Una POV
"Jadi? Sejak kapan?" tanya Leyra, adik Dokter Jeka yang sekarang menginterogasi kami. Sedangkan aku hanya diam dan tidak tahu harus berkata apa. Rasanya ingin sekali menghilang dari bumi ini karena tidak sanggup menahan malu.
"Apanya?" Dokter Jeka balik bertanya.
"Hubungan kalian!"
"Leyra, mendingan kamu pulang aja! Jangan ganggu jam kerja kakak," Dokter Jeka meminta adiknya itu untuk pulang.
"Kak, aku sih nggak masalah kalo kalian ngelakuin hal yang kayak tadi, tapi tempatnya bukan di dalam lift juga! Gimana kalo yang ngeliat kalian tadi bukan aku, tapi orang lain atau mungkin papa? Kalian bisa aja kena masalah besar..." omel Leyra, membuatku mendadak keringat dingin.
"Ya udah, iya. Kamu pulang aja ya?" Dokter Jeka menarik tangan Leyra hingga keluar dari ruangannya. "Hati-hati di jalan, bye!" Dia menutup pintu ruangan kerjanya lalu kembali menghampiriku yang sekarang duduk membeku di atas sofa.
"Una," dia memanggilku.
"Dokter Jeka, kita masih ada satu operasi lagi, saya mau siap-siap dulu!" kataku dan langsung melengos pergi dari ruangannya. Sebenarnya, aku hanya tidak ingin membahas tentang kejadian memalukan tadi.
* * *
Aku menatap jalanan yang tidak begitu padat seperti biasanya. Malam ini aku pulang bersama Dokter Jeka, karena dia terus memaksa untuk mengantarku pulang. Siny masih belum bisa menjemputku karena kondisinya belum pulih sepenuhnya dan aku juga tidak membawa mobil sehingga aku terpaksa menerima tawaran Dokter Jeka. Ralat. Bukan tawaran, tapi paksaan. Sebenarnya terasa aneh dan canggung berada dalam satu mobil bersamanya setelah kejadian gila yang kita lakukan tadi.
Lampu lalu lintas berubah menjadi warna merah bersamaan dengan mobil Dokter Jeka yang berhenti di tengah jalan.
Aku memilih untuk menutup mataku sejenak, mencoba menjernihkan pikiranku yang sudah kacau balau. Dan memikirkan kesalahan terbesarku selama hidup. Saat masa sekolah dulu aku memang pernah ikut tawuran, tapi aku tidak pernah merasa segelisah ini. Kurasa kesalahan terbesar yang pernah kubuat adalah kejadian hari ini.
Perlahan, kurasakan senderan kursi yang kududuki mulai bergerak mundur. Aku membuka mataku dan mendapati wajah Dokter Jeka berada tepat di depan wajahku. Ia sedang sibuk memundurkan senderan kursi mobil itu.
"Dokter Jeka..." aku sedikit mendorong dadanya untuk menjauhkan wajahnya dariku.
"Tidur aja kalau capek," katanya.
Aku menggeleng, "Nggak kok. Saya cuma mau nutup mata sebentar aja."
Dokter Jeka mengangguk lalu matanya menatap kedua bola mataku dengan tatapan yang sulit diartikan, "Una... Maaf buat kejadian tadi. Saya--"
"Jangan ngebahas yang tadi lagi. Saya bakal lupain kejadian tadi dan dokter juga harus!" kataku.
Aku benar-benar tidak ingin membicarakan hal itu lagi, apalagi mengingatnya. Meskipun aku yakin, aku tidak akan lupa dengan kejadian memalukan ini.
Lampu lalu lintas kembali berubah menjadi warna hijau, Dokter Jeka mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya dan keheningan diantara kami kembali terasa. Dokter Jeka tidak bicara lagi, mungkin dia marah. Aku melirik ekspresi Dokter Jeka yang sepertinya kecewa dengan perkataanku yang memintanya untuk melupakan kejadian tadi. Tapi mau bagaimana lagi? Kejadian memalukan seperti tadi memang harus dilupakan.
Sekitar lima menit perjalanan, Audi hitam milik Dokter Jeka berhenti di depan tempat tinggalku.
"Makasih, dok. Saya permisi!" Aku segera turun dari mobil itu dan berlari kecil memasuki teras rumah. Demi apapun, aku benar-benar tidak betah berada di satu mobil bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doctors In Love ✔
RomanceSemua perempuan baik dokter, perawat bahkan pasien juga memuja ketampanan seorang Jeynando Kastara, ia merupakan seorang dokter sekaligus putra dari pemilik rumah sakit tempat Una bekerja. Aleyuna Delunica, seorang dokter spesialis bedah yang beker...