18 | Suddenly

3.6K 249 7
                                    

Retta kini sudah berganti pakaian dan tentunya juga sudah mandi. Mana tahan dia dalam keadaan basah dengan air lumpur sawah. Kakeknya Melvin setelah tahu kepulangan dua remaja itu ke rumah hanya menggeleng-geleng. Anak muda apalagi anak kota seperti mereka memang tidak becus disuruh ke sawah, pikir kakeknya Melvin.

Retta duduk bersila, berhadapan dengan Indira di ruang keluarga rumah neneknya Melvin. Indira mengacak-acak rambut Retta sambil terkekeh mengingat ekspresi wajah Retta yang pulang dalam keadaan badan penuh lumpur, hanya bagian atas saja yang bersih dari lumpur tersebut.

"Retta emang gak becus," ucap Retta sambil menunduk.

Indira terkekeh lagi dan mengangkat wajah Retta. "Udah, gak papa, gak usah salahin dirimu kayak gitu. Untuk ukuran remaja yang tidak pernah pergi ke sawah sepertimu, kemungkinan kejadian seperti itu memang tidak bisa dielak."

"Emang payah! Bodoh lo!" cibir Melvin yang melewati Retta dan Indira. Cowok itu juga baru selesai mandi. Retta bisa mencium harum tubuh Melvin yang menyegarkan. Rambut cowok itu juga basah.

Retta meneguk salivanya susah payah. Demi apa, Melvin ganteng banget woi! Makin susah ngelupain dia gue. Batin Retta.

"Eh, ngomongnya gak boleh kayak gitu!" tegur Indira pada Melvin yang kini duduk di pojok ruang tersebut.

"Maaf, Bu. Gak sengaja," ucap Melvin pada Indira. Entah kenapa, jika ada Retta bawaannya dia ingin terus marah-marah bahkan lupa kalau di situ ada ibunya. Kan dia harus menjaga imagenya di depan ibu tercintanya itu. Bisa-bisa dia diceramahi dari pagi sampai pagi lagi.

"Kamu itu ngomongnya selalu kayak gitu!" Indira menatap ke arah Retta. "Kalo Melvin masih ngomong kasar kayak gitu ke kamu, lapor sama Ibu, ya?"

Retta terlihat ragu. Menatap Indira dan Melvin secara bergantian sebelum akhirnya dia mengangguk, meski masih ragu.

Melvin yang mendengar itu hanya tersenyum evil.

🌠🌠

Siang ini, matahari begitu terik. Karena rumah neneknya Melvin diapit oleh persawahan dan banyak pohon yang tumbuh di sekitar itu, Retta tidak merasa terlalu kepanasan. Retta berjalan mondar-mandir di bawah pepohonan yang ada di depan rumah nenek Melvin tersebut. Angin tertiup, rambutnya yang tergerai ikut menari-nari sesuai irama sang angin.

Retta memejamkan matanya. Menikmati angin sepoi segar yang menerpa wajahnya itu. Begitu tenang. Rasanya dia ingin membawa kasur keluar dan tidur di sana. Matanya kembali terbuka. Dia masih berjalan mondar-mandir. Ditatapnya bayangan dirinya di tanah. Hingga bayangan itu menjadi dua. Dia terkejut.

Tidak, tidak mungkin itu setan. Apalagi dirinya sudah telanjur berjalan dan tidak sempat mengerem langkahnya, membuatnya menabrak sosok itu, yang tak lain adalah Melvin yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Matanya membulat kala teh dingin dalam gelas di genggaman Melvin tumpah ke baju kaus putih cowok itu.

Kulit perutnya Melvin terasa dingin karena ketumpahan teh dingin itu. Melvin sudah tidak tahan lagi. Cewek yang ada di hadapannya itu hobi sekali menabraknya. "Lo itu! Hobi banget sih nabrak gue? Lo gak lihat  kalo gue lagi jalan?! Makanya jadi orang tuh hati-hati! Serius, gue kesel banget sama lo! Bisa gak sih lo jaga jarak?!"

"Maaf, gue gak sengaja. Itu salah lo juga yang tiba-tiba datang. Gue gak sadar kalo ada lo. Gue minta maaf, ya?" suara Retta mengecil. Dia menundukkan kepalanya.

"Lo yang gak hati-hati, terus lo salahin gue?!" gertak Melvin.

Retta menggeleng. "Bukan gitu maksud gue."

"Terus apa?!"

"Bisa enggak lo sekali aja gak marahin gue?" Retta mengalihkan pembicaraan. Mata Retta berkaca-kaca.

Melvin menggeleng. "Kalo gue gak mau gimana? Lo gak lihat? Tehnya tumpah di kaus gue!"

"Maaf," Retta melihat ke arah kaus putih Melvin yang terkena tumpahan teh tersebut. Jujur, Retta tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Teh yang ada di dalam genggaman tangan kanan Melvin tinggal setengah sekarang.

"Kalo gue gak mau maafin lo gimana?" sengit Melvin angkuh.

Retta terlihat berpikir. Tiba-tiba, dia teringat ucapan Indira tadi. "Kalo Melvin masih ngomong kasar kayak gitu ke kamu, lapor sama Ibu, ya?"

"Gue bakalan laporin lo ke Ibu. Kalo lo gertak gue," jawab Retta mencoba berani pada Melvin, untuk yang pertama kalinya. Dia mengangkat wajahnya seolah menantang Melvin. Jujur, dia sebenarnya ketakutan menantang Melvin seperti itu. Apalagi ketika bola matanya dengan Melvin bertemu pandang.

Melvin mendekat ke arahnya. Sedikit membungkuk untuk menyamakan posisi wajah dengannya. Wajah cowok itu semakin dekat. Dan begitu dekat. Tidak perlu bertanya lagi. Karena jawabannya adalah iya, bila jantung Retta sudah menggila saat ini. Ditambah tiba-tiba cowok itu tersenyum tipis padanya.

"Lo yakin bakalan lapor ke Ibu?" tanya Melvin yang terdengar seperti sebuah ancaman. Saat ini, wajahnya masih terlalu dekat dengan Retta. Diabaikannya sesuatu yang bergejolak di dadanya karena berada dalam posisi begitu dekat dengan Retta. Gejolak itu, sama persis seperti kala Retta memeluknya di malam saat listrik padam itu. Namun, Melvin terus saja mengabaikan dan tidak peduli akan itu.

Karena jantungnya benar-benar menggila. Retta hanya terdiam, menatap lekat-lekat wajah Melvin dalam jarak sedekat itu. Hingga Melvin kembali menjauhkan wajah darinya.

"Silakan lapor ke Ibu. Dan lo, bakalan berhadapan sama gue!" ancam Melvin. Lalu cowok itu langsung berlalu pergi.

Setelah menormalkan kembali detak jantungnya, bahu Retta merosot lemah. Jika seperti ini, dia tidak berani melapor pada Indira.

🌠

Maaf telat update, karena saya lagi final di kampus.

Tinggalkan jejak ya kawan-kawan! See you next part 😉

By Warda,
22 Desember 2019.

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang