41 | Benci

2.8K 164 5
                                    

Bel pulang terdengar. Semua siswa-siswi bersiap-siap untuk beranjak dari tempat duduk masing-masing. Begitu guru keluar dari kelas, para murid mengekori di belakang. Retta menyuruh Adora duluan saja, sebab dia ingin keluar terakhir dari kelas. Dia menyadari kalau Melvin ada di luar kelas, sedang menunggunya.

Usai dalam kelas tersisa dirinya, dia pun keluar. Berhenti tepat di depan Melvin. Matanya berkaca-kaca melihat wajah cowoknya yang masih terlihat memar itu, agak membiru. Juga ada plester di sana. Tangan Retta terangkat, menyentuh lembut wajah Melvin.

"Gue gak suka lihat lo terluka kayak gini," lirihnya. "Berapa kali gue bilang? Jangan suka marah-marah! Tahan emosi lo!"

Melvin menggenggam tangan Retta yang tadinya menyentuh wajahnya. "Kenapa lo gak cerita ke gue?"

"Ini alasannya." Retta menjauhkan tangannya dari Melvin. "Gue gak mau cerita karena gue tau lo cepat marah, gue gak mau lo berantem. Dan lihatlah! Lo beneran berantem pas tau dari seseorang. Nama lo jadi tercoreng gara-gara gue. Gue gak suka kayak gini, Vin!"

"Lo salah juga gak cerita sama gue. Gue pacar lo! Gue harus tau sesuatu yang berani nyentuh dan nyakitin punya gue."

"Tapi, gak gini juga caranya."

"Terus gimana juga?!" Suara Melvin naik beberapa oktaf, terdengar seperti membentak. "Gue berantem sama tuh orang karena dia udah kasarin lo! Gue gak terima lo diperlakuin kayak gitu!"

"Si Leo udah minta maaf sama gue." Tatapan Retta tepat ke bola mata Melvin, didapatinya masih ada sirat kemarahan di sana. "Lama-lama gue capek sama lo! Dikit-dikit marah! Dulu aja, gue tahan banting sama amarah lo. Tapi, sekarang, gue benar-benar capek, Vin! Lo masih sama aja! Karena lo yang pemarah itu, hati-hati, orang yang awalnya sayang sama lo bisa jadi benci. Emang sih, kata orang marah itu tanda sayang. Tapi, marah lo beda. Lo keterlaluan, tau gak?!"

Napas Retta naik turun. Mengeluarkan apa yang ada di kepalanya. Melvin terlihat bungkam untuk beberapa saat.

"Gue berantem sama tuh anak karena gue sayang sama lo. Tapi, gini lo anggap gue?!" bentak Melvin. "Jadi, lo benci sama gue?!"

Tanpa sadar Retta mengangguk kecil, sesuatu yang di luar perintahnya sendiri. Matanya menjadi buram dengan air mata karena dibentak seperti itu oleh Melvin.

"Benar. Gue benci sama lo, Vin!" teriak Retta. Dia sudah tidak tahan lagi. Ditambah ingatan bagaimana dulu Melvin memperlakukannya. Selalu menyakiti hatinya, sampai-sampai membuatnya seperti tidak punya harga diri.

"Gue. Benci. Sama. Lo." Ulang Retta penuh penekanan di setiap kata. Kata-kata yang tidak berdasarkan fakta, tidak benar-benar membenci cowoknya itu. Melvin sampai kehilangan kata-kata dibuatnya. Segera ingin menumpahkan rasa sesaknya, dia berlalu dari hadapan Melvin.

Melvin melihat tatapan sedih ceweknya itu. Membuatnya ikut terenyuh apalagi saat mendengar kata 'benci'. Tak membiarkan Retta pergi begitu saja, dia berlari mengikuti.

"Retta, tunggu!" Tak diindahkan. Malah langkah yang dipercepat.

Langkah Melvin mampu mengungguli, hingga bisa menarik tangan Retta. Di luar dugaannya, tangannya malah ditepis kasar.

Tujuan Retta sekarang adalah mini market. Masuk ke sana, tanpa menyapa Lucas terlebih dahulu, dia mengarah ke gudang. Berhasil mengunci dirinya dari dalam sana. Kemudian dia duduk di belakang daun pintu, bersandar di sana. Memeluk lututnya dan menangis.

Lucas awalnya heran Retta datang-datang tanpa menyapa dan dengan wajah yang tak bisa diajak bersahabat. Ditambah Melvin yang berjalan di belakang cewek itu. Setelah mencerna beberapa saat, barulah dia mengerti. Biasa, masalah anak remaja, pikirnya.

Melvin menggerakkan kenop pintu gudang, tak bisa terbuka. "Retta, buka!"

"Gak mau!" teriak Retta dari dalam.

Karena suara yang sangat dekat, Melvin mengambil kesimpulan kalau Retta ada di belakang pintu. Jika menggedornya, Retta malah ikut kedorong. Jadi, dia memutuskan untuk duduk di dekat pintu itu. Bersandar juga di daun pintu.

Sama-sama bersandar di daun pintu, namun dari sisi yang berbeda.

"Retta, lo nangis?" Suara Melvin terdengar lembut kali ini. "Jangan nangis dong! Gue gak suka. Gue lebih suka lo senyum."

Tak terdengar balasan. Kecuali suara isakan.

"Retta, gue sayang banget sama lo. Udah, ya, jangan nangis lagi. Keluar dari gudang! Dan ayo, baikan sama gue," ujar Melvin tulus.

"Retta, lo beneran benci sama gue? Kalo iya, mulai sekarang, jangan benci lagi, ya!" kata Melvin lagi.

"Lo gak tau Vin, dulu harga diri gue kayak diinjak-injak gara-gara gue suka sama lo. Lo gak tau gimana sakitnya perasaan gue. Lo gak akan tau, Vin!" Akhirnya Retta kembali bersuara, yang terdengar parau. "Jadi, apa salah kalo gue akhirnya jadi benci sama lo? Karena lo masih sama, lo gak berubah!"

"Itukan dulu. Gak usah diungkit lagi. Sekarang gue udah suka sama lo. Omong-omong, gue tau kok gimana rasanya, perasaan disakiti. Kayak sekarang. Pas lo bilang lo benci gue. Gue ngerasain apa yang lo rasain dulu." Melvin tersenyum getir. "Gue minta maaf, ya, Retta. Benar-benar minta maaf."

"Gue udah maafin lo. Jadi, tinggalin gue di sini sekarang juga!" pinta Retta. Dia sudah menegakkan badannya. Air matanya disekanya. Ada sedikit merutuki dirinya sendiri karena menjadi cengeng.

"Lo masih benci? Kalo iya, gue gak bakalan pergi!" kekeuh Melvin.

"Kalo enggak pergi, gue tambah benci!" ancam Retta.

"Baiklah." Melvin menghela napasnya. Kemudian dia bangkit berdiri. "Gue pergi kalo itu mau lo. Jangan lupa keluar, ya! Jangan sampai lo ketiduran di sana. Gue pergi. Sampai jumpa, mine."

Melvin pun benar-benar pergi dari mini market itu.

Lucas yang sedang menata barang geleng-geleng kepala sambil bergumam, "Anak remaja jaman sekarang banyak dramanya, cih."

🌠🌠

Sejak pulang sekolah hingga hari sudah malam, Melvin tidak ke rumah Indira. Dia tidak ingin ibunya itu melihat wajahnya yang habis berkelahi itu. Tidak ingin membuat ibunya khawatir, tepatnya. Dia yakin Retta tak akan memberi tahu itu pada Indira.

Karena belum mengabari, maka dia pun menelepon Indira. "Bu, Melvin enggak ke sana ya, malam ini. Melvin lagi banyak tugas. Mau ngerjain di sini aja."

Begitulah alasannya. Namun, itu memang fakta. Dia sedang banyak tugas sekolah.

"Iya, Nak. Kalo capek, jangan lupa istirahat." Seperti itu balasan dari Indira yang baru saja duduk di meja makan bersama Retta. Hendak makan malam.

"Siap, Bu. Oh, iya. Jangan lupa titip salam ya, ke Retta." Pungkas Melvin setelah mendengar Indira mengiyakan.

Indira sadar kalau suasa Melvin dan Retta sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari wajah Retta yang tampak kurang semangat dan galau.

"Melvin nitip salam buat kamu," ujar Indira.

Retta hanya mengangguk tak bersemangat sambil menuangkan air ke dalam gelasnya.

"Kamu lagi marah ya, sama Melvin? Kenapa?" Indira penasaran. "Kalo kamu gak mau cerita juga gak apa-apa, kok."

"Gak taulah, Bu. Retta pun bingung," balas Retta seadanya.

"Ya sudah, lanjut makannya. Habis itu jangan lupa baikan."

🌠🌠

See you in the next part.
Kalo ada typo, jangan lupa kasih tau ya^^

By Warda

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang