Mata Melvin perlahan-lahan terbuka. Pusing. Hal pertama yang dirasakannya. Kemudian rasa perih di wajah dan perutnya menyusul. Satu per satu cahaya dari bawah dan gedung sekitar masuk dalam pandangannya.
Seperti ada bebatuan kecil yang terasa menusuk wajahnya yang perih itu. Tubuhnya terbaring menyamping di atas atap gedung tinggi yang masih dalam proses pembangunan. Tangannya sulit digerakkan, sepertinya terikat ke belakang.
"Udah bangun ya, Sayang?" Suara seorang cewek terdengar dari arah belakangnya. "Gimana? Mau nemenin gue di sini malam ini?"
Tak asing. Melvin kenal suara itu. Ketika seseorang menariknya, tepatnya memaksanya duduk dengan kaki yang juga diikat diselonjorkan, barulah si cewek itu muncul di hadapannya. Melvin menyeringai, dugaannya benar sekali. Ketika Melvin memalingkan wajahnya, ditemukan tiga laki-laki yang telah membuat wajahnya tergores.
Cewek itu mengenakan rok selutut, rambutnya tergerai bebas, kemudian bibir yang menyunggingkan senyum evil itu diberi warna merah mencolok. Tadinya berdiri di depan Melvin, sekarang semakin dekat.
"Shinta, mau lo apa?!" teriak Melvin. Benar. Siswi sekelas dengannya yang sering menabraknya, mencari perhatiannya, pernah menyentuh tangannya tanpa izin, dan juga pernah mengirimkan surat untuknya. Melvin sadar, tentang perasaan Shinta padanya. Sayangnya, dia sama sekali tak suka pada teman sekelasnya itu.
Melvin terperanjat ketika Shinta berjongkok di dekatnya dan tiba-tiba memeluknya. Tak lama didengarnya bisikan, "Gue mau lo."
Air muka Melvin langsung berubah. Layaknya singa yang diganggu, hendak menerjang musuhnya. Sialnya dia tidak bisa berbuat apa pun selain berteriak, karena tangan dan kakinya terikat erat. "Lo gila?!"
"Hahaha." Shinta menguraikan pelukan itu. "Silakan teriak sampai suara lo habis! Gak akan ada yang sadar keberadaan lo. Di bawah, suara kendaraan lebih berisik. Dan lo pasti bisa menebakkan, gimana tinggi gedung ini?"
"Tujuan lo apa bego?!"
Shinta menyeringai. Untuk pertama kalinya dia senekat dan seberani itu pada cowok yang disukainya itu, sekaligus pada cowok yang telah menyakiti perasaannya berkali-kali itu. Sangat menyakitkan, baginya.
"Berapa kali harus gue bilang? Yang gue mau itu lo! Tujuan gue itu lo!" Shinta menunjuk ke arah Melvin.
"Jangan bertele-tele! Katakan! Apa tujuan lo itu pengin gue loncat dari gedung ini? Pengin gue sekarat, ha?!" Rahang Melvin mengeras. Matanya menyala.
Shinta dengan mata berkaca-kaca menggeleng. Menatap lekat-lekat wajah Melvin yang terluka karena orang-orang suruhannya. Tangannya terangkat, memposisikan telapak kiri di pipi Melvin. Menepuknya pelan, pelan, dan ... PLAK!
Sebuah tamparan yang keras, terselip emosi di dalamnya.
Seketika Melvin merasakan kepedihan yang berangsur-angsur bertambah. Wajahnya nyeri. "GILA!" teriaknya sambil menyembunyikan rasa sakitnya.
Shinta malah tertawa seperti orang kesurupan. "Iya, gue emang gila. Sampai sangat suka sama wajah menyebalkan ini. Senang banget akhirnya bisa nyentuh sekaligus menamparnya. Gue sayang banget sama lo, Vin. Tapi, gue sakit hati. Lo selalu bentak gue. Marahin gue. Gak pernah sekalipun lo lihat ke arah gue. Padahal gue ada di sisi lo. Gue sekelas dengan lo. Gue kayak enggak kelihatan di mata lo.
"Lo gak tau, kan? Gue selalu nangis pas pulang ke rumah gara-gara lo jahat ke gue. Sakit banget, Vin! Lo malah suka dan pacaran sama cewek jelek itu! Padahal lo duluan kenal sama gue. Sekarang gue udah enggak tahan lagi sama lo yang pemarah itu! Gue mau kasih lo pelajaran. Lo gak pernah sadar, ucapan lo itu bikin orang lain sakit hati. Karena lo yang pemarah itu, orang yang awalnya sayang sama lo bisa jadi benci ke lo. Sekarang gue benci banget sama lo, Vin!" Shinta menumpahkan semuanya malam ini. Tentang perasaannya dan lara yang ditahannya selama ini. Dia tahu perasaannya tidak terbalas—walau Melvin belum tentu tahu perasaannya saat itu, tapi setidaknya Melvin bisa bersikap dengan baik padanya apalagi mereka teman sekelas.
"... Karena lo yang pemarah itu, hati-hati, orang yang awalnya sayang sama lo bisa jadi benci ..."
Melvin terdiam, dia jadi ingat ucapan Retta saat ceweknya itu marah besar padanya.
Shinta menangis di depan Melvin. Terlihat menyedihkan, begitu dia merutuki dirinya saat ini.
"Lo gak takut gue laporin atas kekerasan yang lo lakuin?" tanya Melvin.
Shinta menggelengkan kepalanya. Dia menyeka air matanya. Menarik napasnya dalam-dalam. "Enggak. Gue gak takut. Kalo lo mau laporin gue, silakan! Mau sekarang juga? Ayo!"
"Gila," umpat Melvin dengan suara kecil.
"Mau lo lapor atau enggak. Gue gak peduli. Karena sekarang gue udah lega. Udah ungkapin sekaligus balasin lo." Shinta menengadah, melihat langit malam yang mendung. "Sebentar lagi hujan. Kalo lo mau laporin sekaligus permaluin gue di grup kelas besok aja. Gue pergi duluan. Gue akan lupain lo secepatnya cowok berengsek!"
Shinta bangkit dari jongkoknya. Sebelum berlalu dia memberi gesture pada orang suruhannya agar melepaskan ikatan pada Melvin.
Maka tinggallah Melvin dengan nyeri di mukanya. Dia tidak berniat beranjak dari sana. Menarik kakinya, lalu dia melingkarkan tangannya di kedua lututnya. Tatapannya pada lampu-lampu dari bangunan di depannya. Hingga hujan rintik-rintik turun pun dia tak juga beranjak.
Dia sedang merenung, di bawah hujan yang semakin deras. Retta, cewek yang dicintainya itu juga telah membencinya, karena dia yang pemarah. Gara-gara ucapan Shinta tadi, dia juga tersadar. Tentang melaporkan Shinta, sekarang masuk dalam pertimbangannya yang agak ragu.
Namun, mengesampingkan itu semua. Yang menjadi hal utama renungannya saat ini adalah; dirinya yang pemarah.
🌠🌠
Tempo hujan jika dihitungnya kemungkinan hanya setengah jam. Sisa setengah jam lagi Melvin menikmati embusan angin dingin yang menusuknya hingga terdalam. Menyadari tubuhnya menjadi hangat, barulah dia pergi dari sana. Bukan pulang ke rumah ayahnya. Tapi, ke rumah Indira. Sebenarnya dia tidak ingin dua perempuan yang disayanginya itu melihat keadaannya itu, namun di rumah itulah tempat yang paling hangat baginya. Tempat yang sebenarnya, untuknya pulang.
Dia memiliki kunci cadangan, sehingga tidak perlu membangunkan Indira untuk membuka pintu. Sekarang sudah larut malam. Tubuhnya semakin panas, dia demam lagi. Pusingnya semakin meningkat. Dia berjalan sepelan mungkin.
Ternyata usahanya untuk tidak mengganggu tidurnya Indira tak berjalan lancar. Kala dia hendak mencapai sofa ruang tengah, tanpa sengaja dia menjatuhkan vas bunga. Dia terjatuh ke atas sofa. Tenaganya benar-benar habis. Matanya terpejam, namun dia bisa mendengar dan merasakan sekitarnya. Lampu ruang tengah hidup, kemudian samar-samar dia mendengar suara khawatirnya Indira.
"Ya ampun Melvin! Kenapa wajahmu? Kamu demam lagi. Bajumu basah."
"Melvin?!"
"Retta, Melvin harus dibawa ke rumah sakit. Kamu tunggu di sini sama Melvin ya! Ibu mau minta bantuan sama tetangga yang laki-laki, buat bantu bawa Melvin ke rumah sakit."
"Iya, Bu."
Selain suara gelisah yang sayup-sayup itu, dirasakannya kepalanya yang pusing itu terangkat ke paha seseorang, kalau Melvin tidak salah. Begitu nyaman. Hingga dia semakin betah memejamkan matanya tatkala tangannya digenggam erat.
🌠🌠
See you in the next part😉
Btw, kalian suka enggak sama cerita ini? Dan alasannya kenapa? Tolong ya, dijawab sejujurnya.
Hanya penulis amatir,
Warda🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
Approccio [Completed]
Teen FictionSatu sekolah tahu kalau Retta suka Melvin. Satu sekolah juga tahu kalau Melvin tidak suka Retta. Tapi, karena suatu hal, Melvin mulai mencemaskan Retta. Apalagi setelah keduanya sering bertemu di rumah yang sama. Dan memanggil seseorang dengan pangg...