30 | Puisi Tentang Hujan

4K 245 9
                                    

Mata Retta terbelalak. Jantungnya, tolong, menggila tahap akut.

Bagaimana tidak? Turun dari mobil, Melvin tidak langsung menuju kelasnya. Tapi, cowok itu malah menunggunya, jalan bersisian dengannya. Lalu, tiba-tiba tangan cowok itu menggenggam erat tangannya.

Gila, Retta harap itu bukan mimpi. Bagaimana ini? Retta tidak bisa menahan senyumnya. Retta tidak bisa menolak genggaman Melvin. Retta tidak bisa menormalkan debaran jantungnya. Terserah kalian jika menyebutnya lebay. Toh, kalian pasti akan demikian juga jika sudah mendapat lampu hijau dari orang yang disuka.

Berjalan bersisian dengan tangan yang saling bertautan, diabaikan beberapa tatapan iri. Retta berharap kelasnya masih jauh. Nyatanya, kini langkah Melvin malah terhenti di depan kelasnya. Pertanda harapannya tak terealisasi.

"Ke-kenapa lo genggam tangan gue?" Retta bertanya. Melvin belum melepaskan tautan tangan mereka.

Melvin terdiam sekitar dua detik. Tatapan teduhnya tertuju ke bola mata Retta. Detik berikutnya, sesuatu yang langka dia tunjukkan. Benar, dia tersenyum manis pada Retta.

Melvin memejamkan matanya sesaat. Baiklah, dia akan melawan gengsinya sekarang, daripada harus cemburu melihat Retta bersama Ziggy.

"Biar satu sekolah tau. Kalo Melvin," Melvin menunjuk ke arah dirinya sendiri lalu ke arah Retta, "juga suka sama Retta."

Masih dengan senyum manisnya, Melvin melepaskan tautan tangannya dan Retta. Tanpa mengucap sepatah kata pun lagi, Melvin berlalu pergi, bersama dengan debaran cepat jantungnya.

Sedangkan Retta, sudah mematung sejak Melvin tersenyum manis padanya. Ditambah ucapan cowok itu, jika itu adalah mimpi, Retta harap dia tidak terbangun dulu dari mimpinya.

"Woi, Retta! Ngapain lo bengong?" teriak Adora yang baru tiba bersama Mark sambil menepuk pundak Retta.

Retta harus berterima kasih pada Adora. Tepukan Adora terasa sakit, berarti itu bukan mimpi. "Adora ... gue senang banget."

Dengan antusiasnya dia memeluk Adora. Mark heran, geleng-geleng kepala melihat teman sebangku pacarnya itu yang terlihat sangat bahagia pagi itu.

"Kenapa sih, lo?" heran Adora.

"Akhirnya, Adora!"

"Akhirnya, apa? Ngomong yang jelas dong!"

"Akhirnya."

"Akhirnya apa woi?!" Adora emosi dibuat penasaran seperti itu.

"Akhirnya perasaan gue terbalas. Gue senang banget."

"Lo serius?"

Retta mengangguk. "Seribu rius."

"Selamat, Retta. Gue ikut senang."

🌠🌠

Sejak kejadian yang membahagiakan bagi Retta tadi pagi, Retta terus senyum-senyum sendiri. Hingga Indira dibuat bingung olehnya. Tadi, Retta tidak pulang bersama Melvin karena dia ke minimarket sedangkan Melvin usai pulang sekolah ada les lagi.

Jadi, Retta baru bertemu kembali dengan Melvin ketika makan malam di rumah. Yang membuat Retta agak sedih, Melvin tidak menyinggung lagi kejadian tadi pagi sedikit pun, seolah-olah tidak pernah terjadi. Malam ini, sedang hujan di luar. Melvin juga masih di ruang tengah bersama Indira.

Retta membuka jendela kamarnya. Pas sekali, dia memiliki tugas bahasa Indonesia yang harus dikumpul besok. Tugasnya adalah membuat puisi dengan tema hujan. Harus benar-benar karya sendiri, tidak boleh copy paste dari google.

Tangannya bertopang di kusen jendela, menatap rintikan hujan. Bau tanah menyapa indera penciumannya. Blank, otaknya blank. Sebait pun tidak ada dalam otaknya saat itu. Dia malah memikirkan Melvin. Jika dibiarkan begitu terus, tugasnya tidak akan kelar.

Senyumnya mengembang ketika ide tiba-tiba muncul. Dia beranjak dari pijakannya. Bersama payung, dia bergegas ke halaman rumahnya.

Dia pikir cara itu akan membantu. Berdiri di bawah payung. Menikmati suara hujan. Berharap otaknya lebih encer untuk menyusun puisi. Retta menunduk. Menatap aliran air hujan antara sepasang sandal di kakinya. Ketika sadar ada sepasang sandal di kaki seseorang, datang dan berhadapan, wajahnya terangkat, sedikit mundur kala terkejut.

Kini, di bawah payung itu, Retta tak lagi sendiri. Dinaungi payung, diiringi suara hujan, Melvin hadir bersamanya. Gagang payung diambil alih oleh Melvin karena cowok itu lebih tinggi darinya. Jantung Retta berdebar-debar cepat lagi, teringat ucapan Melvin tadi pagi.

Melvin menatap Retta tulus. Kini, dia kembali merasakan apa itu jatuh hati pada seseorang. "Retta," ucapnya dengan suara kecil.

"Iya," balas Retta gugup.

"Lo masih suka sama gue?"

Memberanikan diri, Retta mengangguk. Toh, dia memang masih menyukai Melvin. Ralat. Kini perasaannya pada Melvin bukan lagi suka. Tapi, lebih dari itu. You can call it love.

Melvin tersenyum tipis. "Makasih, udah suka sama orang kayak gue."

Retta menyunggingkan senyum tulusnya. "Oh iya, maksud lo yang tadi pagi itu, apa?"

"Apa itu masih kurang jelas? Mi piaci. Artinya, gue suka sama lo."

"Katanya, lo gak bakalan suka sama gue."

"Gue tarik ucapan gue itu." Tangan kiri Melvin terangkat, menyentuh dagu Retta. "Gue minta maaf udah nyakitin hati lo. Gue belum terlambat, kan? Lo maafin gue, kan? Sekali lagi maaf, ya, Retta. Mi piaci."

Mata Retta berkaca-kaca. Bukan karena sedih, tapi karena terharu, bahagia. Retta mengangguk. "Lo udah gue maafin jauh-jauh hari, Vin. Makasih, Vin. Gue senang banget. Ini bukan mimpi, kan?"

"Ini nyata, Retta."

"Rasanya seperti mimpi aja."

Melvin terkekeh, menjauhkan tangannya dari dagu Retta. Melihat kekehan Melvin, seperti ada kupu-kupu di perut Retta. Pertama kalinya dia melihat Melvin seperti itu. Melvin yang biasanya kasar, suka marah-marah, malam ini beda sekali.

"Kalo begitu, jangan kasar lagi, ya, sama gue?"

Melvin menggeleng. "Gue gak janji, ya?"

"Gue lebih senang lo yang kayak gini. Besok pagi, tolong jangan berubah!"

"Gue gak janji, ya?" ulang Melvin. Wajahnya datar, dibuat-buat.

"Cih."

"Ayo masuk!"

"Tunggu dulu."

"Apa lagi?"

"Kita resmi, kan?" tanya Retta ragu-ragu.

Melvin malah terdiam. Satu detik, dua detik, tiga detik. Hingga tangan Melvin menarik Retta mendekat. Memberikan dekapan hangatnya untuk cewek itu. Mulutnya dia dekatkan ke telinga Retta. Lalu berbisik, "Bukannya sudah jelas? Itu tidak perlu ditanyakan lagi."

Dan saat itu, Retta tahu seperti apa rasanya dibalas perasaan oleh orang yang dicintainya, yang pasti bukan dalam mimpi. Rasanya, sangat bahagia. Sangat-sangat bahagia.

Perihal puisi, Retta kini tahu kalimat apa yang harus dia rangkai.

🌠🌠

See you next part 😉
Thanks for reading. Maaf atas segala kekurangannya.

Jangan lupa jaga kesehatan, ya?
I Purple You 💜

Oh iya, mampir juga di cerita aku yang judulnya 111 Days, ya? Cerita itu aku ikutsertakan dalam GMG Fiction Challenge. Jadi, mohon dukungannya!

By Warda, 25 March 2020.

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang