Sejak Una pulang dari rumah sakit, Siny tidak berhenti mengomel seperti emak-emak. Padahal, mata Una sudah tidak sanggup untuk terbuka lama. Apalagi, mendengarkan ocehan Siny yang malah membuat telinganya panas. Una memutar mata malas lalu berjalan ke sisi lain kamar, bersama Siny yang mengekorinya di belakang. Una mengoleskan salap untuk mengobati memar pada lehernya kemudian beralih menatap Siny yang belum juga berhenti mengomel.
"Na, pokoknya lo harus berhenti kerja di rumah sakit itu! Kalo lo ketemu dia mulu, yang ada lo bisa mati karena dibunuh Yeira!" Siny memberi tatapan sinis seraya menaruh kedua tangannya di pinggul.
Una membuang napas lewat mulutnya. Dia tidak menanggapi ucapan Siny sama sekali, Una sudah terlalu malas dan mengantuk. Cewek dengan rambut panjang terurai itu duduk di atas meja rias, mengoleskan sebuah krim pada wajahnya dan tersenyum tipis sembari menatap dirinya sendiri lewat pantulan cermin.
"NA! LO DENGERIN GUE NGGAK SIH?!"
Una menoleh ke arah Siny dengan tatapan malas, "Iya, denger."
"Terus gimana? Lo harus nurut sama apa yang gue bilang! Kalo nggak, nyawa lo bakalan melayang, Na!"
"Gue nggak mungkin berhenti kerja di sana, Sin..." suara Una terdengar lemas akibat mengantuk. Cewek itu langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan memasukkan kedua kakinya ke dalam selimut. Una tersenyum lebar, posisi ini benar-benar nikmat. Tubuhnya yang lelah karena bekerja seharian akhirnya bisa beristirahat lagi.
Siny yang masih belum puas mengomel itu berjalan ke sisi kanan ranjang, dia menatap Una yang sudah hampir terbang ke dunia mimpi. "Ini pasti baru permulaan, Na. Dimulai dari pipi dan leher. Terus apa? Perut? Atau mungkin dia langsung ngebunuh lo?"
"Sin, udah ya... Gue ngantuk banget, sumpah! Good night!" Una menguap lebar lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh mungilnya, termasuk kepala.
"Ah elah! Si bagong ngeyel banget sih! Pokoknya, gue nggak mau ikut campur kalo Yeira tiba-tiba ngelakuin hal yang lebih parah dari hari ini!" Siny memandang selimut yang membalut seluruh tubuh Una dari jemari kaki hingga ujung kepala. Dia masih mengharapkan jawaban dari Una meski dia tahu anak itu pasti sudah tertidur. "Au ah! Pusing gue!" Siny mengusap wajahnya kasar dan ikut berbaring di samping Una. Sebenarnya dirinya juga mengantuk.
* * *
Ruang operasi hari ini terlihat sepi, tak ada pasien atau bahkan perawat yang melaksanakan operasi di dalam sana. Hanya ada seorang dokter tampan yang selama ini menjadi idola seisi penghuni rumah sakit, siapa lagi kalau bukan Jeynando Kastara. Cowok itu tampak tengah sibuk menata beberapa alat-alat medis di dalam sana. Bukan tugasnya memang, tapi sepertinya dia suka melakukannya.
"Jeka..." suara manis itu membuat Jeka langsung menoleh ke belakang. Jeka mengukir senyuman ketika matanya menemukan seorang gadis cantik yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Dia menggunakan pakaian operasi yang lengkap meski tidak menggunakan masker.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Una dengan kening yang mengernyit bingung.
"Kamu juga kenapa ada di sini?" Jeka malah balik bertanya.
"Aku denger, kamu ada di sini. Jadi aku nyusul kamu," jelas Una kemudian berjalan mendekati Jeka.
Jeka mengangguk paham dan kembali melemparkan senyuman manis, kakinya mulai melangkah mendekati cewek bertubuh mungil itu. Ia berdiri tepat di hadapannya, satu tangan Jeka langsung mengusap pipi Una dengan lembut.
"Bekasnya udah hilang..." kata Una sembari tersenyum tipis. Untungnya, memar pada leher Una juga sudah mulai memudar. Meski begitu, Una tetap menutupinya dengan foundation agar tidak terlihat.
![](https://img.wattpad.com/cover/210591818-288-k499436.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctors In Love ✔
RomanceSemua perempuan baik dokter, perawat bahkan pasien juga memuja ketampanan seorang Jeynando Kastara, ia merupakan seorang dokter sekaligus putra dari pemilik rumah sakit tempat Una bekerja. Aleyuna Delunica, seorang dokter spesialis bedah yang beker...