48

698 104 40
                                    


Mas Reno hanya terkekeh mendengarku berkata demikian.

"Ya terus kenapa? Aku kan mau nikahnya sama kamu, Rin. Bukan sama orang tua kamu." Ucapnya santai. Dia belum mengerti dimana letak kegelisahanku.

Aku bangun mendudukkan diriku di kasur untuk mengambil nafas lebih panjang.

"Nggak gitu mas, semua orang di sini kan udah tau kalau aku punya orang tua, aku punya keluarga. Aku mau menikah sama kamu, tapi gimana kalau orang-orang tanya tentang keluargaku? Aku nggak punya." Terangku.

Mas Reno ikut duduk dan membalik bahuku untuk menghadapnya. Ia menghela nafas cukup keras dan menatap mataku.

"We will figure it out. I promise, we'll find a way." Ucapnya meyakinkanku. Jujur saja aku percaya padanya, tapi itu tidak cukup membuat hatiku tenang. Tiba-tiba saja rasa kecemasan ini menghampiriku.

Mas Reno menggenggam kedua tanganku. Sepertinya ia sadar bahwa aku belum baik-baik saja.

"Aku tau, aku janji bahwa kita akan ngadepin semua ini bareng-bareng. Tapi, untuk mewujudkan itu, aku juga butuh bantuan kamu, Rin.. Aku butuh kamu buat percaya sama aku. Hm?"

Aku tak berkedip menatap matanya, lalu ketika aku akhirnya mengangguk pelan, ia memelukku.

"Lagian kamu tuh orangnya baiiik banget. Ramah, friendly, bisa deket sama siapa aja..." Katanya sembari mengusap lembut punggungku.

Lalu ia melepas pelukannya dan mengelus puncak rambutku.

"How is it so easy for you to be kind to people?"

Aku terdiam sejenak dan menatap maniknya lurus, "Cause people have not been kind to me." Ucapku, membuatnya terkejut. Tangan Mas Reno berhenti mengelus rambutku. Ia menarik tangannya kembali. Fokus menatapku. Aku memutuskan untuk bercerita padanya. Tentangku, dan masa laluku.

"Sejak bayi aku sudah berada di panti asuhan. Dengan 5 perempuan dan 8 laki-laki. Jarak umur kita semua beda jauh. Aku yang paling muda saat itu."

"Jadi yang termudah membuat aku mau nggak mau harus nurut pada kakak-kakakku yang lain." Aku larut pada cerita masa kecilku, mengenangnya dengan helaan nafas kecil. "Aku senang dengan mereka. Semuanya baik. Terutama satu kakak laki-laki itu selalu jagain aku, belain aku, bikin aku seneng. Dia selalu bilang sayang sekali sama aku."

"Sampai akhirnya dia bikin aku sadar kalau rasa sayang dia itu aneh. Saat itu aku ngga tau bahwa yang dia lakuin itu.. adalah.. pelecehan seksual..." Tanganku bergetar mengingat kejadian itu. Aku bersyukur Mas Reno menyadarinya dengan cepat dan langsung menggenggam kedua tanganku. Membuatku merasa aman untuk cerita hal ini.

"Saat itu aku baru kelas 4 SD dan dia kelas 2 SMP. Dia memaksaku untuk mandi denganku. Aku percaya saat dia bilang dulu kita sering mandi bareng. Dia bahkan sering memandikanku saat aku masih bayi. Tapi yang dia lakukan setelah itu sangat membuatku trauma. Tangan dia menyentuh bagian-bagian tubuhku.. Aku dilecehkan saat aku masih kelas 4 SD.." Air mataku perlahan menetes.

"Aku nggak berani bilang apa yang telah kakak itu lakukan ke ibu panti karna aku takut. Aku takut aku yang akan dihukum. Mereka nggak mungkin percaya kakak ini melakukan itu padaku. Dia selalu meyakinkan aku bahwa dengan begitu aku membuatnya bahagia. Aku nggak betah lagi di panti asuhan itu. Tiba-tiba saja semua terasa suram."

Melihat tanganku yang masih bergetar, Mas Reno tak berhenti untuk terus mengelusnya, setidaknya hal itu cukup untuk menenangkanku.
"Rin... it's okey kalo kamu nggak siap buat cerita semua ini. Nggak harus sekarang kok." Ucapnya.

Aku menggeleng. Nggak, aku harus menyelesaikan semua malam ini. Dalam artian aku tidak ingin lagi menyimpan rahasia dengan orang yang kucintai dan mencintaiku. Aku ingin 'tidur nyenyak' bersamanya setelah ini.

AIRIN KUSUMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang