yang mau beli juga kebanyakan ndak jadi," lanjut kang Ali.
"Kenapa memangnya, Kang?" tanya saya penasaran.
"Kebanyakan santri putri kan beli kalau ada jenengan, Gus," penjelasan kang Ali buat saya bingung. Memang ada apa dengan saya?
"Memangnya saya kenapa, Kang?" Kang Ali nampak menggaruk belakang kepalanya. Mungkin bingung.
"Gus Aziz, itu sudah seperti magnet buat santri putri, Gus. Apalagi buat mereka yang mengagumi Gus Aziz, kan jadi ndak butuh pun dibeli demi bertemu idola mereka," benar apa kata kang Ali? Saya tidak terlalu peduli.
****
"Kalau mau berangkat hati-hati. Jangan lupa pamit sama Gus Adnan sama istrinya juga," pesan budhe sebelum aku benar-benar berangkat.
Kali ini aku memutuskan untuk berangkat sendiri meskipun aku tidak tahu nanti pulangnya berani atau tidak.
Seperti biasa bergamis dan berjilbab besar tidak lupa tas besar dengan mukna yang selalu aku simpan, berjaga saja barangkali waktu salat masih di jalan jadi tidak repot jika menemui mushola dengan sedikit mukna, jadi tidak harus menunggu gantian pakainya.
Aku juga membawa sorban yang dipinjamkan kang santri waktu itu, entah nanti atau kapan bisa lewat pesantren Al-Amin. Semoga secepatnya saja, tidak baik berlama-lama menyipan barang milik orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...