06 | Harga Diri

4.9K 369 6
                                    

Jam kosong. Retta begitu bosan. Berkali-kali Retta menguap karena mengantuk. Dia melipat kedua tangannya ke atas meja, lalu menjatuhkan wajahnya ke sana. Melirik sekilas Adora yang senyum-senyum sendiri.

"Lo gila?" heran Retta.

Adora menggeleng. Lalu menunjuk ke arah Mark yang sedang membaca buku cetak. Mungkin, diantara seluruh penghuni kelas mereka, hanya Mark lah satu-satunya siswa yang paling rajin saat ini. Buktinya, ketika para siswa sibuk dengan ponsel dan sebagian sibuk tidur, hanya Mark satu-satunya yang sedang membaca buku, ditambah yang Mark baca adalah buku cetak pelajaran.

"Idaman banget," ucap Adora dengan suara kecilnya.

"Dasar bucin!" ledek Retta.

"Kek lo enggak," balas Adora. Senyum Adora mengembang kala kini Mark sudah ada di depan cewek itu. Mark menarik bangku untuk duduk di depan meja Adora. Lalu cowok itu kembali membaca buku cetak tersebut.

Retta menegakkan badannya. Dia menatap ke arah Mark heran. Kenapa coba Mark pindah duduk ke depan Adora? Pikirnya.

"Aduh, manis banget sih lo Mark," ucap Adora sambil menahan senyumnya. Detik berikutnya, Adora menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Oops, gue keceplosan."

Mark menatap ke arah Adora sekilas. Lalu kembali menatap ke arah buku cetaknya sambil tersenyum simpul. "Lo cantik, Ra."

Langsung saja pipi Adora merona. Hal itu disadari oleh Retta. Retta menggeleng-gelengkan kepalanya melihat interaksi Adora dan Mark. Retta bangkit berdiri.

"Lo mau ke mana Rett?" Adora bertanya.

"Mau cuci muka di toilet. Sekaligus mau cari udara segar di luar. Bosen gue liat kalian berdua," ucap Retta sebelum melangkah keluar kelas.

Sebenarnya dia masih mengantuk, makanya dia hendak mencuci mukanya. Karena kantuknya, dia kurang memperhatikan jalan. Otomatis, dia menabrak seseorang di koridor utama sekolah.

Pletak!

Kantuk Retta langsung hilang kala dia tanpa sengaja menabrak tubuh Melvin dan membuat ponsel berlogo apel tergigit keluaran terbaru milik Melvin jatuh ke lantai. Retta terbelalak, menatap ke sekelilingnya. Lagi-lagi dia membuat dirinya sebagai pusat perhatian. Saat ini, rata-rata, semua kelas sedang jam kosong karena para guru sedang rapat dengan orang tua siswa di aula sekolah. Jadi, koridor terlihat ramai.

Kaki Retta mulai lemas rasanya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdebar ketakutan. Retta menunduk, menatap Melvin yang membungkuk dan mengambil ponsel milik cowok itu yang tergeletak di lantai. Setelah itu, Melvin menatap ke arahnya dengan tatapan tajam.

Melvin menyodorkan ponselnya pada Retta. "Ponsel gue lecet gara-gara lo. Ini, ambil ponsel ini buat lo. Dan lo, gantiin ponsel gue dengan yang baru."

Retta terdiam. Menatap ke arah ponsel yang disodorkan oleh Melvin. Bagaimana ini? Retta sedang dalam masalah sekarang. Mana punya duit dia untuk menggantikan ponsel mahal Melvin. Jika pun dia harus menjual milik Melvin barusan dan membeli yang baru, percuma saja karena pasti harganya berbeda. Harga ponsel Retta saja palingan cuma dua jutaan, lalu bagaimana dia bisa menggantikan ponsel Melvin.

"Ambil!" titah Melvin dengan suara keras. Namun, karena Retta tidak kunjung mengambil ponsel itu, Melvin malah melempar ponsel itu ke sembarang arah.

"Oke, mulai sekarang lo punya utang sama gue. Ganti ponsel gue secepatnya! Lo tau kan berapa harga ponsel gue? Awas aja lo sampai gak ganti!" ancam Melvin lalu mulai melangkah pergi.

Mata Retta mulai berkaca-kaca. Bagaimana ini, bagaimana agar dia bisa membelikan Melvin ponsel baru? Dia tidak mungkin meminta uang pada Indira. Dia tidak ingin Indira terbebani karenanya. Retta menatap ke arah Melvin yang baru berjalan enam langkah membelakanginya.

"Tunggu!" teriak Retta menghentikan langkah Melvin. Melvin berbalik. Retta mendekat ke arah Melvin. Lalu berlutut di depan Melvin.

"Wow!"

"Ngapain tuh cewek?"

"Dasar gak punya harga diri!"

Benar, persis seperti ucapan orang-orang di sekitarnya yang sedang menonton dia dan Melvin, Retta tahu dia seperti cewek yang sudah tidak punya harga diri. Dia tahu, dia sangat-sangat bodoh saat ini. Harga dirinya benar-benar diinjak sekarang atas kesalahan dirinya sendiri.

"Gue minta maaf, gue tau gue salah. Maafin gue, Melvin." Retta menahan tangisnya.

"Gue emang sampah. Gak punya harga diri," batin Retta.

"Retta, kamu ngapain, Nak?" tanya Indira yang tiba-tiba datang.

Retta terkejut. Cepat-cepat dia bangkit berdiri. Bagaimana ini, pasti Indira melihat apa yang barusan dia lakukan. Berlutut di hadapan seorang cowok. Benar, Indira pasti sudah melihatnya. Retta tidak berani melihat ke arah Indira. Sekilas, dia menatap ke arah Melvin.

Melvin membeku di tempatnya. Jantungnya berdebar-debar. Kakinya terasa lemas. Matanya berkaca-kaca. Tidak, Melvin tidak salah. Wanita paruh baya yang berdiri di sebelah cewek yang menjatuhkan ponselnya itu adalah sosok yang dia cari selama ini.

"Ibu?" ucap Melvin dengan suara bergetar.

Indira yang tadinya sibuk melihat ke arah Retta, kini menatap ke arah siswa yang berdiri di depan Retta. Jantung Indira mulai berdebar kala siswa itu memanggilnya ibu. Indira memicingkan matanya. Siswa bertubuh jangkung, hidung mancung, memiliki bola mata hitam pekat, terlihat familier. Setelah mencerna maksud itu semua, mata Indira berkaca-kaca.

"Melvin?" tanya Indira juga dengan suara bergetarnya.

Melvin tersenyum, mendekat lalu memeluk wanita yang sangat-sangat dia rindukan itu. Sungguh, jika saja koridor sedang tidak ramai, Melvin pasti akan menangis saat ini. Demi mempertahankan imagenya, dia hanya memeluk erat ibunya. Dia tidak menyangka dan tentunya sangat bahagia karena kembali dipertemukan dengan ibu kandungnya.

"Barusan Melvin senyum?"

"Ini maksudnya apaan sih? Kenapa Melvin meluk ibu si cewek itu?"

Bukan hanya siswa-siswi yang ada di koridor itu yang penasaran, Retta pun begitu penasaran. Serius, dia tidak mengerti apa yang barusan dia lihat. Kenapa Melvin memeluk Indira. Tadi Melvin memanggil Indira dengan panggilan 'Ibu'. Apa mungkin ... seketika mata Retta terbelalak dengan jawaban yang dia buat sendiri.

Melvin menguraikan pelukannya. Lalu menatap Indira dengan tatapan senangnya.

Untuk pertama kalinya, Retta melihat Melvin menatap seseorang dengan tatapan teduh seperti itu. Bukan tatapan tajam. Tidak ada lagi kemarahan di wajah cowok itu.

Indira menarik tangan Retta. Lalu memperkenalkan Melvin pada Retta. Ya, Indira memang tidak tahu kalau anak kandungnya itulah yang membuat Retta patah hati. Dia pikir Retta belum kenal dengan Melvin. "Retta, kenalin, ini Melvin. Anak kandung Ibu."

Retta berusaha menyunggingkan senyumnya. Ternyata benar dugaannya, kalau Melvin adalah anak kandung Indira.

"Ibu kenal sama cewek ini?" tanya Melvin.

Indira mengangguk. "Nanti Ibu akan jelasin ke kamu. Tadi, Ibu permisi keluar sebentar karena dapat telepon, dan sekarang Ibu harus balik ke aula sekolah. Sepulang sekolah Ibu tunggu kamu di minimarket depan ya? Ibu pergi dulu ya!"

Melvin mengangguk. Ada perasaan lega dalam dirinya saat ini. Indira pun melangkah kembali ke aula dengan berat hati karena harus meninggalkan putranya yang baru saja bertemu kembali dengannya. Letak aula memang dekat dengan tempat di mana Melvin dan Retta berpijak saat ini.

Melvin menatap penasaran ke arah Retta beberapa detik. Ada hubungan apa Indira dengan cewek ini? Pikirnya. Sekitar tujuh detik kemudian, Melvin berlalu pergi dari hadapan Retta.

Melvin menatapnya barusan, dan bukan dengan tatapan tajam? Apakah Retta harus bahagia? Dengan apa yang terjadi barusan, apakah itu berarti kalau Melvin akan menjadi kakak angkatnya?

Kini, masalah lain muncul. Bagaimana kalau nanti Indira bertanya mengapa dia berlutut di hadapan Melvin? Retta benar-benar merutuki kebodohannya saat ini.

🌠🌠

See you next part!

By Warda, 10 November 2019

Approccio [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang