13 | Gawat

3.8K 282 7
                                    

Menempati meja makan, Melvin menatap Indira yang tengah menata makanan untuk sarapan di atas meja tersebut. Beberapa detik kemudian, tatapan Indira tertuju padanya.

"Retta enggak sekolah hari ini. Perutnya masih sakit gara-gara makan makanan pedas semalam sama Lucas. Kalo makan pedas, perut Retta langsung sakit. Jadi, bantu Ibu sebentar ya," Indira menyodorkan sepiring nasi pada Melvin. "Ini, tolong bawa ke kamar Retta. Suapin dia sekalian."

Mata Melvin agak terbelalak. Ibunya menyuruhnya untuk mengantarkan nasi ke kamar Retta sekaligus menyuapi cewek itu? Telinganya gak mungkin salah dengar, kan? Jujur, Melvin keberatan untuk melakukan itu. "Tapi, Bu, Melvin--"

"Udah cepetan, Ibu mau jemur pakaian dulu," sela Indira. "Bukannya kamu udah anggap Retta kayak adikmu sendiri? Jadi, suapin dia ya! Ibu tinggal dulu."

"Ibu!" percuma. Indira malah mengabaikannya, namun ada senyum di wajah Indira.

Indira rasa, Melvin dan Retta tidak dekat. Jadi, dia ingin Melvin dan Retta dekat.

Melvin keberatan. Jika saja bukan Indira yang menyuruhnya, mungkin dia tidak akan membawa nampan berisi sepiring nasi dan telur rebus itu, lalu segelas air putih ke kamar Retta. Dengan ragu-ragu, Melvin mengetuk pintu kamar cewek itu.

Di dalam kamarnya, Retta terbaring lemah. Perutnya masih sakit. Namun sudah agak mendingan dan tidak sesakit tadi shubuh. Suara ketukan pintu terdengar, dia pikir itu Indira. "Masuk aja, Bu. Pintunya enggak Retta kunci."

Deg! Bukan, bukan Indira yang masuk. Tapi, Melvin. Jangan tanya lagi, jantung Retta langsung berdebar, seperti biasa. Apalagi setelah Melvin semakin mendekat ke arahnya. Pelan-pelan, Retta mengubah posisinya menjadi terduduk dan bersandar di kepala tempat tidurnya.

Melvin menaruh nampan tersebut di atas nakas, lalu dia duduk di tepi tempat tidur Retta. Mengambil piring berisikan nasi tersebut, menyendok nasi dan telur rebus, lalu mengudara, mendekati mulut Retta. "Buka mulut!" titahnya.

Jadi, Melvin akan menyuapi Retta? Ini bukan mimpi, kan? Retta benar-benar deg-degan. Tidak ada senyum di wajah cowok itu. Maka dari itu, Retta mengambil kesimpulan kalau cowok itu pasti terpaksa. Pasti Indira yang menyuruh Melvin. Kala sendok itu semakin mendekati mulutnya, Retta tidak kunjung membuka mulut. Retta menggeleng, mencoba mengambil alih piring itu dari Melvin. "Gue bisa makan sendiri, kok. Lo gak perlu susah-susah suapin gue."

Namun, Melvin malah menjauhkan piring itu dari jangkauan Retta, seolah tidak mengizinkan piring itu beralih ke Retta. "Gue bilang buka mulut, ya buka mulut! Cepetan!"

Baiklah, jika Melvin sudah marah-marah seperti itu, Retta akan menuruti. Membuka mulutnya dan membiarkan cowok itu menyuapinya, membiarkan jantungnya terus berdebar-debar. Sebenarnya, Retta tidak suka makan nasi dan telur rebus saja, rasanya agak hambar. Tapi, entah kenapa, selama disuapi oleh Melvin, dia tidak kunjung menyudahi dan malah membiarkan sampai piring itu kosong.

Melvin meraih gelas air putih yang ada di atas nakas, lalu menyodorkannya pada Retta. Setelah Retta meneguk habis air putih tersebut, Melvin bergegas keluar dari kamar Retta tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tak lupa nampan berisi piring kosong dan gelas itu dia bawa keluar bersamanya.

Merona, Retta merasa seperti itulah keadaan pipinya saat ini. Jujur, dia merasakan kehangatan dari sikap Melvin barusan walau tak ada senyum di wajah cowok itu. Retta merasa aneh dengan Melvin. Pasalnya, kadang cowok itu baik, kadang kejam, suka marah-marah. Namun, suka marah-marah lebih mendominasi.

Retta senyum-senyum sendiri, padahal perutnya masih sedikit sakit.

Jika Melvin terus bersikap seperti ini, bagaimana bisa Retta melupakan cowok itu?

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang