•12

134K 10.6K 84
                                    

Una POV

Di rooftop rumah sakit, aku berdiri di samping Dokter Jeka, mendengarkan Dokter Jeka yang mengatakan jika pasien mendadak kami beberapa hari yang lalu akan menjalani perawatan paliatif di rumah sakit ini. Dan ternyata Yeira adalah anak Dokter Andy. Sebenarnya aku sudah sering mendengar cerita dari Dokter Andy tentang anak perempuannya, tetapi Dokter Andy tidak pernah memberitahu namanya dan kami juga belum pernah bertemu.

"Jadi dia bakalan dirawat di sini?" tanyaku untuk sekadar memastikan.

"Iya," Dokter Jeka mengangguk mengiyakan. "Ini kenapa?" tanyanya tiba-tiba. Dia meraih pergelangan tanganku dan menatap sayatan luka yang disebabkan oleh serpihan kaca yang menyayat pergelangan tanganku.

"Eh? Nggak papa, dok. Cuma kegores sedikit."

"Kenapa bisa kayak gitu? Itu bukan cuma goresan. Itu luka terbuka yang lumayan dalam."

"Nggak papa kok... Nanti saya obatin. Cuma kesayat kaca aja."

Sebenarnya jika tidak dibahas, aku tidak akan merasa kesakitan. Tapi sekarang malah tiba-tiba terasa sedikit perih.

"Kenapa bisa sampai kesayat kaca?"

"Meja kaca yang ada di lobby rumah sakit pecah. Pas saya lewat nggak sengaja kesayat ujung mejanya. Terus, jadi kayak gini deh!" Aku tersenyum, "Tapi mejanya udah dipindahin kok."

"Ikut saya! Saya obatin," aku tersentak ketika Dokter Jeka tiba-tiba menggenggam erat tanganku dan membawaku pergi entah kemana.

* * *

Aku hanya duduk manis seraya memerhatikan Dokter Jeka yang sekarang sibuk mengobati pergelangan tanganku. Hari ini aku bisa merasakan menjadi pasiennya meski hanya dalam beberapa saat.

"Sedikit lagi..." ucapnya lalu menutup lukaku dengan perban luka. "Selesai," katanya lagi. Kali ini dia menatapku.

Aku tersenyum, "Makasih, dok..."

"Hm," dia membalasnya dengan dehaman kecil.

Kami berdua duduk berdampingan di ruangan Dokter Jeka, menghadap ke jendela kaca yang cukup besar. Pemandangan jalan raya pagi ini ternyata terlihat indah jika dilihat dari atas. Embun pagi dan sinar matahari yang tidak terlalu terik pun bisa terlihat. Aku menoleh ke samping kanan, melihat raut wajah Dokter Jeka yang berubah murung. Entah apa penyebabnya.

"Dok..."

"Hm?"

"Dokter kenapa?" tanyaku penasaran. "Lagi mikirin sesuatu ya?"

Dokter Jeka mengangguk. "Iya. Saya tiba-tiba inget sesuatu," sahutnya, membuatku semakin penasaran.

"Tentang apa?"

"Dulu, saya sering ngeliatin jalan raya kayak gini bareng seseorang..."

Biar kutebak, itu pasti mantan tunangannya. Ingin sekali rasanya aku menanyakan apakah benar pemikiranku ini. Namun, aku takut perkataanku malah membuat Dokter Jeka semakin sedih.

"Dokter mau ini?" aku memutuskan untuk memberikan sebatang cokelat kecil yang tadinya berada di dalam tasku.

Sebenarnya itu stok cemilan yang selalu aku sediakan untuk bekerja. Tapi, daripada memandang wajah Dokter Jeka yang murung seperti sekarang ini, lebih baik aku berikan padanya saja. Katanya sih, cokelat bisa membantu mengubah suasana hati seseorang.

Dia mengambil sebatang cokelat tersebut dari tanganku lalu membuka kemasannya dan mematahkan cokelat itu menjadi dua bagian. "Buat kamu," Dokter Jeka memberikan setengah bagian dari patahan tersebut untukku.

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang