Una membuka matanya perlahan, kemudian menyentuh kepalanya yang terasa pening, entah apa yang telah dilakukan Zaxion pada dirinya. Sepertinya Una pingsan. Zaxion sempat menyuntikan cairan pada tubuh Una hingga membuat dirinya tidak sadarkan diri.
Kini dirinya berada di dalam sebuah ruangan kosong dan di sana hanya terdapat sebuah bangku kayu yang hampir ambruk. Setahu Una, ini adalah ruangan yang ada di rooftop rumah sakit tempatnya bekerja. Tangan dan kakinya diikat oleh tali sampai Una dapat merasakan sedikit rasa perih pada pergelangan tangan dan kakinya akibat ikatan yang begitu kuat ini.
Tubuh Una menegang ketika melihat Yeira yang kini berjalan masuk ke dalam sana sambil menggenggam palu di tangan kirinya dan secangkir kopi di tangan kanannya. Yeira tersenyum puas seraya memandangi Una yang kini tergeletak lemas di atas lantai. "Hai..." Dia mendekat ke arah Una sambil tersenyum lebar. Una tahu, di balik senyuman dan sapaan ramah itu ada maksud tertentu.
Yeira duduk di atas bangku sambil sesekali menyeruput kopinya. "Kenapa sahabat gue ini diem mulu? Bisu apa tuli?" tanya Yeira kemudian terbahak keras entah apa yang lucu dari kalimatnya barusan.
"Kamu mau apa sih?!" Una memberanikan diri untuk menatap wajah cantik Yeira. Cantik, namun juga menyeramkan.
"Kata dokter, umur gue nggak akan lama lagi, Na. Jadi sebelum gue meninggal, gue pengin ngobrol sama sahabat terbaik gue ini."
"Tolong lepasin aku," ujar Una memohon.
"Nanti ya... Habis kita ngobrol!" Yeira kembali memberikan senyuman sinis. "Una, nasib lo tuh buruk mulu ya. Bahkan temen lo sendiri udah ngekhianatin lo..." kata Yeira, tetapi tak mendapatkan jawaban dari Una. "Lo tau, nggak? Yang ngelaporin lo sama Jeka waktu di ruang operasi itu, Deyra!"
Una semakin tidak bisa berkata-kata. Apa benar Deyra melakukan itu? Dan kenapa? Apa alasannya?
"Ah... Lo kehausan ya makanya nggak bisa ngomong. Nih, minum dulu!" Yeira menyodorkan secangkir kopi tadi pada Una. "Eh, gue lupa!" Yeira memiringkan kepalanya ke samping kemudian menatap Una dengan ekspresi sok iba. "Tangannya diiket ya... Kalo gitu kayak gini aja!" Yeira menuangkan kopi tersebut pada tubuh Una hingga habis.
"YEIRA!"
"Eh, sorry... Gue nggak sengaja!"
Una memandang Yeira geram, ingin sekali ia pergi dari tempat ini. Sungguh, Una tidak ingin lagi berurusan dengan perempuan di depannya ini. Dia sudah terlalu lelah menghadapi seorang Yeira yang licik dan sadis.
"Ehm... Btw, sebentar lagi hubungan lo dan Jeka bakalan berakhir. Jeka bakalan jadi punya gue. Lo tau kenapa? Karena lo nggak akan bangun lagi malam ini juga..." ucap Yeira kemudian terbahak kencang sampai membuat Una ingin sekali menulikan pendengarannya.
"Yeira, stop!" bentak Una.
"Lo tau kan kenapa gue benci banget sama lo? Lo udah ngebunuh nyokap gue! Lo udah merampas semua kebahagiaan gue, Na!" Yeira histeris. "Kelahiran lo nggak pernah diharapkan! seharusnya, lo itu nggak ada di dunia ini!" Yeira melemparkan gelas yang ia genggam tadi ke dinding tepat di samping Una.
"YEIRA!" pekik Una karena panik ketika mendengar bunyi pecahan gelas kaca yang terdengar begitu nyaring sampai membuat telinganya sakit.
"LO NGGAK PANTES HIDUP, NA!" Yeira berjalan mendekat dan langsung menjambak rambut cewek itu. Yeira membenturkan kepala Una berkali-kali pada dinding, tak peduli Una berteriak kesakitan dan terus membenturkan kepalanya dengan sadis.
Una sudah berusaha melawan, tentunya dia tidak dapat diam saja karena ini berhubungan dengan nyawanya. Una mendorong tubuh Yeira menggunakan kedua tangannya yang masih terikat hingga tubuh Yeira terhuyung ke belakang.
"Lo berani ngelawan sekarang?!" Yeira tak menyerah, ia mendekati Una lagi dan kembali membenturkan kepala gadis itu dengan sangat kencang.
"AKHH..." Una meringis ketika merasakan rasa sakit yang bertubi-tubi pada bagian kepalanya. "Aku mau keluar dari sini..."
* * *
Jeka memukul kasar setir mobilnya. Dia sudah mencari ke berbagai sudut jalanan, tetapi belum juga menemukan Una. Tidak ada petunjuk sedikit pun. Lalu, di mana sebenarnya Una sekarang? Jeka memutar mobilnya untuk kembali lagi ke rumah sakit. Rasanya percuma jika dia terus mencari Una di sisi jalan raya. Pasti tidak akan ketemu.
Jeka hanya perlu memastikan sekali lagi jika perempuan itu memang menghilang atau mungkin sudah kembali ke rumah sakit. Jeka melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, itu artinya sudah empat jam lebih Jeka berkelana dengan mobilnya tanpa tujuan yang jelas.
"Aku mohon, kamu baik-baik aja..." lirih Jeka dan kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.
Sesampainya di rumah sakit, cowok itu langsung berlari kencang menuju ruangan kerja Una. Dirinya sampai menjadi perhatian seluruh pasang mata yang ada di sana. Dengan napas tersengal-sengal, Jeka masuk ke dalam ruangan Una dan langsung menemukan Deyra dan Syifa.
"Loh, Dokter Jeka?!" sentak Deyra dan Syifa bersamaan.
"Kalian ngapain ke sini?"
"Nyari Una, dok. Dari tadi dia ngilang, nggak tau ke mana!" ujar Syifa, bingung.
"Jadi, kalian juga nggak tau dia di mana?" tanya balik Jeka membuat kening Syifa dan Deyra semakin mengerut bingung.
"Emangnya dokter juga nggak tau Una pergi ke mana?" tanya Deyra.
Jeka menggeleng cepat, "Saya udah cari Una di segala sisi rumah sakit. Sampai ke jalanan pun saya cari. Tapi, nggak ada!" Cowok itu memijit kepalanya yang terasa pening akibat memikirkan Una. "Saya takut dia kenapa-napa."
Deyra mematung. Di dalam hati, dia berulang kali mengucapkan nama Yeira yang menurutnya adalah dalang dari semua kekacauan ini. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Yeira?
"Dok—" perkataan Deyra terhenti ketika pintu ruangan tersebut terbuka hingga menampilkan seorang Victor yang kini menatap ketiga orang itu dengan napas terengah-engah.
"Jeka, gue dapet informasi tentang Una!" Victor berlari kecil menghampiri ketiga orang itu. "Gue nggak begitu yakin, tapi kayaknya Una ada di rooftop rumah sakit." Deyra, Syifa, dan Jeka serempak melotot kaget akibat perkataan Victor.
"CCTV di rooftop mati semua dan pintu masuk rooftop dikunci," lanjut Victor.
"Una pasti ada di sana!" Tanpa basa-basi, Jeka langsung berlari kencang mendahului Deyra, Syifa, dan Victor yang ikut berlari di belakang Jeka.
Tbc.
[Revisi, 7 Desember 2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctors In Love ✔
RomanceSemua perempuan baik dokter, perawat bahkan pasien juga memuja ketampanan seorang Jeynando Kastara, ia merupakan seorang dokter sekaligus putra dari pemilik rumah sakit tempat Una bekerja. Aleyuna Delunica, seorang dokter spesialis bedah yang beker...