46 | LDR

4.4K 193 5
                                    

"Gue gak bisa benci sama lo."

Mata keduanya saling berpandangan, ada sirat ketulusan dan juga kehangatan.

Retta menyentuh pelan wajah Melvin. Senyum tulus masih bertahan di wajahnya. "Mau lo jelek atau enggak, bagi gue sama aja, lo tetap Melvin yang gue cinta."

"Serius?" Melvin memastikan. "Katanya lo benci sama gue."

Retta mengangguk. "Soal benci sama lo, gue bohong kok. Gue gak bisa benci sama lo. Kemarin gue cuekin lo cuma mau kasih pelajaran. Sebenarnya kesal aja gue sama lo yang kayak gitu terus."

Melvin mencubit pipi Retta karena kesal. "Cih, lo bikin gue kangen tau gak? Serius, dicuekin itu gak enak. Apalagi orang yang cuekin gue itu lo."

Retta tertawa kecil. "Hahaha. Rasain gimana dulu gue dicuekin sama Melvin si jahat itu."

"Gue jahat?" Melvin berpura-pura cemberut. "Jadi, lo balas dendam nih?"

Retta tidak menjawab, kecuali terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil wadah plastik berisi apel yang telah dipotong-potongnya. Kemudian dia duduk di kursi dekat ranjang di mana Melvin berada. "Makan apel, nih!"

"Jawab gue dulu dong! Lo dendam?"

"Makan ini dulu!" Retta mengambil sepotong dan mendekatkan ke mulut Melvin.

"Jawab dulu! Lo dendam, gak?"

"Makan dulu!" Retta malas menjawab pertanyaan Melvin.

"Jawab dulu."

"Ya udah, kalo gak mau makan. Gue mau pulang. Gue tinggalin lo di sini, ya!" Retta mengancam sambil menahan tawanya. Seru, membuat Melvin kesal seperti itu.

"Jangan! Gak boleh pulang! Gak gue izinin. Lagian Ibu juga di sini, tapi tadi. Sekarang gak tau di mana."

"Kenapa gue gak boleh pulang? Gue mau mandi terus ganti baju, gue masih pakek seragam sekolah nih."

Melvin tidak langsung menjawab. Atensinya berpusat pada wajah Retta. "Nanti gue kangen lagi, gimana?"

"Ha?" Retta kehilangan pasokan kata untuk menimpali. Kecuali beralih pada hal lain. "Gue udah bawa apel buat lo. Yakin gak mau makan?"

"Iya deh." Melvin membuka mulutnya, menunggu Retta memasukkan potongan kecil ke dalam sana.

"Gue lagi marah sebenarnya."

Sambil mengunyah Melvin bertanya, "Marah lagi? Sama siapa?"

"Sama orang yang udah bikin wajah lo kayak gini. Gue gak suka mereka seenaknya sama cowok yang gue sayang. Pasti sakit, kan?" Retta menatap sendu.

"Sakit dong. Tapi, lebih sakit dicuekin sama dibenci sama lo."

"Ih, berapa kali gue bilang? Gue gak benci sama lo."

"Lo cuekin gue!"

"Sesekali itu perlu. Biar lo tau rasa!"

"Iya, deh. Suka-suka lo. Yang penting lo senang, lo bahagia, gue juga bakalan bahagia."

"Iya, makasih. Buka mulutnya lagi." Retta memberi sepotong apel lagi ke cowoknya itu.

Lalu hening sekitar satu menit.

"Retta," desis Melvin.

"Hm."

"Makasih."

Retta mengernyitkan dahinya. "Buat apa?"

"Udah gak marah lagi sama gue."

"Iya, lo juga jangan jadi pemarah lagi. Marah itu ada tempatnya."

"Makasih nasihatnya, Sayang."

"Ekhem." Seseorang menyela. Ternyata itu Indira yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu.

Keduanya menoleh ke arah Indira.

"Udah baikan nih?" goda Indira.

Melvin dan Retta hanya membalas dengan senyum.

"Gini nih enak dilihat. Adem. Ibu suka kalo kalian gak marahan," ujar Indira sambil berdiri di dekat Retta.

"Ibu dari tadi ke mana aja?" tanya Melvin.

"Yah, maafin Ibu. Tadi Ibu keasikan ngomong sama ibu-ibu penjual di kantin."

"Ibu ngomongin apa sama ibu-ibu di kantin?" Kali ini Retta yang bertanya.

"Dasar kepo!" balas Indira sengaja.

Retta cemberut, sedangkan Melvin dan Indira terkekeh.

🌠🌠

Hari sudah sore. Demamnya Melvin sudah turun, dan dia telah diperbolehkan pulang. Ibunya duluan pulang, sedangkan dia dan Retta tidak dulu. Pasalnya, keduanya malah pergi ke atap rumah sakit. Itu ajakan Melvin, awalnya. Dan langsung diiyakan oleh Retta.

Mereka mengambil posisi ke arah barat. Pas sekali, ada semburat jingga di ujung sana. Jika melihat ke bawah, ada banyak aktivitas. Lalu lalang kendaraan di jalan raya. Suara sirine ambulance yang memasuki area rumah sakit. Lalu ada beberapa orang terlihat di taman.

Melvin merangkul bahu Retta. Tidak ada tempat yang tepat untuk duduk di sana, berdebu dan agak kotor. Jadi, berdiri adalah yang benar. Tak apa, tidak melelahkan jika melihat hal menenangkan yang tersuguh di depan. Sebenarnya ada yang ingin dia katakan pada Retta, maka digunakanlah kesempatan itu.

"Retta, ada yang pengen gue bilang ke lo," ujarnya.

Retta sedikit mendongak ke arah Melvin. "Mau bilang apa?"

"Lo keberatan gak kalo kita bakalan LDR?" tanya Melvin ragu-ragu. "Kayaknya gue akan kuliah di luar negeri. Kalo enggak di Inggris atau Italia ya di Amerika."

Retta terdiam. Dia sangsi menjawab. Pertanyaan yang berat. Karena tentu saja itu bukanlah hal yang mudah. Di mana harus saling mempercayai, jarak yang jauh, dan juga komunikasi yang bisa saja menjadi jarang karena kesibukan. Dia sebenarnya tidak rela. Namun, dia tidak boleh egois. Melvin pintar, dan itu adalah impian cowok itu. Dia tidak boleh menjadi penghalang mimpi seseorang. Indira saja yang melahirkan Melvin pasti bangga dan akan mendukung. Di tengah keraguannya, dia menggeleng. Itu yang terbaik. Ego yang harus disembunyikan rapat.

"Gak apa-apa LDR, tapi janji kalo lo gak bakalan suka sama cewek lain di sana."

"Beneran, kan?"

Retta mengangguk. "Janji gak bakalan suka sama cewek lain."

"Janji." Melvin menautkan kelingkingnya dengan kelingking Retta. "Lo percaya, kan, sama gue?"

"Gue percaya, kok. Gue tau ini bakalan sulit. Tapi, gue tenang karena gue udah tercatat di Kartu Keluarga ibunya lo. Gue tinggal sama Ibu, pasti lo bakalan pulang ke rumah Ibu."

"Iya, saling percaya emang paling dibutuhin. Lo juga, nanti lo bakalan jadi senior di sekolah. Awas aja kalo lo deket sama cowok lain. Gue bakalan balas!"

Retta melipat kedua tangannya di atas perut. "Balas pakek apa?"

Melvin menyeringai.

"Ini." Lalu, cup! Satu kecupan mendarat di pipi Retta. "Maaf, khilaf. Wajah lo bikin gue gila, saking sukanya gue."

Cewek itu mematung di tempat. Terlalu tiba-tiba. Dipastikannya pipinya telah merona. Diliriknya Melvin yang tersenyum manis ke arahnya, berjalan mundur tiga langkah.

"Hei!" teriaknya.

"Kenapa? Mau balas juga di sini?" Melvin menunjuk pipinya sendiri. "Silakan!"

Retta menggeleng. Gila. Sangat mendebarkan. Lebih baik dia kabur saja dari sana. Ditambah pipinya jadi panas.

"Hei, mau ke mana? Jangan tinggalin gue!"

🌠🌠

Sisa satu part lagi. Sampai jumpa di bagian terakhir 😉

Jangan lupa tinggalkan jejak!

Maaf atas segala kekurangannya, hanya penulis amatir.

By Warda 🌻

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang