Beberapa menit terlewat, namun Una masih berada di dalam dekapan lelaki itu. Kemeja hitam yang Jeka pakai pun juga sudah terlihat basah akibat air mata Una yang terus terjatuh di sana.
"Una..." perlahan Jeka melonggarkan pelukannya dan beralih menatap gadis itu. "Ceritain ke saya apa yang bikin kamu nangis kayak gini."
Una terdiam lalu menengadah menatap kedua bola mata Jeka, "Maaf, dok. Bukan sekarang waktunya... Saya belum siap."
Jeka mengangguk, "Ya udah, kamu nggak perlu cerita kalau memang belum siap." Ibu jarinya perlahan menyeka air mata Una yang terus turun tanpa henti. "Jangan nangis lagi, okay? Kalau emang ada sesuatu, ceritain semuanya ke saya. Saya pasti dengerin kamu," Jeka tersenyum teduh.
Una mengangguk lemah dan ikut tersenyum meski senyumannya hampir tidak terlihat.
"I Love You," Ingin rasanya Jeka mengatakan kalimat itu secara langsung, tetapi dia tahu situasinya memang tidak mendukung. Jeka ingin Una tahu seberapa dalam perasaannya kepada perempuan di depannya ini. Setelah sekian lama mati rasa, akhirnya Jeka bisa membuka hati lagi untuk seorang perempuan. Sayang, seseorang yang mampu membuat hatinya bergejolak justru belum siap menerima dirinya. Jeka benar-benar merasa gila karena perasaannya sendiri, dia masih terus berharap suatu saat nanti Una dapat membuka diri untuknya.
Kedua bola mata itu terus saling menatap, seperti sedang terhipnotis satu sama lain. Jeka menyelipkan rambut Una yang terjatuh menutupi matanya ke belakang telinga. Dia menatap kedua bola mata Una lekat dan perlahan, Jeka mulai mendekatkan wajahnya ke arah Una. Sangat lambat, seakan rotasi bumi juga ikut mendukung aksinya.
Bulu kuduk Una meremang ketika aroma mint dari napas Jeka menghujam indra penciumannya. Una sedikit memundurkan kepalanya saat wajah Jeka kian mendekat. Dia menaruh kedua tangannya di bahu Jeka, berusaha membuat jarak, namun sepertinya semua itu sia-sia. Jantung Una berdebar kencang seakan hampir lepas, dia mengerti apa yang akan dilakukan pria ini.
Jeka tersenyum miring melihat rona kemerahan di kedua pipi Una. Tangan kirinya beralih memeluk pinggang Una, sedangkan yang satunya kini sudah berada pada tengkuk cewek itu. Una mulai menutup matanya perlahan. Entah apa yang ada di otaknya sekarang, tapi lagi-lagi dia tidak bisa menolak perlakuan manis Jeka.
Untuk kedua kalinya, bibir Jeka kembali menyentuh bibir manis Una. Tidak ada jarak yang tersisa diantara mereka. Dia melumatnya dengan lembut dan semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Una. Cewek itu tidak memberi penolakan sedikit pun, dia hanya diam dan terkadang meremas erat kemeja Jeka untuk menyeimbangkan tubuh kecilnya. Jeka sedikit menekan tengkuk Una untuk memperdalam ciuman mereka. Sesekali Una membalas setiap lumatan Jeka meski sebenarnya dia tidak ahli dalam bidang seperti ini. Ini adalah pengalaman baru bagi gadis yang tak berpengalaman seperti Una.
Mereka sontak melepaskan diri saat jendela mobil tiba-tiba digedor dari luar. Dan sepertinya aksi mereka barusan disaksikan dengan jelas oleh orang-orang di luar sana, karena lampu mobil itu memang menyala entah sejak kapan.
Jeka segera membuka jendela mobilnya, dia memberi tatapan sinis pada kelima orang remaja pria yang dari tadi menggedor jendela mobilnya, "Kenapa?"
"Maaf kak, tapi kakak nggak boleh parkir di sini. Mobil kakak nutupin jalan masuk ke toko bukunya," dia menunjuk ke arah toko buku yang berada di samping kiri mobil Jeka. "Dan kalo mau ngelakuin yang tadi, lanjutin di rumah aja. Jangan di sini!" kata cowok itu disusul cekikikan keras dari teman-temannya.
Hal itu membuat Una segera memalingkan wajahnya ke arah lain, dia menjatuhkan rambutnya untuk menutupi wajah. Rona merah terkuras dari kedua pipinya, Una memejamkan matanya karena tak kuasa menahan malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctors In Love ✔
RomanceSemua perempuan baik dokter, perawat bahkan pasien juga memuja ketampanan seorang Jeynando Kastara, ia merupakan seorang dokter sekaligus putra dari pemilik rumah sakit tempat Una bekerja. Aleyuna Delunica, seorang dokter spesialis bedah yang beker...