•3

214K 16K 293
                                    

Una POV

Pukul sembilan malam, aku berdiri tegap di depan rumah sakit milik keluarga Kastara, tempatku bekerja selama kurang lebih lima bulan ini.

Aku menempelkan handphone-ku di samping telinga. "Halo?" Aku sedang menelepon Siny, temanku.

"Iye, Na? Kenape?" suara Siny terdengar lemas. Aku tahu betul apa yang sedang dia lakukan sekarang.

"Lo mabuk-mabukan lagi?"

"Na, gue kan cantik yak. Tapi kenapa sih dia pergi ninggalin gue?! Gue cantik kan?!" ucapan Siny sudah mulai melantur.

"Lo dimana?!" tanyaku panik.

"Rumah..."

"Jangan kemana-mana, gue pulang sekarang." Aku mengakhiri panggilan itu dengan cepat. Itulah Siny, cewek tomboy yang hobby-nya mabuk-mabukan sampai membuatku panik hampir setiap hari karena ulahnya.

Selama di Jakarta, aku memang tinggal bersama Siny, dia adalah temanku sejak kecil yang memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Tadinya aku tidak tinggal di sini, aku tinggal di Surabaya. Di sana aku tinggal bersama mama, dia membuka rumah makan kecil untuk membiayai kuliah kedokteranku.

Setelah lulus dan mendapat gelar dokter spesialis bedah umum, aku bekerja di cabang rumah sakit milik keluarga Kastara di Surabaya selama empat bulan, lalu aku dipindahkan ke rumah sakit pusat di Jakarta. Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan mama sendirian, mengingat usianya tidak lagi muda. Tapi disisi lain, aku tidak mungkin menolak karena ini adalah pekerjaanku.

Cukup lama aku mencoba mencari taksi di jalan raya, namun tidak ada satupun taksi yang lewat. Beberapa detik kemudian, kulihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depanku.

"Belum pulang?" Dokter Jeka, dia membuka kaca mobilnya dan berbicara padaku.

"Saya lagi cari taksi..."

"Mau numpang? Dokter Jeka menawarkan.

"Nggak usah, dok. Saya bisa naik taksi aja," kataku beralasan. Sebenarnya, aku menolak karena tidak ingin dia memaksaku untuk menjadi partnernya. Aku belum bisa memutuskan. Aku tidak tahu harus menerima tawarannya atau justru menolaknya.

"Okay." Dia menutup kaca mobilnya dan melaju pergi begitu saja.

Tak perlu menunggu lama, sebuah mobil lain kembali berhenti di depanku dengan kaca yang telah terbuka. "Nggak pulang?" Dia Dokter Victor.

"Lagi nunggu taksi."

"Masuk aja, Na. Kita satu arah juga kan?"

"Nggak usah, dok. Takutnya ngerepotin."

"Jam segini taksi udah jarang lewat. Mendingan kamu ikut sama saya aja, saya anterin sampe ke rumah kamu."

Aku berpikir sejenak. "Beneran, dok?"

"Iya, masuk aja."

Aku pun mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobil Dokter Victor. Daripada aku harus menunggu taksi lagi, lebih baik aku menumpang dengannya kan? Hitung-hitung untuk mengurangi biaya transportasi.

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang