Haruskah ada luka atau bahagia?

915 78 23
                                    

"Luka akan datang karena sebuah kecewa"

####

Tarub megah menanti ning Nisa untuk segera memasukinya, gemuruh di dadanya tak beliau hiraukan sama sekali, sesak sudah menyerang sedari tadi. Ini keputusan ning Nisa, beliau harus ikut bahagia meski terlalu memaksakan hati dan perasaannya untuk tetap biasa saja bahkan memaksakan senyum palsu yang menyiksa matanya sendiri karena menahan air mata yang sudah menggenang. Bisakah ning Nisa bersikap biasa saja? Memilih menutup mata saja, sebenarnya bisa. Hanya saja ning Nisa terlalu memaksa dan tak enak hati pada sosok sahabat kecil yang pernah ning Nisa tinggalkan. Tak ada janji, harusnya tak ada kecewa.

"Ning, baik-baik saja?" Ning Nisa mengangguk, namun tatapan heran mbak Mus mantap bila ning nya ini tengah menahan sesuatu.

"Apa kita pulang saja, Ning?" tanya mbak Mus lagi.

"Ndak Mbak, kulo sae! Estu, Mbak." Ning Nisa berusaha meyakinkan.

"Njeh pon, Ning. Kulo manut mawon."

Langkah mereka kembali beriringan dengan suasana hati masing-masing. Ning Nisadengan debaran menyesakkan sedang mbak Muslihah khadamah ini tampak mencuri pandang pada ning nya yang sering kali mengusap ujung matanya dengan tisu yang Ningnya pegang.

Ada rasa kasihan, terlebih khadamah ning Nisa ini tahu bila Ningnya sedang tak baik-baik saja karena datang hanya sebagai tamu undangan.

"MasyaAllah Ning, monggo." ning Nisa masuk ke tenda dengan nuansa putih gold itu, mengikuti salah satu khadamah dari pesantren Al-Amin.

"Lenggah rumiyen, Ning." Ning Nisa mengangguk.

Terlihat jelas sepasang pengantin yang sedang saling tersenyum bahagia, lagi-lagi air matanya yang mewakili semua yang ning Nisa rasakan. Kelihatan jelas di mata ning Nisa bahwa pasangan pengantin itu tengah berbahagia bahkan sangat bahagia. Seharusnya ning Nisa ikut bahagia bukan sebaliknya. Soal hatinya, ning Nisa hanya butuh ikhlas meski itu sulit bahkan sangat menyakitkan.

Laki-laki yang ning Nisa dambakan sejak masih menginjak remaja harus rela ning Nisa lepaskan demi kebahagiaannya. Ah bukan salah laki-laki itu, ning Nisa saja yang terlalu percaya diri bahwa jodohnya kelak akan dia yang sedang bahagia di depannya dengan wanita pilihannya, jodohnya laki-laki yang sekarang sudah bersuami dan bukan dirinya, dengan bodohnya ning Nisa percaya bahwa nasab mempermudah ning Nisa untuk berjodoh dengan laki-laki idamannya itu. Padahal Allah menilai seorang hamba itu sama, bukan karena nasab atau status sosial di masyarakat.

"Ning baik-baik saja?" Sebenarnya mbak Mus bingung harus bertanya apa, keadaan ning Nisa benar-benar mengenaskan dengan mata yang mulai memerah. Apakah seharusnya mbak Mus mengajak ningnya ini pulang saja?

"Baik Bbak, kita ke depan, ya. Antarkan ini," ajak ning Nisa dengan menunjukkan paper bag batik yang beliau bawa.

"Ning yakin?" Dengan hati-hati mbak Mus berusaha meyakinkan.

"InsyaAllah Mbak, tenang saja mbak. Saya baik-baik saja." Mbak Mus mengangguk ragu dan mengikuti langkah ning Nisa dari belakangnya.

****

"Duduklah kelihatannya sampean lelah sekali." Sudah berjam-jam Nur berdiri di kuade bersama dengan gus Aziz.

Bersanding bersama saling mengamini setiap tamu yang datang dengan berbagai doa yang mereka panjatkan.

"Nanti saja Gus, ada tamu lagi." Gus Aziz kembali mengikuti arah pandang istrinya. Seketika tubuhnya menegang, rasa bersalah kembali menerjang pikiran bahkan hati gus Aziz.

Wanita yang sedang berjalan ke arahnya ralat maksudnnya ke arah gus Aziz dan Nur adalah ning Nisa, wanita yang menyatakan masih menunggunya. Masih mencintainya, gus Aziz pun masih ada rasa meski sedikit, tapi melihat akan senyum yang entah artinya apa gus Aziz hanya bisa menghela nafas, terlebih terlihat jelas jika mata gadis itu sembab, benarkah ning Nisa menangisinya?

"Barakallahu laka wa baraka alaika wajama'a bainakuma fii khair, Ning, Gus." Doa ning Nisa tepat didepan Nur dan gus Aziz dengan menatap secara bergantian.

"Matur nuwun, Ning," jelas yang menjawab gus Aziz. Nur masih tersenyum menatap wanita di depannya dengan tatapan heran.

Ada air mata tertahan, ada senyum yang dipaksakan. Nur sadar bahkan tahu bagaimana perasaan wanita di depannya tetap berusaha kuat. Awalnya Nur kaget namun sebisa mungkin ia harus bersikap ramah bahkan menampilkan wajah tak tahu apapun tentang suami dan wanita di depannya ini.

"Sama-sama Gus, semoga bahagia. Doakan saya segera menyusul." Ada kekehan menyakitkan yang ning Nisa keluarkan. Rasa tak rela melepaskan. Akankah ning Nisa bahagia setelah ini?

Penantiannya sia-sia, takdir berkata lain, jodohnya bukan gus Aziz. Semestanya bukan lagi gus Aziz, mulai hari ini ning Nisa harus benar-benar ikhlas, meski banyak duka bahkan air mata.

Doanya bukan lagi tentanng gus Aziz melainkan tentang kebahagiaannya dengan jodohnya kelak, jodoh yang sudah tertulis di lauhul mahfudz. Laki-laki pemilik tulang rusuknya kelak. Tapi apakah bisa mengikhlaskan secepat ini?

"Aamiin, saya doakan semoga segera bertemu dengan laki-laki terbaik untuk Ning Nisa,"

"Aamiin, maturnuwun, Gus." Untuk saat ini ning Nisa hanya bisa memasang senyum semanis mungkin walaupun terkesan dipaksakan.

"Sami-sami, Ning,"

"Saya permisi, Ning, Gus. Assalamu'alaikum," pamit ning Nisa yang merasa bahwa sebentar lagi akan ada air mata yang tumpah kemana-mana. Tak mungkin jika beliau menangis di tempat ini kan?

"Iya, Ning hati-hati," ujar Nur tulus.

"Wa'alaikumussalam," jawab sepasang suami istri ini.

*****

Sepulangnya ning Nisa sikap gus Aziz yang semula mencair kini kembali mendingin. Entahlah untuk saat ini gus Aziz merasa ada yang aneh dengan ning Nisa, pun ada rasa tak rela melihat ning Nisa menangis.

Sedari tadi Nur hanya diam tak tahu harus berbuat apa, harus bagaimana bersikap dengan suaminya yang seolah diam saja dan seperti tak melihatnya sama sekali. Ada apalagi ya Allah? Batin Nur.

"Gus," panggil Nur lirih.

"Hmm.."

"Apa saya boleh ganti baju dulu?" Nur berkata sangat hati-hati mengingat suaminya ini gampang sekali merubah moodnya.

"Iya, silakan." Hanya kata itu yang gus Aziz keluarkan, selebihnya gus Aziz kembali ke diamnya.

Nur yang sudah mendapat izin pun langsung beringsut pergi meninggalkan kuade yang kini tinggal beberapa tamu, mengingat ini hampir maghrib.

Sampai di kamar gus Aziz yang saat ini pun di tempatinya, Nur bergegas melucuti semua pernak pernik yang terpasang di kepalanya sampai dengan membersihkan make up nya, rasanya ini lebih melegakan. Wajahnya terasa lebih ringan setelah make up nya hilang. Nur beringsut ke kamar mandi, membersihkan dirinya dan bersiap untuk salat maghrib berjamaah, semoga Nur setelah kembali ke kamar mandi gus Aziz sudah kembali ke kamar dan bersiap berjamaah dengan Nur.

Tiga puluh menit berlalu, Nur sudah selesai berkutat di kamar mandi. Nur keluar, dan benar ditemukannya sang suami yang sedang duduk dengan kaus putih polos berlengan pendek, entah di mana jas yang suaminya pakai tadi.

"Sudah selesai?" pertanyaan dingin yang terlontar dari sang suami.

"Sampun Gus. Njenengan badhe siram?" Sebisa mungkin Nur tetap bersikap lembut walaupun sang suami masih dingin padanya.

"Iya," hanya itu. Nur hanya bisa mengangguk dengan batin yang terus saja bertanya, ada apa dengan suaminya ini? Kenapa setelah ning Nisa datang gus Aziz terkesan lebih dingin padaku, batin Nur.

"Kulo siapaken gantose, Gus."

Gus Aziz hanya diam dan langsung bergegas ke kamar mandi tanpa menatap Nur sama sekali. Di sinilah Nur hanya bisa tetap sabar, ingatkan saja mereka masih saling menyesuaikan diri masing-masing dengan status mereka saat ini meski Nur sudah merasakan debaran ketika di dekat gus Aziz dan gus Aziz pun sudah menyatakan cintanya kala itu, sudahlah.

*****

Tbc.

Yang rindu mana suaranya?😄

Lanjut jangan?
Ditunggu vote dan komentarnyaaa

Jazakallahu Khairan katsir💕

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Salam RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang