[42]. Pergi

788 34 21
                                    

Mama kritis. Berbagai selang dihubungkan dari satu bagian ke bagian lainnya untuk membantu menopang kehidupan mama. Yang bisa Laskar lakukan hanya menatap dari luar jendela. Memastikan mama tetap bernapas hingga deru napasnya sendiri mengembun pada kaca ruang ICU. Mama diambang perjuangan, itu kata dokter. Laskar tak ingin ada yang pergi, Laskar tak ingin ada yang ditinggalkan.

Hanya papa yang diizinkan masuk, itu pun hanya berkisar sepuluh menit. Kini mereka hanya bisa terdiam menunggu diluar dengan Virgia dipelukan papa. Semuanya hadir disana, beberapa keluarga dekat Laskar serta seluruh teman-temannya. Alea, Luischa, Refa, Okta, Dania, Ray, Arga, Micheil maupun Thomas. Semuanya hadir untuk menguatkan kala mereka lihat Laskar terburu mengambil mobil, serta Alea dengan raut cemas. Festival yang semua bahagia ditinggalkan begitu saja, terganti raut dalam Laskar diambang jendela menahan lara.

Satu jam sudah, tak ada kepastian apa-apa. Laskar menggeletukan gigi. Apa akhir dari semua ini? Laskar bangkit, hendak pergi. Seperti kebiasaannya saat situasi rasanya tak bisa ia kendali. Bukan lari, hanya saja Laskar ingin menenangkan relung terluka dipermainkan semesta.

"Laskar ke depan bentar, Pa" ucap Laskar ringan. Papa mengangguk pelan. Seluruh teman-temannya yang melihat Laskar bangkit secara spontan ikut berdiri. Mengiringi langkah Laskar dengan tatap penuh tanda tanya.

"Kemana?" Tanya Arga seketika.

"Ke depan bentar, kalian juga pulang aja gih, bantu doa yang terbaik aja buat mama" Laskaer berkata pelan, datar.

Tidak, Alea tau, Laskar ingin menangis saat itu juga.

"Mau gue temenin?" Tawar Rey.

Laskar seketika menggeleng, "gak usah Rey, gue butuh sendiri dulu"

Bohong! Tak ada orang sedih yang butuh sendiri!

Rey mendekat, namun Laskar mengisyaratkan dengan menaikan telapak tangannya. Seolah berkata, Please, biarin gue sendiri.

Alea geram dalam hati. Ia tak suka jika Laskar sok kuat seperti ini. Sama sekali ia tak suka jika Laskar sok kuat!

Laskar melangkah pergi. Mengeratkan jaket yang ia gunakan. Membiarkan segala keraguan menggerogoti seluruh ruang dalam hatinya. Laskar semakin beranjak pergi, seolah ia juga ingin ikut pergi dari seluruh rasa sakit. Jika diizinkan bertukar peran, Laskar ingin dapat menulis ulang kisah hidupnya sendiri. Yang tenang, yang indah, yang bahagia. Seolah lupa, jika ia pernah berkata bahwa tak pantas baginya mengutuk semesta, ada yang lebih dilara dibandingnya. Laskar lupa, dam langit akan mengingatkan Laskar dengan caranya sendiri.

Alea sadar, saat punggung Laskar sudah hampir tiba di tikungan lorong rumah sakit. Alea tak akan bisa membiarkan Laskar sendirian begitu saja. Tak akan bisa saat dimana ia butuh pun Laskar juga selalu ada. Alea beranjak, ingin cepat menyusul Laskar namun pergelangan tangannya dicegat Rey. Mengisyaratkan Alea untuk tinggal sementara. Alea menggeleng, berusaha menepis tangan Rey.

Dania ikut maju, memberi peringatan, "Al, Laskar lagi butuh sendiri, biarkan dia sendiri dulu"

Alea menggeleng kuat, "Gak ada orang sedih yang butuh sendiri! Orang sedih butuh bahu, orang sedih butuh tempat sekedar dirinya sendiri!"

"Tapi, Al, Laskar udah bilang kalo dia butuh waktu dulu," Dania masih berusaha menahan.

"Gak, Dan, please, lo sedih terus lo butuh sendiri itu omong kosong! Itu cuma akal-akalan orang sok kuat biar gak terlihat lemah, lo butuh orang lain. Karena apa? Karena itu yang gue rasain lebih dari setengah usia gue!" Alea berkata dalam. Perlahan pegangan tangan Rey melemah. Siapa saja malam itu pasti tau jika yang Alea katakan bukanlah sebuah bualan belaka.

Alea memperhatikan tiap iris mata teman-temannya disana, sesuatu yang sulit untuk diartikan.

Okta berdehem pelan kemudian menatap Rey, "Rey, biarin Alea pergi, Laskar butuh teman, percaya sama gue"

Rey menatap Okta, lantas melepaskan pergelangan tangan Alea. Dania diam, semuanya diam.

"Maaf, tapi gue harus pergi," Alea berkata pelan.

"Gue tunggu kalian selesai, gak aman kalo lo pulang bareng Laskar dalam kondisi begini," ujar Rey pelan.

Alea mengangguk, lekas berlari mengejar Laskar yang sudah raib ditelan tikungan lorong rumah sakit.

***

Laskar ada disana, ditaman rumah sakit sepi dengan penerangan lampu kuning remang-remang. Laskar berdiri ditepian pagar rumah sakit yang langsung menampilkan pemandangan kota. Memang, rumah sakit ini terletak diatas bukit kecil. Tenang juga nyaman.

Laskar tak bisa berhenti menebak-nebak tentang apa yang akan terjadi nanti. Baru kali ini dokter berkata padanya jika mama ada di penghujung perjuangan. Tak bisa ia tahan sesak saat lagi-lagi Virgia menangis cemas. Sulit ia menahan pedih saat papa berusaha tegar membujuk Virgia untuk berhenti menangis, padahal perasaan papa jauh lebih tak terbayangkan. Ingin rasanya Laskar caci maki seluruh alur hidupnya, membuatnya hanya bisa menunduk didepan pagar. Matanya panas, hatinya panas. Dingin malam ini tak bisa meluluhkan hatinya yang terlalu bingung.

Laskar ingin mengutuk namun sebuah telapak tangan menyentuh jemarinya. Ada hangat disana, Laskar menoleh saat ia saksikan seorang gadis mengenakan jaket kebesaran menatapnya lembut. Kedua sudut bibirnya terangkat memberikan sebuah senyum kecil yang manis.

"Alea?" Ucap Laskar pelan.

"Bener kan? Kalo orang sedih butuh sendiri itu cuma omong kosong?" Retoris. Alea langsung menarik Laskar lalu membenamkan wajah laki-laki itu ke bahunya. Membiarkan Laskar bernafas disana, "Cup cup cup, jangan sok kuat, kamu bukan power rangers lho," Alea berkata pelan.

Sesak, Laskar memeluk penuh Alea yang disambut Alea dengan menepuk-nepuk pelan punggung laki-laki itu.

"Sakit, ya? Semesta jahat ya sama kamu?" Masih retoris, "sabar ya, kita doain yang terbaik untuk mama, semoga mama sanggup berjuang sekarang," Alea tetap tersenyum walau Laskar tak dapat melihatnya.

Bagai sesuatu yang hadir, rasa sesak itu semakin dalam saat Alea menyebut kata mama yang sedang berjuang. Air mata Laskar jatuh tepat dibahu Alea. Laskar ingin melepas sesak, Laskar ingin merubah takdir, Laskar ingin menulis ulang kisah yang telah hadir.

"Mama, Papa, Virgia, aku, ataupun semua teman-teman kita itu sayang sama kamu, Kar, mungkin terlalu omong kosong jika aku bilang kamu harus terbuka sama mereka padahal aku juga kadang masih menyembunyikan banyak hal. Yang pasti, berbagi itu gak buruk. Kamu kan yang buat aku juga sanggup bicara semuanya, buat aku jadi lebih lega juga kuat. Jadi tolong lakukan hal yang sama, Kar" Alea terus mengelus punggung Laskar saat ia rasakan bahu Laskar bergetar.

Alea tersenyum tipis, walau kini ia rasa kedua bola matanya ikut merebak. Alea sudah sangat paham, Laskar tak jauh lebih sesak darinya. Alea mengerti, Laskar tak jauh lebih kuat darinya. Laskar juga rapuh, dibalik segala tingkahnya untuk menguatkan orang lain. Laskar juga sesak, sama sesak saat Alea mengingat untuk merindukan papa mama. Kehidupan jauh berbeda, namun perasaan terkadang bisa sama.

Laskar juga butuh bahu, untuk meluapkan semua sesak yang ia punya. Laskar butuh tempat, untuk bercerita tentang sakit yang ia punya. Walau tak bicara, getar tangis tanpa suaranya kali ini sudah mampu buktikan jika Laskar sayang mama. Laskar tak ingin mama kenapa-napa. Laskar lelah dengan segala kecemasan. Laskar ingin lega.

Alea semakin memeluk Laskar, "i'm here for you, now and then, cause i love you" bisiknya selirih angin.

Alea membiarkan Laskar terisak, Laskar melepaskan segala duka.

Walau satu jam kemudian, ketika Laskar dipanggil untuk kembali ke ruang ICU secepat mungkin, malam itu mama harus pergi. Mama harus pergi dipenghujung perjuangan dengan segala sisa kerelaan yang Laskar punya. Mama harus pergi.

***

:)

Stay safe everyone #dirumahaja ✌️

Mau bilang apa sama Laskar?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Laskar Pelangi AleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang