42 | Senyumnya, Jangan Lupa!

2.5K 169 11
                                    

Pagi ini masih sama seperti semalam. Melvin beralasan untuk tidak ikut sarapan di rumah ibunya itu. Jadi, suasana canggung melingkupinya dan ayahnya, yang tak akrab itu. Tak ada keluarga baru ayahnya di sana, pasalnya Melvin agak telat sarapan. Mungkin saja mereka sudah berangkat pada kesibukan masing-masing. Syukurlah, setidaknya tidak akan banyak drama di meja makan itu. Selain perdebatan antara ayah dan anak, maybe.

"Ayah harap ini terakhir kali melihat wajahmu seperti itu. Kamu pasti berkelahi bukan?" Ayahnya memecahkan keheningan setelah menatap wajahnya beberapa detik.

Melvin hanya mengangguk seadanya. Berniat mengabaikan, tiba-tiba teringat kalau ayahnya itu keras. Jadi, anggukan mungkin tak masalah.

"Memang perkelahian itu biasa di kalangan remaja sepertimu. Tapi, ingat, kamu tidak boleh seperti itu. Jangan sampai itu menjadi kebiasaan." Ayahnya menjeda beberapa saat. "Tinggal menghitung bulan kamu akan lulus. Dan Ayah, akan mengirimmu ke luar negeri."

Melvin masih terdiam. Dia tidak memprotes ucapan ayahnya. Karena kuliah di luar negeri memang sudah tercatat dalam rencananya.

"Kamu mau masuk Oxford, Harvard, atau Stanford. Terserahmu. Ayah hanya akan membiayai dan mendukungmu. Atau ... kamu mau kita kembali ke Italia?" tanya ayahnya.

"Oxford," jawab Melvin singkat. Sesudah sarapannya habis, dia bangkit berdiri.

"Melvin berangkat dulu," pamitnya. Sesuatu yang langka. Meski wajahnya datar saja.

🌠🌠

Sekitar lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. Retta masih di mini market bersama Indira. Tak suka melihat Retta terus di sana, Indira menyuruh Retta agar langsung bergegas masuk ke perkarangan sekolah. Ketimbang diomeli, Retta mengangguk dan berlalu.

Sekitar tiga meter dari ambang pintu kelasnya, langkah Retta terhenti. Di tembok dekat pintu, ada seseorang yang sedang dihindarinya bersandar di sana sambil bersedekap dada. Dengan sorot yang tak teralih darinya. Dia sangsi untuk menyambung langkah. Sampai-sampai Melvinlah yang mendekat padanya.

Dapat dilihatnya senyum manis Melvin. "Gue ke sini cuma mau lihat lo aja. Karena kita gak berangkat bareng. Sekarang gue udah tenang lihat lo baik-baik aja."

Retta bergeming. Pun tidak berniat melontarkan balasan.

"Kalo udah enggak benci lagi sama gue. Kasih tau, ya! Jangan lama-lama! Gue ke kelas dulu." Melvin melambaikan tangannya dengan senyum yang tak surut. Lalu dia menarik langkah pergi.

Retta bimbang. Ingin sekali dia membalas senyum yang sangat disukainya itu. Ingin sekali dia balas melambai sekaligus memberi semangat pada Melvin. Semuanya tertahan karena egonya.

Namun, mengesampingkan itu semua. Dia ingin memberi waktu agar Melvin berubah. Dia ingin memberi pelajaran buat Melvin. Sejujurnya dia tidak tahan juga dalam renggangnya jarak. Dia akan memperbaikinya kembali. Yang pasti, bukan hari ini.

Di kelas, Melvin mendudukkan dirinya di sebelah Ziggy. Ada segelintir kurang semangat yang tercetak di wajahnya, dan teman semejanya itu sadar.

"Selamat pagi, Kingkong! Ada apa dengan wajahmu itu?" Ziggy basa-basi. "Kemarin wajah lo habis dimangsa anak kelas sebelas. Sekarang siapa lagi yang mangsa wajah lo sampai semangat direnggut seperti itu?"

"Bisa diam gak lo?!" ketus Melvin. Pikirannya sedang berkecamuk saat ini. Ditambah dengan suaranya Ziggy, itu sangat menganggu. Membuatnya dongkol.

"Gak." Ziggy santai saja. "Gue gak bisa diam. Kasihan gue lihat lo kayak gini. Apa lo habis diomeli sama Retta karena berantem?"

"Bukan urusan lo!" Ketus lagi timpalnya Melvin.

"Gue ada di pihaknya Retta."

Melvin menatap Ziggy serius. "Kalo ada cowok yang kasarin cewek lo. Apa yang lo lakuin?"

"Ya, gue balaslah! Enak aja sampai nya--" Ziggy menutup mulutnya ketika sadar dengan jawaban spontannya.

"Nah, kan. Itu yang gue rasain."

Gotcha! Ziggy jadi kehilangan kata-katanya. Benar juga. Dia juga akan sangat marah kalau seseorang mengkasari orang yang disayanginya.

"Tapi, gue jomlo Vin. Cewek yang gue suka belum notice gue. Kasian amat, ya!"

"Menyedihkan."

"Jahat lo!"

"Bodoh amat!"

🌠🌠

Sejak dua menit yang lalu, mangkuk berisi mie baso hanya diaduk-aduk Retta. Wajahnya kekurangan senyum. Sebenarnya agak jengkel, dia seperti orang yang menyedihkan. Ditambah kurangnya semangat. Pasalnya, di meja yang sama, di seberangnya tepatnya Adora dan Mark sedang sibuk berduaan. Seperti dunia hanya ada mereka berdua. Dan kehadiran Retta hanya angin lewat saja. Sangat menyebalkan!

Alih-alih minggat pergi, dia malah tak beranjak. Tetap di tempatnya. Tangannya tak berhenti mengaduk isi mangkuk tersebut. Tatapannya kosong ke sana.

"Heh, jangan bengong kayak gitu!" Mark membuyarkan lamunannya.

"Ih, jangan diganggu! Si Retta lagi galau," tambah pacarnya si Mark. Yang tidak lain adalah Adora.

"Galau kenapa, Mbak?" Mark basa-basi. Padahal sudah menebak kalau itu gara-gara Melvin.

Retta hanya menggeleng. Sepersekian detik kemudian, Mark dan Adora kembali sibuk dengan obrolan. Dia memutuskan ponselnya menjadi pusat atensinya. Membuka WhatsApp, ternyata ada chat dari Melvin yang masuk sekitar satu menit yang lalu.

Melvin 🖤 : Senyumnya, jangan lupa! Kalo ada senyum enak dilihat.

Retta mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin. Tak disadarinya kalau sedari tadi Melvin memperhatikannya dari sudut kantin, namun Melvin sudah tidak ada lagi di sana sekarang. Sehingga kini keberadaan Melvin tidak dia temukan. Retta melihat kalau Melvin juga sedang online saat ini. Tetapi, dia hanya membacanya. Tak berapa lama dipandanginya tulisan, bahwa Melvin sedang mengetik.

Melvin 🖤 : Gk apa-apa kalo cuma diread. Cuma mau bilang, kalo lo senyum, wajah lo lebih cantik. Dan gue, jadi senang ngelihatnya.

Lagi, Retta hanya membacanya.

Melvin 🖤 : Retta sayang, senyumnya lo nular. Sedihnya juga nular. Makanya ayo baikan cepat-cepat! Biar senangnya nular juga.

Retta memutuskan untuk mematikan ponselnya. Sial, Melvin selalu punya cara untuk membuatnya luluh. Meskipun begitu, Retta tetap pada pendiriannya.

"Rasain lo, Vin. Biar lo tau gimana perasaan gue dulu," gumamnya kecil.

🌠🌠

Gimana sama part ini?
Mau happy ending atau sad ending?

Oh iya, gak lama lagi cerita ini akan tamat. Terima kasih udah baca sampai sini.

Komentar dan votenya selalu ditunggu.

See you in the next part 😉

Best regards,

Warda.

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang