Sebuah paviliun bernuansa hijau muda terasa hangat dengan seorang gadis duduk terpaku diatas tempat tidur. Matanya terbuka menerawang isi ruangan. Langit-langit putih, marmer putih, lalu furnitur serba hijau muda. Selimutnya juga hijau muda, pakaiannya saat ini dan sebuah gelang kecil disebelah tangan bertulis namanya. Gadis itu mencoba bernapas lalu mencoba menghembuskan napasnya kembali.
Sulit ia untuk mengingat, entah berapa jam yang lalu saat ia sayup-sayup melihat cahaya terang. Ia melihat langit dan tanah. Ia melihat tunbuhan dan ia melihat jalanan. Bagi orang-orang itu biasa, namun bagi seorang Nathalia yang sudah bertahun-tahun mendekam dalam kamar pengap itu membuatnya bisa mengingat. Namun sayangnya suara itu membentaknya lagi. Membuatnya harus meronta agar dilepaskan atau adiknya akan celaka.
Kepalanya pusing saat mencoba mengingat. Namun sebuah bisikan kembali terngiang jelas, "Semuanya akan baik-baik saja, kak, percaya sama adek" apa dia benar Alea? Atau ia hanya bagian dari komplotan jahat yang berusaha mengontrol kehidupannya. Nathalia mencoba melihat kekiri lalu kekanan agar otaknya berhenti berpikir.
Berpikir membuat Nathalia lelah. Tangannya nyeri, ada dua bekas suntikan disana. Apa aku sakit? Dan faktanya Nathalia tak bisa berhenti berpikir.
Sebelum Nathalia benar-benar sadar jika ia ada di rumah sakit, pintu paviliun itu terketuk lantas didorong dari luar beberapa detik setelahnya. Seorang gadis yang sangat ia sayangi datang, dengan seragam dan tas sekolah yang masih menempel di punggung. Alea membawa sekantung buah apel yang ia letakkan diatas nakas. Tersenyum kearah Nathalia lalu mendekat. Mengecup dahi Nathalia lembut.
Nathalia diam saja. Jangan sampai komplotan jahat itu mengganggu adiknya.
Seorang lainnya menyusul datang, masuk tanpa mengetuk karena memang pintu ruangan terbuka lebar. Nathalia memperhatikan lewat sudut matanya. Seorang laki-laki dengan wajah yang tak asing. Nathalia yakin mereka pernah bertemu sebelumnya. Laki-laki itu duduk di sofa. Menyapa Nathalia dengan senyuman.
"Kak senyum dong sama Laskar jangan galak-galak ih" Alea menyapa. Mata Nathalia kembali fokus pada Alea.
"Gimana? Kakak baik-baik aja kan? Kata dokter nanti sore kakak akan diajak keluar jalan-jalan, yey" Alea tertawa kecil. Mengelus punggung tangan Nathalia.
"Gimana kakak seneng kan?" Alea sumringah. Nathalia diam saja, jalan-jalan kemana?
Nathalia menoleh menatap Laskar. Melihat dengan sorot yang sulit diartikan. Alea yang menyaksikan itu tertawa kecil.
"Kakak gak lupa Laskar kan ya? Dia orang baik lho" Alea memberitahu. Nathalia terus menatap Laskar.
"Kak Natha terlihat lebih tenang, Al" Laskar berkomentar. Melambai kecil pada kak Natha.
Alea memgangguk membenarkan, "beberapa jam lalu dokter menyuntikkan antipsikotik, kakak jadi lebih tenang"
Nathalia mengerutkan keningnya, aku sakit apa?
"Kak? Kok Laskar digalakin terus? Kakak mau bilang apa sama Laskar?" Alea berusaha membujuk agar Nathalia mau bicara.
Sang kakak hanya mengedip ringan. Nathalia tak yakin jika laki-laki itu bagian dari komplotan. Alea terlihat senang berteman dengannya. Nathalia terus-terusan menatap Laskar dalam diam.
"Yaudah ya kak, kakak istirahat dulu, jangan dipaksa, ayo" Alea menuntun Nathalia untuk merebahkan badannya ditempat tidur. Menekan pelan kelopak mata Nathalia dengan jarinya, berkata, "Ayo tidur, kak Natha harus tidur, selamat bobo" lalu tersenyum lagi.
Nathalia memejamkan matanya pelan. Efek obat yang disuntikan membuatnya lebih cepat tidur. Pelan, memasuki alam mimpi. Semakin dalam dan Nathalia masih bingung apa yang terjadi dengan kehidupannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Laskar Pelangi Alea
Teen Fiction[S L O W _ U P D A T E] Tentang Alea yang dirundung mendung, banyak lara. Tentang masa lalu kelam yang terlampau menampar dengan paksa. Sakit, trauma berkepanjangan. Alea rapuh. Hanya ingin bahagia. Alea parau, bahkan tercekat. Laskar mungkin ingin...