32

614 115 35
                                    



Reno memeluk Airin erat membuat perempuan itu terkejut.

"Hey? Kenapa?" Tanya Airin lembut.

Reno hanya diam tak menjawab, ia semakin mengeratkan pelukannya. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Airin.

Tak mendapat jawaban, Airin menaruh piring yang ia bawa di meja dan membalas pelukan Reno. Mengusap punggungnya pelan.

"Mau ngobrol? Hm?" Tanya Airin khawatir.

Airin melepas pelukan Reno dan menuntun tangan Reno ke sofa depan tv. Mereka duduk bersebelahan. Airin melipat kakinya dan menghadap Reno, siap untuk mendengarkan apapun yang akan Reno ceritakan.

Sedangkan pria itu masih diam. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia menyandarkan kepalanya di punggung sofa. Mendengus keras. Membuat suasana hening beberapa menit.

"Coba aja ya.. kalo aku tau dulu Nadine hamil anakku. Mungkin Binar ngga akan kayak gini sekarang." Kata Reno pelan. Memulai pembicaraan.

Airin masih diam mendengarkan.

"Kenapa ya Rin, aku bisa ngga ada ikatan batin atau apa gitu kalo dulu aku mau punya anak? Kenapa aku ngga nyari Nadine yang dulu tiba-tiba hilang abis kami putus.."

"Harusnya aku bisa cegah kalo penyebab sakitnya Binar itu cacat bawaan sejak dalam kandungan. Harusnya aku tau.. hah.. bapak macem apa sih aku Rin" Ucapnya lebih pada dirinya sendiri. Pandangannya masih menerawang ke langit-langit. Mencoba mengeluarkan apa isi hatinya.

"Bisa-bisanya ngebiarin anaknya sakit. Disiksa sama orang yang nggak menginginkan dia.. Kenapa aku masih jadi orang tua yang ngga becus Rin? Kenapa aku masih bikin dia sakit setelah semua ini.." Suaranya mulai bergetar.

Airin meraih tangan Reno, "Mas.."

"Padahal aku udah coba sebisa aku buat ngasih Binar yang terbaik. Jagain dia, Ngerawat dia.. ini.. aku.. ah!" Reno menutup matanya dengan satu lengannya yang lain. Ia berhenti sejenak. Bibirnya gemetar menahan tangis.

Jujur Airin terkejut melihat apa yang ada di depannya saat ini. Reno yang biasa jenaka, sering menggoda Binar pun dirinya, dan selalu terlihat sebagai papa yang tangguh dan bahagia bagi Binar. Kini yang ia lihat hanya seorang pemuda di usia 20an yang beberapa tahun belakangan ini kebetulan membesarkan bayinya seorang diri.  Dan secara tiba-tiba.

Airin tidak bisa melihat lelaki di depannya seperti ini. Beban Reno seolah bisa ia rasakan. Perlahan matanya berkaca-kaca. Ia menarik lengan Reno yang menutupi matanya, membuat Reno kaget. Lalu ia memeluknya dengan erat.

Tangis Reno pecah di pelukan Airin. Suaranya sesenggukan. Airin mengusap punggung Reno cepat, berharap pria itu mengeluarkan semua bebannya.

"Ngga apa-apa mas.. keluarin semua." Kata Airin, suaranya bergetar menahan tangis, meski kini beberapa tetes air mata sudah lolos dari matanya.

Reno masih menangis, erangannya semakin kuat seolah sedang mengeluarkan semua beban yang selama ini ia pendam sendiri. Sedangkan Airin tetap pada posisinya, membiarkan pria di depannya ini meminjam bahunya untuk menangis. Hingga tak sadar dirinya kini juga ikut menangis.

Selang beberapa waktu, tangis Reno mereda. Sisa sesenggukan kecil yang biasa terjadi pasca menangis. Airin melepas pelukannya. Menatap Reno yang wajahnya kacau karna air mata.

Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata dari kedua mata Reno. Lalu tersenyum memandang manik di depannya.

"Berat ya selama ini?" Tanya Airin lembut.

Reno mengangguk disela sesenggukannya, malu untuk menatap Airin. Perempuan itu tersenyum, lalu ganti mengusap air matanya sendiri.

"Aku ngga pernah menyangka hidupku bakal kayak gini Rin.. aku terlalu kaget dan ngga ngerti apa-apa soal ngurus anak. Aku ngga tau gimana gendong bayi, gimana ganti popok, ngasi susu, aku ngga ngerti Rin.. tapi aku mau belajar semua itu, ngelakuin semua itu sendirian, aku mau karna aku sayang sama Binar.... tapi.. kenapa semua itu seolah ngga cukup, Rin.... kenapa dia harus sakit..."

AIRIN KUSUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang