•38

89.9K 6.3K 92
                                    

"Yeira, kenapa kamu ngelakuin hal sekejam itu? Kenapa kamu nyiksa Una kayak gitu?" Andy menatap Yeira dengan tatapan tajam penuh emosi.

"Aku benci sama dia," balas Yeira.

"Kenapa? Apa salah dia?"

"Karena dia, mama meninggal. Dan karena dia, papa lebih sayang Una daripada aku! Karena Una juga aku nggak bisa sama Dokter Jeka! Semua kebahagian aku direbut sama dia, pa!"

"Papa nggak pernah bilang papa lebih sayang sama Una daripada kamu... Siapa yang pernah bilang kayak gitu?"

"Selama ini papa nggak pernah peduli sama aku! Papa cuma peduli sama Una!"

"Yeira...-"

"STOP, PA! STOP BELAIN PEMBUNUH ITU!"

"Pembunuh?" Andy mengernyitkan keningnya.

"Dia memang pantes dibilang pembunuh!"

Andy menggeleng heran. "Papa tau Una sudah berusaha sebisa mungkin buat nyelamatin mama kamu. Jadi, kepergian mama kamu bukan kesalahan Una..."

"KENAPA PAPA BELAIN DIA TERUS?! AKU ANAK PAPA, BUKAN DIA!!!"

"Yeira, jangan kayak gini. Papa nggak mau kamu-"

"Una anak haram kan? Karena kehadiran Una, papa nggak bisa menikah sama cewek yang papa cinta dan papa terpaksa menikah sama mama. Jadi, buat apa lagi belain Una? Dia juga ngerusak hidup papa!"

Andy mematung. Bagaimana Yeira bisa mengetahui hal itu? Bagaimana Yeira bisa tahu jika Una adalah anak haram?

"Gi-gimana kamu bisa tau? Se-sejak kapan?"

"Aku nggak sebodoh yang papa pikir. Aku lebih tau tentang hidup Una dibandingkan orang lain!"

Andy hanya diam, otaknya memikirkan segala kemungkinan yang membuat Yeira bisa mengetahui semua itu. Tetapi, dia tidak menemukan jawaban. Andy masih bingung sekaligus tidak percaya. Mengapa Yeira bisa mengetahui rahasia yang sejak dulu sudah disimpan rapat-rapat?

"Pa, please keluar dari kamar aku. Aku mau istirahat," Yeira mengusap air matanya sekilas kemudian membaringkan tubuhnya di ranjang rumah sakit.

"Oke. Good night, sayang..." dengan perasaan campur aduk, Andy melangkah keluar dari kamar rawat putri perempuannya.

* * *

Una memutar matanya malas ketika omelan pagi Siny kembali merasuki gendang telinganya, padahal waktu baru menunjukkan pukul enam pagi. Celotehan Siny sudah lebih panjang dan lebar dari ibu Una sendiri. Sambil menatap diri di depan cermin, Una menghela napas panjang. Begitu jengkel!

"Lo denger nggak?!" tanya Siny dengan nada membentak.

"Gue nggak mau berhenti kerja, Sin! Mau dapet uang darimana lagi hah?!" Una melotot, tak mau kalah.

"Lo bego apa gimana sih? Balik aja ke Surabaya, terus kerja di rumah sakit sana."

"Lo pikir semudah itu bisa pindah-pindah?!"

"Ya, kalo mendesak kayak gini mau gimana lagi? Kalo ntar lo mati karena Yeira gimana? Yeira itu gila dan lo nggak akan bisa ngelawan orang gila itu. Buktinya, sekarang lo ditampar lagi, terus ditendang di perut. Dan lo nggak ngelawan sama sekali! HADOHH!!!" Siny menyentuh kepalanya, pusing memikirkan nasib sahabatnya yang satu ini.

"Kalo gue ngelawan, gue bisa aja mati saat itu juga! Gimana kalo Yeira bawa senjata? Kayak pistol, pisau atau semacamnya? Gue bisa apa kalo udah kayak gitu?"

"Suatu saat nanti, gue yakin Yeira pasti bakalan ngelakuin itu! Jadi, satu-satunya cara ya lo harus pergi dari sana, Una!"

"Nggak mau, Siny!" kesal Una seraya memelototi Siny.

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang