Malam ini Melvin sudah kehilangan alasan untuk menghindari Indira. Untung saja memar dan goresan di wajahnya sudah tidak terlalu parah seperti tempo hari. Ketika dia datang bertepatan dengan Indira dan Retta yang sedang makan malam. Tak mengulur waktu dia bergabung di meja makan, duduk di sebelah ibunya dan berhadapan dengan Retta.
Karena kedatangannya, Retta terlihat berusaha lebih cepat menghabiskan isi piring. Hanya menatapnya sekilas kala dia tiba, dan sisanya penuh pengabaian. Seolah-olah dia tidak ada di sana. Serius, tidak dipedulikan seperti itu benar-benar tidak menyenangkan.
"Melvin, wajah kamu kenapa?" tanya Indira khawatir.
Hampir saja Melvin lupa. Sesuatu yang harus dihadapinya jika dia datang ke sana; pertanyaan penuh kekhawatiran.
Sambil menaruh nasi ke piringnya Melvin menjawab, "Biasa, Bu. Anak muda."
Indira malah menepuk pundak anaknya itu. "Kamu berantem, ya? Kenapa gak kasih tau Ibu? Di mana? Di sekolah? Kamu udah jadi anak nakal ya sekarang?"
"Udahlah, Bu. Bagi remaja berantem itu bukan hal langka. Biasa. Sesekali, kok." Melvin memang tidak punya alasan untuk dia katakan pada Indira. Tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Juga tidak ingin berbohong. Jadi, yang bisa dia lakukan adalah usaha mengelaknya.
"Karena masalah apa?" Indira bertanya lagi. Seakan-akan makanannya bukan hal utama lagi.
Melvin terdiam sesaat. Menatap Retta sekilas. Ceweknya itu juga terlihat berhenti mengunyah beberapa detik kala mendengar pertanyaan Indira. Namun, tak juga melirik ke arahnya, masih tampak cuek.
Melvin menghela napasnya. Kemudian membalas, "Bu, walaupun Melvin anaknya Ibu, kadang ada hal yang gak bisa Melvin katakan sama Ibu."
"Iya, Ibu paham. Ya udah, makan terus."
Melvin mengangguk. Sebelum dia hendak makan, diliriknya Retta yang sedari tadi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Retta tampaknya sudah selesai makan.
"Retta duluan ya, Bu." Retta bangkit berdiri setelah mendapat anggukan dari Indira. Sengaja, dia tidak juga melirik sedikitpun ke arah Melvin. Piring dan gelas kotornya dia bawa ke tempat cuci piring. Kemudian dia taruh di sana.
Jujur saja, Melvin sangat-sangat tidak suka diabaikan seperti itu. Jika saja Indira sudah duluan tidur, Melvin pasti akan mendekat ke arah Retta dan mendekap erat cewek itu. Tak akan dia biarkan lepas lagi. "Ah, menyebalkan!" Begitulah gerutunya dalam hati.
Selepas menaruh piring di tempat tersebut, Retta kembali melewati meja makan, menuju ruang tengah. Dia masih setia apatis pada Melvin. Mungkin besok atau lusa saja dia akan baikan dengan Melvin. Malam ini dia belum puas.
Retta duduk di sofa. Menghidupkan televisi. Tidak ada tayangan yang menarik hatinya. Pilihannya jatuh pada salah satu sinetron, walau sebenarnya dia kurang suka. Hanya untuk mengalihkan atensi sementaranya saja, tepatnya menunggu Melvin selesai makan. Karena jika sudah selesai, pasti Melvin akan ke sana. Dan dia, akan bersikap tak acuh lagi. Retta tersenyum evil. "Seru juga ngerjain Melvin," gumamnya kecil.
Sepersekian menit kemudian, dugaannya seratus persen benar. Melvin datang dan duduk di sebelahnya. Langsung saja dia beraksi, mengambil remote lalu mematikan televisi. Detik kemudian beranjak dari duduknya. Ketika di langkah ketiga, Melvin menarik tangannya, menghentikannya.
"Retta. Jangan cuekin gue lagi! Ayo bicara baik-baik!" Melvin terlihat serius.
Tak bersuara, Retta menepis tangan Melvin. Dia berjalan cepat menuju kamarnya. Cowoknya itu mengejarnya. Bagus! Dia berhasil masuk ke kamarnya dan mengunci dari dalam. Hingga terdengar ketukan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Approccio [Completed]
Teen FictionSatu sekolah tahu kalau Retta suka Melvin. Satu sekolah juga tahu kalau Melvin tidak suka Retta. Tapi, karena suatu hal, Melvin mulai mencemaskan Retta. Apalagi setelah keduanya sering bertemu di rumah yang sama. Dan memanggil seseorang dengan pangg...