Sore hari, Melvin mengajak Retta ke sebuah taman yang ada danaunya. Tentu saja sudah meminta izin Indira terlebih dahulu. Ibunya itu mengizinkan asal dia berjanji tidak boleh melampaui batasan dengan Retta.
Ada banyak bangku panjang di sepanjang tepi danau. Beberapa meter dari belakang kursi jalan setapak digunakan banyak orang untuk bersepeda. Retta dan Melvin menempati salah satu bangku tersebut. Karena sesuatu yang mendesak, Retta pergi ke toilet dan sekarang tinggallah Melvin di bangku sendirian. Ralat. Sebenarnya ada banyak orang di sana, di bangku yang berbeda tepatnya.
Retta pergi bertepatan dengan tiga cewek yang masih umur remaja SMA menempati bangku di sebelah di mana Melvin duduk.
Ketiga cewek itu berbisik-bisik menatap ke arah Melvin yang kini sibuk dengan ponsel.
"Ganteng!" Cewek berambut pendek berseru.
"Bener, gue suka nih. Gimana? Gue deketin gak, ya?" tanya cewek dengan rambut panjang, kulit putih bersih, dan memilik tampilan paling menarik di antaranya.
"Deketin aja!" Tampaknya cewek pemilik mata sipit dan berambut sebahu itu sangat setuju dan yakin kalau temannya akan berhasil.
"Oke, gue coba deketin."
Seperti itulah bisikan yang ternyata dapat didengar Melvin. Hanya saja dia apatis, tidak penting.
Cewek berambut panjang itu bangkit, mulai melangkah dan pura-pura terjatuh tepat di depan Melvin.
"Mainstream banget cara nih cewek," batin Melvin yang tetap fokus pada ponselnya.
Cewek itu sok kesakitan. Dia menatap ke arah Melvin. "Maaf, boleh minta tolong. Kaki gue sakit banget, gak bisa jalan."
Hampir saja Melvin tertawa, mereka pikir Melvin gampang dibodohi? Cowok itu tersenyum sinis. "Maaf, lo enggak kelihatan kayak orang butuh bantuan. Lo yakin kaki lo sakit?"
Cewek itu tampak kehilangan kata-katanya.
Melvin menatap teman cewek itu beberapa saat sebelum kembali pada semula. "Itu teman lo, kan? Kenapa gak bantuin lo? Oh iya, omong-omong mau lo apa? Maaf, gue dengar bisikan kalian tadi. Besok-besok kalo mau bisik suaranya jangan sampai kedengaran. Dan akting lo mainstream banget, tau gak?"
Beberapa detik kemudian, Retta tiba dengan wajah bertanya-tanya. Kenapa ada cewek duduk di tanah, di depan Melvin? Di tangan Retta ada segelas thai tea yang baru dibelinya. Dia berniat membantu cewek itu, namun Melvin malah mencegatnya sambil menggeleng.
"Duduk, Sayang!" titah Melvin dengan suara sengaja diperbesar.
Serius, cewek yang pura-pura jatuh itu sangat malu. Apalagi ucapan cowok itu nge-jleb sekali. Rasanya tidak tahu harus menyembunyikan wajahnya di mana. Ternyata cowok yang berniat dia goda itu sudah punya pacar. Cepat-cepat dia bangkit berdiri dan mengajak teman-temannya pergi, agar malu tidak berlarut.
"Tadi kenapa?" tanya Retta setelah duduk di sebelah Melvin, sambil menyesap thai tea-nya itu.
"Biasa, orang cari perhatian." Melvin merebut minuman Retta itu. Kemudian dia ikut menyesapnya, dari sedotan yang sama.
Mata Retta sudah terbelalak saja. "Sedotannya bekas gue."
"Emangnya kenapa?" Melvin tersenyum miring, masih betah minum dari sedotan yang sama dengan pacarnya.
Menurut Retta, nih, minum dari sedotan yang sama ibaratnya seperti ciuman secara tidak langsung. Karena sangsi, dia tidak menjawab seperti itu. Dia malah mengalihkan pembicaraan. "Jangan dihabisin!"
"Iya." Melvin mengembalikan milik Retta yang tinggal setengah itu.
Retta ragu, apakah dia harus minum lagi? Sebenarnya dia mau, tapi dia jadi deg-degan karena Melvin menatapnya lekat-lekat.
Mata Retta lurus memandang ke depan. Langit di ujung barat sana sudah bewarna jingga. Senyum di wajahnya terbit kala menatap pantulan langit senja dari air danau yang tenang itu. Begitu indah.
Cewek itu menaruh minumannya ke sisi kosong bangku, di sebelah kirinya. Sedangkan Melvin di sebelah kanannya. Tangan kanannya terangkat menunjuk pantulan itu. "Cantik!" serunya sambil mengulas senyum manis.
"Iya," Melvin tidak melihat ke arah yang ditunjuk Retta dan malah menatap ceweknya itu sembari tersenyum simpul, "cantik."
"Benar, kan? Emang cantik!" seru Retta. Dia mengalihkan atensinya, baru sadar tatapan Melvin tertuju padanya. Jadinya pandangan mereka bertemu. Padahal Melvin sudah resmi jadi pacarnya, tapi rasanya masih deg-degan, sama seperti saat dia mengagumi Melvin diam-diam dulu.
Melvin mengangguk. "Benar, gue baru sadar, cantik."
Retta merasa aneh dengan jawaban Melvin. Cowok itu seperti membicarakan hal yang berbeda dengannya. "Maksud lo, apa? Maksud gue pantulan itu cantik."
Melvin menatap ke arah yang dipinta Retta tadi. "Maksud gue lo yang cantik."
Gila, pipi Retta pasti sudah merona sekarang. Dia jadi salah tingkah, ditambah dengan Melvin yang tiba-tiba semakin dekat dengannya kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Retta. Melvin menggenggam tangannya erat.
"Kenapa lo jadi gugup?" tanya Melvin sadar.
Retta menggeleng. "E-enggak, kok."
Melvin terkekeh mendengar Retta tergagap. Dengan suara kecil dia berucap, "Gue sayang lo."
"Gue juga."
🌠🌠
To be continued.....
Akhirnya bisa up^^ Walaupun pendek, yang penting up kan!
Gimana, ada yang nunggu cerita ini up, gak?
See you next part 😉
09 Juni 2020Best regards,
Warda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Approccio [Completed]
Teen FictionSatu sekolah tahu kalau Retta suka Melvin. Satu sekolah juga tahu kalau Melvin tidak suka Retta. Tapi, karena suatu hal, Melvin mulai mencemaskan Retta. Apalagi setelah keduanya sering bertemu di rumah yang sama. Dan memanggil seseorang dengan pangg...