•30

101K 6.8K 508
                                    

Una menyimpan ponselnya di dalam saku lalu berlari cepat menuju ruang kerjanya sesuai dengan permintaan Deyra. Una sedikit panik karena dari tadi sudah mengabaikan pesan dari Deyra akibat terlalu asik menghabiskan waktu dengan kekasihnya. Cewek itu masuk ke dalam ruangan dan langsung berjumpa dengan Deyra yang tengah duduk di atas sofa sambil memainkan ponselnya.

Una menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali, mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena berlari. "Sorry, Ra. Tadi gue ada urusan," Una mendekat dan duduk di samping Deyra.

"Nggak papa! Santuy!"

"Syifa mana?" Una melirik ke sekelilingnya seakan mencari keberadaan Syifa.

"Tidur. Di ruangan gue."

"Oh..." Una manggut-manggut. "Kenapa lo mau ketemu sama gue?"

"Gue cuma bosen aja. Syifa lama banget tidurnya!"

Una terkekeh, "Kan udah biasa."

"Tapi nggak gini juga. Itu bocah tidur tanpa rasa bersalah! Semoga aja sofa gue nggak diilerin."

Una terbahak, "Paling ntar sofa lo udah basah sama ilernya Syifa." Una beranjak dari sofa, membuka jubah putihnya dan menaruhnya di atas meja. Lalu ia langsung menjatuhkan bokongnya di atas bangku yang berada tepat di balik meja kerja.

"Na..." Deyra memanggil.

"Yes?"

"Ceritain sedikit tentang hubungan lo sama Dokter Jeka dong! Kalian kayaknya udah deket banget. Yakin nggak ada hubungan?" Deyra memberi tatapan curiga.

Meski Deyra adalah teman dekatnya, tapi Una belum siap menceritakan hubungannya dan Jeka. Dia masih perlu waktu untuk bisa melakukan itu.

"Hm, kata siapa? Gue cuma sebatas partner kerjanya Dokter Jeka."

"Lo yakin?" Deyra menaikkan satu alisnya. "Gue sering banget ngeliat kalian berdua dateng barengan ke rumah sakit."

"Itu cuma karena kita udah mulai deket sebagai temen," Una berusaha sebisa mungkin untuk tetap fokus pada layar laptop.

"Ya udah deh kalo gitu." Deyra manggut-manggut. "Eh, gue lupa! Gue ada urusan penting! Bye, bye, Na! Gue pergi dulu." Deyra yang awalnya berbaring di atas sofa langsung beranjak dari posisi dan berlari keluar dari ruangan Una.

* * *

Yeira memerhatikan dirinya lewat pantulan cermin, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Rambut cokelat panjang yang selama ini ia banggakan sekarang sudah berubah. Baru tadi Yeira menyadari perubahan besar dalam dirinya setelah menjalani kemoterapi, hampir setengah rambutnya rontok saat disisir. Hatinya hancur. Sejak dulu rambut cantiknya ini adalah hal yang paling ia banggakan dan dia sangat mencintai rambutnya, tapi semuanya berubah setelah dia menjalani kemoterapi.

Mata Yeira beralih pada rontokan rambut yang berserakan di atas lantai kamar rawat. Air matanya lantas turun sampai membasahi kedua pipi, dia menangis histeris sampai merasa benci dengan dunia yang seakan tidak adil. Apa salah dirinya sampai harus menderita seperti ini? Tidak bisakah sekali saja keinginannya terpenuhi? Yeira juga ingin merasa bahagia, dia ingin dicintai dan disayangi dengan tulus. Andy memang menyayanginya, tetapi ayahnya itu jarang ada waktu untuk Yeira. Bahkan terkadang, Yeira harus memohon dulu jika ingin menghabiskan waktu dengan ayahnya.

"GUE BENCI! KENAPA NGGAK ADA YANG BERPIHAK SAMA GUE?!" Yeira berteriak nyaring seraya melemparkan beberapa barang yang ada di atas meja hingga tergeletak di atas lantai.

"I HATE THIS WORLD!!" Yeira berteriak lagi bersamaan dengan seseorang yang melangkah masuk ke dalam sana.

"Yeira!" Deyra mendadak panik ketika Yeira membenturkan kepalanya pada dinding berkali-kali. "Lo ngapain?!"

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang