"Kadang ekspektasi tak sesuai dengan realita dan kadang keinginan pun tak sesuai dengan harapan. Maka dari itu jangan terlalu berharap apalagi pada manusia"
****
Nur sudah pulang? Sudah, untuk saat ini suasana hatinya mungkin sedang tidak baik-baik saja. Ia sekalipun tidak memikirkan kang pemberi surat bahkan kang sorban yang tampan.
Memang masih ada rasa penasaran tentang kang santri pengirim surat dan penitip sorban. Nur bukan tempat penitipan barang, ingat itu.
"Katane udah pulang? Kok murung, rindu Kang santri ya?" goda Najma, membuat yang digoda menegakkan duduknya yang sempat lemas tidak berdaya.
"Ndak. Jangan terlalu banyak menerka," singkat Nur.
"Dih nesu," timpal Laila
"Ndak, jangan sok tahu," malas Nur dengan menyembunyikan wajahnya di antara lekukan kedua tangannya.
"Lah aku sukane tempe," timpal Laila lagi.
"Ndak nanya," skak mat, keduanya diam.
Suasana hening, entahlah saat ini Nur ingin mencari ketenangan. Haruskah ia bercerita pada dua sahabatnya?
Bingung ada hal yang memberatkan Nur, meskipun sudah dipasrahkan, tapi apakah bisa Nur melewatinya?
"Mbak," panggil Laila ketika Nur benar-benar membenamkan wajahnya di antara kedua lekukan tangannya.
"Hm,"
"Nur," giliran Najma yang berusaha memanggil Nur.
"Hm," hanya kata itu yang keluar dari mulut Nur. Tidak ada yang kurang bahkan lebih, hanya sebatas gumaman pun sangat lirih.
Nur kenapa?
"He bocah, cerita kenapa? Lemes banget! Pms, Bu?" tanya Najma yang masih tidak ada tanggapan dari Nur.
Laila dan Najma pasrah, memang temannya benar-benar batu hidup pula. Ingin rasanya mereka berdua menceburkan Nur ke sumur agar berbicara.
*****
"Duduk sini, Nduk," aku menurut akan titah ibu, mungkin saja rindu setelah sebulan tak pulang ke rumah.
"Nggeh, Bu,"
Ibu tersenyum, ada bapak di sana. Mereka sama-sama tersenyum jadi terlihat lebih muda dari biasanya. Perpaduan antara siluet senja dan menjelang malam sama-sama menakjubkan.
"Usiamu berapa, Nduk?" tanya bapak, tumben saja bapak bertanya masalah usia. Bukannya harusnya beliau tahu? Entahlah.
"Dua puluh satu tahun, Pak," singkat ku.
Jujur saja hatiku tak enak bapak menanyakan soal usia. Banyak sekali aku menerka dari hal baik bahkan kurang baik, astagfirullah.
"Sudah besar ya, pantas saja ada yang melamar,"
Degh
Benar gudaa ku, firasat bahkan terkaan yang saat ini ada di benakku. Tuhan, apakah harus secepat ini?
"Maksud, Bapak?" Aku mencoba mencerna dengan bertanya, meskipun aku tidak yakin jawabannya akan mengenakkan hatiku.
"Ada seseorang yang melamarmu, Nduk buat dijadikan menantunya." Untuk saat ini bolehkah aku lenyap sekejap? Secepat ini? Apa yang harus aku katakan? Apa yang harus aku lakukan?
Untuk beberapa saat bahkan beberapa waktu yang lalu aku sempat memikirkan kang sorban yang tampan tapi tak pernah ku jumpai lagi. Bahkan kang santri yang ku tunggu pun hilang ditelan waktu. Mungkin saja bosan berkirim surat balasan padaku.
"Jadi, bagaimana?" kali ini pertanyaan ibu sangat aneh, bagaimana apanya?
"Apanya, By?" tanyaku, kedua orang tuaku hanya saling lempar pandang. Ada yang salah?
"Terima atau tidak? Bapak sama Ibu setuju," pernyataan ibu buatku tertohok.
Tuhan pernyataan apalagi ini? Haruskah secepat ini? Haruskah aku melawan atau rela dijodohkan? Masalahnya aku pun punya pilihan.
"Tapi, Bu..."
"Ibu sama Bapak ndak mau sampean celaka seperti kemarin. Ibu sama Bapak tahu semuanya. Makanya dengan menikahkan sampean kami jadi lega karena sampean ada yang jaga. Alasan lain Ibu pengen punya cucu," jelas ibu.
Sesak sekali rasanya, haruskah aku menjawab iya begitu saja? Memang menyerahkan semua kebahagiaan demi beliau berdua pun tidak akan cukup baktiku pada kedua orang tuaku, tapi haruskah jalanku menikah dengan dijodohkan?
"Boleh Riza pikirkan dulu, Bu?" putusku, tidak mungkin juga aku langsung mengiyakan sedang aku sama sekali tidak tahu siapa calonku sebenarnya.
*****
"Allah..." gumam Nur yang membuat kedua sahabatnya menatapnya penuh tanya.
"Kamu nangis?" tebak Najma
Nur tidak menjawab hanya kembali menyembunyikan kepalanya di lekuk tangannya.
"Ceritakan Mbak, barangkali kita bisa bantu," tutur Laila halus, tidak seperti biasanya yang heboh.
"Aku dijodohin,"
"Apa?" satu kata yang membuat kedua sahabat Nur tidak percaya. Kenapa bisa?
"Kok bisa?" tanya Najma penuh selidik.
"Ndak tahu," Najma dan Laila menghembuskan nafasnya berat, beginilah punya teman bucin sekali galau susah cerita?
"Lalu nasib Kang santri bagaimana? Sama Akang-Akang yang lain?" Najma mendelik, tidak percaya akan apa yang ditanyakan Laila.
"Ndak tahu juga," singkat Nur.
"Kamu sukanya sama siapa?" kali ini Najma mencoba bertanya, semoga saja bisa membuat Nur duduk dengan benar tanpa muka dibenamkan seperti saat ini.
"Ndak tahu juga," Najma sudah istigfar, kenapa sulit sekali menebak wanita satu ini.
"Jangan bilang suka sama temennya, Kang Ali?" tebak Najma dengan memicingkan netranya dan mencari kebenaran akan sikap Nur kali ini yang tiba-tiba memalingkan wajah dan bersemu merah.
"Dih blushing..."
Plakkk! Satu tepukan mendarat di lengan Laila karena ulah Nur yang tiba-tiba salah tingkah. Terlalu kentara jika memang Nur menyukai kang sorban.
"Jadi benar suka sama Kang sorban?" Najma sengaja tidak menyebutkan nama kang sorban, ia sudah berjanji tidak akan memberitahu siapapun.
"Ndak lah ngarang," memang jawabannya lantang, namun dari tatapan mata Nur ada rasa gelisah yang membuat gelagatnya berubah.
"Bilang aja suka susah amat, nanti aku bilangin sama Kang sorban biar dia ke rumahmu nglamar kamu biar ndak dijodohin." Nur sudah diam dan kembali menenggelamkan kepalanya. Ucapan Najma tidak bisa dibiarkan, kalau memang benar Najma mengatakan bagaimana?
"Dih ndak usah ngarang," timpal Nur setengah takut jika benar Najma melakukannya.
"Ya daripada galau dijodohin? Lagian Bapak kamu kok aneh, udah jaman milenial gini masih main jodohin aja. Kasian kali ah anak gadisnya," cerocos Najma
"Ndak taulah" kesal Nur.
"Hahah jangan marah, nanti anterin aku pulang ya. Uangku habis ndak ada yang buat ngangkot," Nur mengangguk, setidaknya ia bisa sedikit refreshing otak dengan jalan mengantar pulang Najma
"Iya,"
****
Bagaimana? Dilanjut tidak?
Jangan lupa vote dan komentarnya yaa ditunggu pokoknyaaJazakallahu khairan katsir❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Salam Rindu
General Fiction"Jika boleh di ibaratkan senyuman itu bak bulan sabit. Lengkungannya semakin memancarkan keindahan. Jika diperkenankan Tuhan rembulan itu akan selalu terngiang kapanpun Jika diibaratkan mentari, sudah sangat menghangatkan meski dari jauh. Maafkan sa...