17 | Lumpur

3.9K 244 2
                                    

Kata mereka, orang tuanya sudah tiada sejak dia masih bayi. Adapula yang berkata kalau orang tuanya membuangnya ketika dia masih bayi. Retta tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak tahu siapa orang tua kandungnya. Dia tidak ingin pusing memikirkan perihal itu lagi. Karena jika pertanyaan mengenai orang tua kandungnya terus bersarang di otaknya, itu akan membuatnya sedih.

Jadi, Retta memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Tapi, jika diberi kesempatan, mungkin dia ingin mendapatkannya. Sejujurnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang tua kandungnya.

Setelah bertemu dengan Indira dan keluarga Indira. Retta sudah dianggap seperti anak kandung oleh Indira, itu sudah lebih dari cukup, walau tidak ada sedikitpun ikatan darah antara dirinya dengan Indira. Namun, Indira telah memberinya kasih sayang yang sudah lama sekali dia inginkan. Setidaknya, Retta bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga.

Malam ini, mereka berkumpul di ruang keluarga rumah neneknya Melvin. Entah kenapa, Retta dan Melvin tiba-tiba diminta duduk menghadap kakeknya Melvin. Sedangkan Indira dan neneknya Melvin duduk agak jauh dan hanya memperhatikan.

"Kalian udah besar sekarang," ucap kakeknya Melvin basa-basi. "Kaki Kakek lagi sakit. Jadi, besok pagi Kakek mau kalian bantuin Kakek mungut keong sawah di sawah Kakek."

"Mungut keong sawah?" Melvin bertanya, kurang yakin.

Kakeknya Melvin mengangguk. "Iya, gak lama lagi Kakek mau tanam padi. Jadi, sawah perlu dibersihin."

Retta terdiam. Melirik ke arah Indira, dan Indira hanya tersenyum ke arahnya.

"Pokoknya, besok pagi kalian harus bantuin Kakek," ucap kakeknya Melvin mempertegas.

Seumur hidupnya, Melvin tidak pernah pergi ke sawah. Kampung halaman ibunya memang diapit oleh persawahan yang begitu luas. Melvin terlihat sangsi untuk mengiyakan perintah kakeknya itu. "Kek, gimana kalo Melvin upahin orang lain aja buat bersihin sawah Kakek, sekaligus tanam padi terus."

Kakeknya Melvin menggeleng, tidak setuju dengan tawaran cucunya itu. "Kakek tau kamu banyak duit. Yang Kakek butuhin itu bukan duit kamu. Tapi, tenaga kamu. Kakek juga pengin kasih pelajaran ke kamu, gimana caranya hidup susah. Kamu toh enak, duit bapakmu banyak. Pasti belum pernah ngerasain pas enggak ada duit. Kamu pasti belum pernah ke sawah demi habis panen punya beras buat makan. Kakek sama nenekmu di sini walau udah tua tetap ke sawah. Untung kami masih sehat-sehat aja. Kamu yang masih SMA, tenaga masih banyak, mungut keong sawah aja gak mau."

"Apa kamu gengsi pergi ke sawah karena kamu akan jadi penerus perusahaan besar bapakmu?" lanjut kakeknya Melvin.

Melvin menggeleng. "Enggak, bukan gitu maksud Melvin, Kek."

"Ya sudah, pokoknya besok Kakek butuh tenagamu sama Retta." Kakeknya Melvin bangkit dari duduknya. "Kakek mau istirahat dulu." Lalu berlalu pergi.

Retta menatap lagi ke arah Indira. Retta pun sangsi, dia belum pernah ke sawah sekalipun.

Seolah mengerti tatapan Retta, Indira membuka suara sambil tersenyum geli, "Pergi aja! Sesekali pun. Lagian, biar punya pengalaman ke sawah."

Mendengar itu, otomatis Retta akan ikut ke sawah untuk memungut keong sawah besok pagi bersama Melvin. Tunggu dulu, bersama Melvin? Gawat ini!

🌠🌠

Matahari baru saja keluar dari ufuk timur. Kaki bersama sepatu boot kebesaran yang dipakai Retta itu, setengah tenggelam dalam lumpur sawah milik kakeknya Melvin. Ini, adalah pertama kalinya Retta menginjakkan kakinya ke persawahan.

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang