•10

142K 11.8K 168
                                    

Empat hari telah berlalu. Dan selama itu juga Siny tak kunjung pulang ke rumah. Di dalam ruang kerjanya, Una tak hentinya mondar-mandir sembari menempelkan ponselnya di samping telinga. Ini adalah kali ke tujuh puluh delapan dia mencoba menghubungi Siny, tetapi tidak dijawab juga. Pesan yang Una kirimkan sejak empat hari yang lalu pun belum dibaca sama sekali.

Kepala Una pening memikirkan Siny. Kemana perginya anak itu? Kenapa tidak memberi kabar sama sekali? Una benar-benar khawatir. Kalau saja hari ini tidak ada jadwal operasi, mungkin dia sudah mengambil cuti hanya untuk mencari Siny. 

Bunyi ketukan pintu lantas membuat Una menoleh ke belakang, "Masuk."

Seorang pria berjubah putih masuk ke dalam sana dengan senyuman tipis, "Lagi sibuk?"

Andy, seorang spesialis bedah jantung sekaligus sahabat dekat Arifan, pemilik rumah sakit Kastara. Pria paruh baya itu juga ikut memegang kendali atas rumah sakit ini dan Una juga sangat dekat dengannya. Bahkan Una sudah menganggap Andy sebagai ayahnya sendiri.

Una tersenyum lalu menggeleng, "Nggak sibuk kok. Ada apa, dok?"

Andy mendekat, "Mau makan siang bareng saya?" dia memperlihatkan tiga buah styrofoam berisi nasi gudeg kesukaan Una.

Una tertawa kecil, "Dokter beli nasi gudeg lagi?"

Andy mengangguk, "Iya, kamu kan suka nasi gudeg di pinggir jalan deket rumah sakit!" dia berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.

Ketukan pintu terdengar lagi. Una sedikit mengernyitkan keningnya. Siapa lagi yang mau bertamu ke ruangannya ini? Setahunya, Syifa dan Deyra sedang sibuk di dalam ruang operasi.

"Siapa?" Una berbalik ke arah pintu, melihat Jeka yang menampilkan setengah badannya ke dalam. "Dokter Jeka?"

"Eh, Jeka! Ayo, sini, sini!" Andy tersenyum sumringah lalu menepuk-nepuk sofa di sebelah kirinya, menyuruh Jeka untuk ikut duduk.

"Iya, dok..." Jeka menurut. Dia melirik Una sekilas, kemudian beralih duduk di samping Andy.

"Saya yang manggil Jeka ke sini. Soalnya, saya kelebihan pesen gudegnya. Ada tiga kotak nih!" jelas Andy, dia mulai menata makanan itu di atas meja. "Una, ikut makan juga yuk!"

Una mengangguk, "Oke."

Andy duduk di tengah, sedangkan Una serta Jeka duduk di samping kanan dan kirinya.

"Ayok makan anak-anak papa tersayang!" perkataan Andy tentu saja mengundang tawa dari kedua dokter yang duduk di sampingnya.

"Dokter ada-ada aja," ucap Jeka.

Setelah berbincang ringan sembari memakan nasi gudeg bersama Una dan Jeka, kini pria berumur itu bangkit dari tempat duduknya. Matanya menatap Una dan Jeka secara bergantian.

"Saya mau ke toilet dulu ya, nanti saya balik lagi. Jangan dimakan nasi gudeg saya!" ujarnya disusul cekikikan kecil.

Una menahan tawanya, "Iya, nggak dimakan kok. Dokter tenang aja!"

"Ya udah, saya kebelet nih! Sebentar ya," Andy langsung melipir ke toilet dengan langkah besar, menyisakan Una dan Jeka di dalam ruangan itu.

"Una..."

"Iya, dok?"

"Itu..." Jeka menunjuk bibir Una, "Belepotan."

"Eh?" cewek itu refleks mengusap ujung bibir bagian kanannya.

"Bukan disitu!" Jeka duduk merapat ke arah Una lalu mengusap noda makanan di bibirnya.

Sontak Una menegang dan membisu selama beberapa detik, "Makasih, dok..." senyuman kecil terukir di wajah manis Una. Kepalanya tertunduk dalam, pipinya bersemu merah.

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang