02 | Sad Ending?

6.8K 505 11
                                    

Aku suka happy ending. Bukan sad ending. Tapi, apakah rasa ini akan sad ending?
🌠

Melvin memelankan laju mobilnya kala hendak memasuki gerbang sekolah. Namun, tanpa sengaja matanya melihat ke arah minimarket yang ada di seberang sekolahnya.

Deg! Melvin memicingkan matanya. Dia melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depan minimarket itu. Benar, Melvin tidak mungkin salah lihat. Wajah itu, sangat familier baginya. Oleh sebab itu, Melvin menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang sekolah. Dia membuka pintu mobilnya dan hendak memastikan kalau apa yang dia lihat itu tidak salah.

Tapi, sialnya, kala dia keluar dari mobil dan hendak menyeberangi jalan raya, sosok yang dia lihat sudah tidak ada di tempat itu. Melvin menghela napasnya kasar. Dia berharap sekali kalau wanita yang dia lihat itu adalah sosok yang dia cari-cari selama ini. Jika itu benar sosok yang dia cari, dia bersyukur, setidaknya wanita itu ada di daerahnya. Dengan begitu, dia akan mudah mencari wanita itu.

Tiiiiit!!!

Suara klakson motor membuat Melvin terkejut. Melvin menoleh ke belakang dan mendapati seorang siswa yang mengendarai motor sport warna hitam. Melvin menatap tajam ke arah pengendara itu yang tak lain adalah temannya sendiri.

"Woy, kingkong! Mobil lo borong gerbang bego! Gue gak bisa masuk nih!" teriak Ziggy, teman sebangku Melvin. Sekaligus satu-satunya siswa yang berani memanggil Melvin dengan panggilan 'kingkong' di depan Melvin sendiri.

"Ganggu aja lo!" Melvin berjalan ke arah mobilnya dan tak peduli ke arah beberapa siswa yang kesusahan masuk ke gerbang sekolah karena mobilnya. Gerbang sekolah memang tidak terlalu besar, jadi, hanya muat dilalui oleh satu mobil saja.

"Ya elah tuh anak. Gak nyadar kalo dirinya yang ngeganggu!" gerutu Ziggy.

🌠🌠

Retta tidak membawa masuk motornya ke parkiran sekolah. Karena motornya dia parkir di depan minimarket agar Indira bisa memakai motor itu bila ada keperluan. Dia dan Indira memang hanya punya satu motor.

Retta berjalan melewati parkiran sekolah. Di sana, dia melihat Melvin yang baru saja keluar dari mobil. Lagi-lagi, hatinya menjadi sesak. Tak menutup kemungkinan kalau jantungnya juga berdebar kencang. Mata Retta jadi berkaca-kaca kala melihat cowok yang disukainya itu berjalan bersisian bersama teman cowok itu sendiri.

Retta memelankan langkahnya. Dia tidak ingin berjalan mendahului Melvin. Jadi, dia membiarkan Melvin jalan terlebih dahulu dan membelakanginya. Retta tersenyum getir melihat punggung cowok yang kini membelakanginya itu.

Beberapa hari yang lalu, dengan beraninya dia menulis di buku catatannya kalau rasa sukanya pada Melvin akan happy ending. Tapi sekarang, realita seolah mengatakan sad ending. Melvin, cowok yang tengah berjalan membelakanginya itu, tidak dapat dia raih, tidak akan dapat, pikirnya.

Setelah cowok itu berbelok ke lorong yang berbeda dan sudah menghilang dari pandangannya, barulah Retta berjalan dengan cepat menuju kelasnya, XI IPA 4.

"Uwuu ... artis kelas kita sudah sampai nih!"

"Hai Retta, gimana rasanya ditolak Melvin?"

"Sabar ya Retta!"

Baru saja Retta mendudukkan pantatnya di kursinya dia langsung mendengar sesuatu yang membuat telinganya menjadi panas. Dengan tatapan tajamnya, Retta menatap satu per satu teman sekelasnya. "Jadi, dari tadi kalian gosipin gue? Gimana kalo gue gak mau maafin kalian?"

"Jangan gitu dong, Rett! Kami gak ngegosipin lo kok. Kami cuma kasihan aja karena perasaan lo buat Melvin ternyata sad ending. Sabar ya, Retta," ucap Leo sambil tersenyum manis.

"Cih," Retta dongkol melihat senyum Leo itu. Semua itu, kejadian kemarin itu, penyebabnya adalah Leo. Ya, Leo lah yang menyerahkan bukunya itu pada Melvin. "Dan gue, gak butuh belas kasihan dari lo! Dasar gak punya otak!"

"Eits, jangan salah. Gue punya otak kok! Lihat nih!" Leo menunjuk kepalanya, "Lo buta? Gak bisa lihat?"

Retta sudah tidak tahan. Daripada buang-buang tenaga dengan berteriak marah, lebih baik dia berbicara sarkastis. "Wah, ternyata lo punya otak ya? Kirain enggak. Soalnya, lo punya otak, tapi enggak dipakai. Makanya lo dungu ya?"

"Jadi, lo ngehina gue?" Leo yang tadinya duduk di kursi pojok kini bangkit berdiri dan berjalan ke arah Retta.

"Cukup Leo! Retta cewek woy, gak usah pakek berantem kali. Sensitif amat lo jadi cowok! Gak sadar diri, lo ya! Lo boleh ngehina Retta, dan Retta gak boleh bales hina lo gitu? Lo pikir Retta gak sakit hati?" teriak Mark, si ketua kelas. Mark memang sangat pengertian. "Dan buat kalian semua kawan-kawan, stop ngegosipin Retta!"

"Aduh, Mark pengertian banget ya," ucap Adora, teman sebangku Retta. Adora merangkul bahu Retta. "Udah, Rett. Orang kayak gitu enggak usah diladenin."

Retta hanya menghela napasnya. Lalu mengeluarkan ponselnya dari tasnya. Menatap kosong ke arah layar ponselnya, hingga ponselnya telah berpindah ke tangan Adora baru dia sadar.

"Hello, Retta! Lo Retta yang gue kenal bukan, sih? Kok lesu amat, Mbak? Biasanya lo ceria. Sini, mari kita nonton drakor favorit lo, extraordinary you. Tau gak? Episode terbarunya udah keluar! Lo udah nonton belum?" tanya Adora antusias, berniat agar antusiasnya tertular ke Retta.

Retta menggeleng. "Gak mood gue. Lagian bentar lagi gurunya bakalan masuk kelas."

"Ya udah, kalo begitu. Gue mau ngelihat wajah Mark aja ah!" ucap Adora dengan suara kecil, sambil memutar bola matanya ke arah Mark yang sedang duduk di kursi dan tengah menatap layar ponsel. Ya, Adora memang diam-diam menyukai Mark. Tapi, sepertinya Adora tidak patah hati seperti Retta. Karena Mark, tingkahnya seperti juga menyukai Adora. Keduanya pun sering curi-curi pandang.

Sad ending? Retta tersenyum getir. Apakah dia ... harus melupakan saja Melvin?

🌠🌠

See you next part!
Maaf atas segala kekurangannya.

By Warda
03 November 2019

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang