...
Waktu itu sore hari, dengan mendung hitam tebal dan angin yang berhembus lumayan kencang. Haechan baru saja mendaratkan bokongnya di bangku halte, dan saat itu juga air hujan turun dengan deras.
Dengan lelah Haechan mendesah pelan. Mencari ponselnya berniat untuk meminta jemput kakaknya. Tapi urung begitu dirinya melihat kilatan cahaya di langit, yang di susul suara menggelegar petir yang menyambar.
Haechan menelan ludahnya kasar. Matanya bergerak gelisah kesana kemari. Di halte itu hanya ada Haechan seorang diri. Kalau boleh jujur, sebenarnya Haechan merasa takut.
Suara petir kembali terdengar. Haechan semakin mengeratkan genggaman pada tasnya di pangkuan. Matanya terpejam erat dengan jantung yang sudah seperti akan copot.
Jika tau akan hujan lebat dengan petir begini, Haechan lebih memilih menunggu di kelas. Tapi sepuluh menit lagi bus akan segera lewat, dan Haechan tidak ingin tertinggal bus. Tapi, tapi dirinya juga harus terjebak di tengah hujan sendirian. Apalagi udara juga semakin dingin.
Bibir Haechan mencebik, siap menangis. Anginnya semakin kencang. Hujannya juga semakin deras. Air mata Haechan sudah menggenang dan siap untuk menetes.
"Haechan?!"
Kepalanya mendongak. Matanya membulat lebar mendapati manusia tinggi yang hampir basah kuyup berdiri di hadapannya. Itu Lucas, teman kakaknya.
"Kaakkk!"
Haechan berteriak dan memeluk brutal laki-laki dihadapannya itu. Menangis di dadanya. Masa bodoh jika dirinya membuat malu, yang pasti sekarang Haechan hanya ingin menangis.
"Sudah jangan nangis"
Lalu Haechan diajak duduk kembali di bangku halte yang mulai basah. Masih dengan posisi memeluk dengam erat, Haechan semakin menangis dengan kencang.
Lucas dengan sigap memeluk tubuh Haechan yang bergetar di pangkuannya. Menciumi pucuk kepala yang pemiliknya belum juga terlihat ingin berhenti menangis. Masa bodoh jika ada yang melihat.
"Kak aku takut" cicit Haechan menyembunyikan wajahnya di dada Lucas.
Kepala Lucas mengangguk, "Kenapa kamu malah disini kalo takut? Tadi aku nyari kamu ke kelas loh, tapi kata Han kamu sudah pulang. Ternyata kamu malah disini. Sudah tau mau hujan, harusnya nunggu di kelas aja. Untung aja aku nemuin kamu"
Haechan hanya diam di pelukan Lucas. Tangisannya sudah sedikit reda. Haechan sudah tidak setakut tadi karena Lucas tidak berhenti mengusap punggungnya. Tapi juga kesal karena Lucas malah mengomelinya.
Hampir dua puluh menit hujan mengguyur dan belum ada tanda-tanda ingin mereda, meskipun angin sudah tidak sekencang tadi. Dan dua puluh menit juga mereka duduk di halte dengan posisi yang sama.
Lucas sama sekali tidak keberatan memangku dan memeluk Haechan yang kedingingan dan ketakutan, walau dirinya sendiri juga merasa dingin dengan bajunya yang basah.
Setelah menunggu sedikit lama lagi, hujan sudah mulai mereda. Air yang turun sudah tidak sebanyak dan selebat tadi.
Lucas melonggarkan pelukannya pada Haechan. Menangkup pipi gembul yang sering dia cubiti itu. Ibu Jarinya mengusap bekas lelehan air mata di pipi Haechan.
"Sudah, nggak apapa kan"
Haechan mengangguk dan mengusap hidungnya dengan ujung lengan bajunya.
Sudut bibir Lucas tertarik lebar melihat pemandangan lucu di depannya. Haechan begitu menggemeskan dengan wajah sembab dengan hidung merahnya, apalagi dengan bibirnya yang mencebik lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kita
Aléatoire[Tentang aku, kau dan dia] Versi lain dari "ketika aku" yang sudah ditamatkan Markmin, Jenren, Luchan Ldr