[29]. Hilangnya rasa percaya

737 25 15
                                    

Laskar tak menyangka semuanya akan jadi seburuk ini. Alea menghujamnya dengan sebuah kalimat yang membuatnya menyesal akan apa yang ia lakukan. Ia memang tak seharusnya memaksa sampai menggunakan kata-kata yang akan menyakiti perasaan Alea. Laskar tak berniat sama sekali, ia tak berniat menyakiti Alea sama sekali.

"Gue nyesel pernah percaya sama lo, Kar"

Laskar menggeram, menyisir kuat rambutnya ke belakang. Satu hal yang ia sesali lagi: ia membiarkan Alea lolos begitu saja tanpa mencoba menahan dan meminta maaf. Laskar menyesal, ia tau ia tak seharusnya begitu.

Sementara Alea, ia melarikan diri dengan wajah yang setengah tertutup tangan. Alea kecewa, sungguh. Ia pergi dari rasa percaya yang pernah ia peluk sepenuh hati. Alea terisak, ada perasaan aneh yang menyelinap ke dalam relungnya. Memporak-porandakan perasaannya. Hingga tanpa sengaja, Alea menabrak bahu seseorang, Dania.

Dania berbalik, melihat kondisi Alea yang menutup wajah namun dapat ia pahami dengan jelas bahwa Alea sedang tidak baik-baik saja. Alea tak peduli, melihat sekilas lalu melanjutkan langkahnya. Menuju toilet perempuan. Bukan Alea tak ingin menyapa, namun ia rasa kondisinya saat ini terlalu buruk.

Alea menuju toilet, menghidupkan kran wastafel lantas menumpahkan segala kekecewaannya disana seraya membasuh wajah. Alea tak ingin jika segalanya bertambah buruk. Alea tak ingin dianggap terlalu melebih-lebihkan sesuatu walaupun ia yakin Laskar berlebihan. Cukup sampai disini.

Namun itu belum cukup. Tangisnya tumpah ruah. Alea rasa hatinya terlalu curang hingga segala hal buruk menghantui pikirannya saat ini. Segala kesedihan terpendam dari lalu-lalu membalas saat ini. Dari Nathalia yang tak kunjung membaik, kesepiannya, rasa rindunya hingga pertanyaan mengapa semuanya harus terjadi sangat buruk? Tangis Alea pecah. Susah payah ia tutup mulutnya dengan telapak tangan agar segalanya dapat dihentikan.

Namun nihil, hatinya terlampau curang. Sudah biasa tercurangi namun belum terbiasa untuk menerima. Alea tak suka.

Hingga tiga lengan memeluknya hangat dari belakang. Alea kaget, menyaksikan lewat pantulan cermin. Menyaksikan ketiga sahabatnya ada disini. Menyaksikan Luischa, Refa, dan Okta akan selalu ada untuk dirinya. Alea terisak, menutup kedua matanya.

"Al, biasain cerita, kita bukan cuma ada saat senang tapi juga ada saat susah!" Sebuah bisikan dari Luischa. Alea tak tau apa yang harus ia lakukan. Segala hal buruk masih menghantui dirinya.

"Iya, Al, kita ada saat semua diantara kita membutuhkan, kita juga ada untuk lo" Refa ikut berbisik, menenangkan sahabatnya.

"Al, lo yang paling kuat diantara kita, semuanya akan baik-baik aja, percaya!" Okta menambahkan. Lantas Alea merasa pelukan sahabat-sahabatnya kian erat. Membuktikan pada Alea bahwa mereka akan selalu ada. Memberi Alea gambaran bahwa ia tidak sendiri. Memberikan kekuatan bahwa segala hal buruk tidak akan pernah terjadi lagi. Alea tersenyum tipis, ada beban yang terangkat saat ia coba terima segalanya. Ada rasa hangat ketika ia membuka mata dan semua bayangan kelam itu sirna. Alea tak lagi merasa tercurangi.

Alea berbalik, membalas pelukan ketiga sahabatnya.

"Gu- gue gak tau kenapa Tuhan curang sama gue, gue capek, gue cuma pengen tenang" Alea tergugu. Mendadak badannya lemas hingga kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya. Alea terduduk yang langsung disambut ketiga sahabatnya.

"Al? Segalanya baik-baik aja, gak ada yang curang" Refa berkata pelan. Meraih lengan Alea lalu dilingkarkan ke lehernya agar gadis itu tidak tumbang lagi.

"Enggak Ref, segalanya buruk, segalanya enggak baik-baik aja, segalanya runyam" Alea menceracau sendiri. Semakin ia coba keluarkan keluh kesahnya entah mengapa Alea merasa ada beberapa hal yang terangkat dalam dirinya. Walau ketiga sahabatnya bukan menginginkan yang begini.

"Gue buruk, gue dibenci takdir,"

"Al? Stop kayak gini, lo orang paling kuat diantara kita, ayo senyum, lo gak sendiri, sayang"

Senyum? Alea rasa untuk saat ini ia lupa cara tersenyum.

"Gimana cara senyum? Gue.. gue lupa" suara Alea kian melemah. Ia masih tergugu, badannya menjadi kian lemas.

"Untuk apa gue hidup? Untuk sakit atau untuk mati? Bukan ini yang gue ma-"

PLAK!

Satu tamparan mendarat tepat pada pipi kiri Alea. Alea kaget, menyentuh permukaan kulitnya yang panas. Luischa baru saja menamparnya.

"AL! LO BOLEH BENCI TAKDIR TAPI LO GAK BOLEH MATI! LO GAK BOLEH MATI CUMA KARENA LO KALAH! HIDUP LO LEBIH BERHARGA DIBANDING ITU, ALEA!"

Alea tersentak, mendongak lalu menatap Luischa yang matanya sudah merebak. Luischa menangis, cepat memeluk Alea.

"Luis, maaf" ucap Alea pelan.

Alea tau Luischa benar. Sekeping harapannya hadir tepat saat tamparan itu mendarat pada pipinya. Sekeping harapan yang sebelumnya sempat sirna. Alea tau, ia salah. Alea tau, mati bukan pilihan yang tepat. Alea balas memeluk Luischa, mengeluarkan isakan yang semakin membuat badannya lemas.

"Kalian, terimakasih, gue orang paling beruntung punya kalian, gue orang paling be..beruntung" Alea lemas. Ia tak sanggup lagi menahan tubuhnya. Setelah kalimat itu berhasil diluapkan, Alea tak tahu lagi apa yang terjadi.

***

Alea pingsan, gadis itu dibawa ke UKS. Ia sudah sadar lima belas menit lalu namun kini memutuskan untuk tidur. Luischa, Refa, dan Okta menemani bahkan bolos jam pelajaran selanjutnya.

"Luis, Ref, gue haus mau ke kantin, Nitip?" Okta beranjak dari duduknya, menatap Luischa dan Refa bergantian.

"Air mineral aja satu, yang paling murah"

"Susu cokelat kotak satu, Okta yang traktir"

Mendengar jawabannya, Okta langsung muka datar. Ia tahu, konser band favorit mereka itu tinggal minggu depan.

"Iya, kan duit Okta udah cukup" Refa mengelak, memasang wajah memelas yang diimut-imutkan.

"Iya, iya," Okta mengalah, "Tiketnya udah aman kan, Luis?"

Luischa mengacungkan jempolnya, "Aman, untung kita pesan cepat"

Lantas ketiganya terkekeh bahagia. Okta melangkah pergi setelah itu, menuju kantin. Namun, tepat di depan pintu UKS, Okta terhadang seseorang yang tak asing.

"Laskar?" Okta berseru.

"Gimana kondisi Alea?" Laskar langsung bertanya tanpa basa-basi.

Okta memasang wajah heran, "Ya, cek aja langsung ke dalam" jawabnya asal.

"Aduh, jawab aja kenapa sih? Gimana keadaan Alea?" Laskar berseru bahkan mencengkram pergelangan tangan Okta.

"Ya, Alea udah sadar barusan, terus lagi tidur"

Laskar menghela napas lega, melepaskan cengkraman tangan Okta. "Syukur deh, tapi dia gak sakit parah kan? Gak pusing atau panas?" Laskar kembali menatap Okta serius. Mengajukan pertanyaan bertubi.

"Kenapa sih? Cek aja sendiri sana!" Okta balas berseru kesal.

Laskar menggeram, menarik asal rambutnya sendiri. "Ya, gue gak bisa!"

"Gak bisa?"

"Iya, gak bisa!"

"Kenapa, sih, lo? Berantem?"

"Ini lebih buruk dari sekedar berantem!"

"Hah?!"

"Yaudah ikut gue, gue bakal jelasin semuanya!"

***

See you next part, 30!
Bisa Update itu Menyenangkan 😄
Btw, selamat hari raya idul adha 1440 H, mohon maaf lahir, batin, dan segala ke-telat update-an :v

Laskar Pelangi AleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang