•31

88.2K 6.6K 134
                                    

Sudah tiga jam operasi itu berlangsung, Una semakin gelisah karena tubuhnya yang mendadak lemas entah apa penyebabnya. Matanya masih terus memandang lurus ke arah pasien yang ada di atas meja operasi.

"Suction!" ucap Una.

"Una, kalo kamu kecapekan, istirahat dulu. Biar saya yang gantiin," Jeka yang sadar dengan keadaan Una langsung menatapnya dengan tatapan khawatir.

"Nggak papa, saya bisa." Keringat dingin mulai membasahi permukaan wajah Una.

"Una..." Jeka menegur.

"Saya bisa!" Una mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha berkonsentrasi.

"Kamu pergi ke ruang jaga dan istirahat aja!"

Una merasa semakin mual disertai rasa pusing di bagian kepala, pandangannya pun mulai gelap. Cewek itu lalu menatap Jeka yang berdiri di sampingnya, "Saya permisi ke ruang jaga."

Jeka mengangguk, "Silahkan. Kalau nggak bisa, jangan terlalu dipaksakan."

Baru beberapa langkah Una berjalan, badannya tiba-tiba saja tergeletak lemas di atas lantai operasi yang dingin. Tentu saja hal itu membuat Jeka dan beberapa perawat langsung berlarian menghampiri Una.

"Una?!" Jeka melepas handscoon yang ia pakai dan segera mengguncang tubuh Una, tapi tidak ada perubahan. Tubuh Una tetap bergeming.

"Tolong minta dokter yang siap untuk menggantikan saya!" Jeka berseru lantang.

"Baik, dok!" salah seorang perawat berlari meninggalkan ruang operasi secepat mungkin.

Jeka yang panik itu pun langsung menggendong tubuh Una dengan hati-hati dan membawanya keluar dari ruang operasi. Cara berlari Jeka begitu menjelaskan betapa khawatirnya ia pada perempuan ini. Dia tidak ingin suatu hal buruk terjadi pada Una.

* * *

Di sini lah Una berada, di dalam ruangan berwarna putih yang biasanya dipakai untuk pasien rawat inap. Beberapa menit terlewat, akhirnya cewek itu membuka matanya dengan lambat dan langsung menatap ke sekeliling kamar yang tampak tidak asing baginya. Una tahu ini adalah kamar rawat di rumah sakit tempatnya bekerja. Una sedikit mengusap matanya dan langsung memegangi kepalanya yang terasa berat.

"Una? Are you okay?" suara berat Jeka seketika merasuki gendang telinga Una. 

"Jeka..." suara Una masih terdengar lemas. "I'm okay," balasnya seraya tersenyum tipis.

"Una... Aku khawatir banget!"

"Aku nggak papa kok."

"Aku udah periksa dan nggak ada penyakit serius, kamu cuma kecapekan. Kalau kamu emang capek, jangan terlalu dipaksain. Itu nggak baik buat kamu," ujar Jeka dan hanya dibalas anggukan oleh Una.

"Nih, minum dulu!" pria itu memberikan segelas susu hangat pada Una.

Dibantu Jeka, Una merubah posisi berbaringnya menjadi duduk tegap. Dia memberikan senyuman lebar dan langsung menyambut segelas susu hangat yang dibuatkan Jeka khusus untuknya. Una meminum susu hangat itu sebanyak dua tegukan dan kembali menyodorkannya pada Jeka.

"Sudah?"

Una mengangguk, "Udah..."

Setelah mendapat jawaban dari Una, Jeka menaruh gelas itu di atas meja yang ada di samping ranjang. Pandangannya beralih menatap Una yang masih tampak lemas, selanjutnya cowok itu membawa Una ke dalam pelukannya, mengelus rambut Una dengan lembut dan sesekali mencium puncak kepala Una.

"Jangan sampe kecapekan lagi ya? Kalau kamu udah ngerasa capek, langsung istirahat aja. Okay?"

Una mengangguk, "Iya... Maaf karena aku udah bikin kamu khawatir." Senyuman lebar terukir di bibir manis Una. Perhatian yang selama ini ia inginkan dari seorang ayah, ada pada pria yang memeluknya ini. Meskipun dia tidak bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya sendiri, tapi Una sudah bahagia karena Jeka bisa menggantikan itu semua. Tapi Una semakin takut, takut jika harus kehilangan sosok Jeka.

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang