•5

181K 14.4K 137
                                    

"Dokter Jeka?!"

"Hai," Jeka tersenyum ramah.

"Ngapain dokter ke sini?" Una berbisik.

Jeka mengernyit bingung, "Kenapa bisik-bisik gitu?"

"Sshhtt..." Una menempelkan jari telunjuknya di depan bibir sembari menutup pintu rumahnya dengan benar lalu menarik tangan Jeka  untuk menjauh dari rumah.

"Kenapa di sini?" tanya Jeka setelah mereka berada tepat di samping mobil Jeka yang terparkir di seberang jalan.

"Saya nggak mau temen saya denger suara dokter. Nanti malah salah paham."

"Kalau gitu, masuk ke mobil saya aja."

"Eh? Ngapain? Di sini aja."

"Ya udah."

"Ngomong-ngomong, dokter tau darimana alamat saya?"

"Dari data kamu di rumah sakit..."

"Dokter kenapa ngikutin saya mulu sih? Kayak setan aja," celetuk Una.

"Jadi selama ini, ada setan yang ngikutin kamu?"

"Eh? Bukan..." Una menggaruk kepalanya. "Bukan gitu. Gimana jelasinnya ya?"

Jeka terkekeh pelan, "Iya, saya paham."

Una mengangguk, "Bagus deh!" dia menatap Jeka lagi, tatapannya kali ini berubah menjadi serius, "Jadi? Kenapa dokter ngikutin saya terus?"

"Saya cuma pengen kamu jadi fellow saya."

"Kenapa harus saya?"

"Dokter yang biasanya menjadi partner saya saat operasi, mengundurkan diri," balas Jeka.

"Terus, apa hubungannya sama saya?"

"Saya perhatiin, kamu bener-bener cekatan. Jadi saya butuh yang kayak kamu."

"Dok, banyak dokter lain yang jauh lebih baik dari saya... Dokter bisa pilih yang lain."

"Saya lebih lama bekerja di sana daripada kamu. Saya lebih tau potensi dokter yang kerja di sana dan menurut saya, kamu jauh lebih baik dari mereka."

"Kalau dokter memang butuh partner, minta yang lain aja. Jangan saya!"

"Tapi saya butuhnya kamu."

Una tak menjawab lagi, dia semakin bingung.

"Saya perlu yang terbaik diantara yang terbaik. Karena..." Jeka menatap Una lekat, "Karena saya punya gangguan panik."

Una membelalak, "Gangguan panik?!"

"Iya." tiba-tiba saja raut wajah pria itu berubah. Entah mengapa raut wajah Jeka membuat Una khawatir sekaligus merasa simpatik.

Jeka menghela napasnya berat, "Tiga tahun yang lalu, saya dan tunangan saya pernah mengalami kecelakaan mobil. Dia meninggal karena kecelakaan itu. Kecelakaan yang bikin semuanya berubah. Bukan cuma keadaan yang berubah, tapi saya juga berubah," Kali ini mata pria itu berkaca-kaca.

"Saya merasa bersalah karena nggak bisa ngelakuin apa-apa buat tunangan saya. Saya punya gangguan panik setelah kejadian itu. Sudah bertahun-tahun saya mencoba untuk menyembuhkan ini, tapi percuma. Nggak bisa," Jeka menggelengkan kepalanya lemah. "Kalau gangguan itu datang, saya panik, dan ngerasa tertekan, sampai kaki saya lemas dan nggak bisa berdiri tegak. Tahun lalu, saya pernah hampir gagal menyelamatkan pasien saya karena gangguan itu."

"Dokter nggak papa?" Una prihatin karena raut wajah Jeka benar-benar mengekspresikan sesakit apa perasaannya.

"I'm okay," balas Jeka. Matanya kembali menatap Una, "Kamu masih inget kejadian di ruang operasi waktu kita pertama kali ketemu?"

Una mengangguk, "Iya."

"Itu semua karena gangguan panik yang saya derita, untungnya ada kamu yang bisa nenangin saya. Kadang, saya ngerasa kesusahan buat ngelanjutin operasi kalau serangan itu datang. Makanya, saya butuh pendamping."

Una masih diam, menyimak cerita Jeka.

"Saya butuh orang yang bisa mendampingi dan menenangkan saya kalau serangan itu tiba-tiba datang. Saya nggak bisa melakukan operasi sendirian. Saya nggak mau kejadian yang sama terulang dan membuat keluarga pasien kecewa."

Una tertegun mendengar cerita Jeka. Entah mengapa Una bisa merasakan kesedihan pria itu.

"Rena, dia adalah spesialis bedah yang biasanya mendampingi saya di ruang operasi. Dia juga yang selalu nenangin saya kalau serangan panik itu datang, tapi dia sudah mengundurkan diri. Saya butuh pengganti." Jeka menjeda hingga hening sesaat, "Saya yakin kamu orang yang tepat buat gantiin Rena, saya butuh kamu buat mengantisipasi kalau serangan itu tiba-tiba datang. Saya milih kamu karena saya percaya sama kamu, Una. Bukan cuma cekatan, tapi kamu juga bisa bersikap tenang saat melakukan operasi."

Una tersenyum paksa, "Mendingan dokter pulang aja. Ini udah malem. Kita lanjutin lagi nanti, okay?" Una berusaha membujuk karena dia tidak tahan lagi mendengar cerita Jeka. Hal itu malah membuatnya semakin bimbang.

Jeka tersenyum tipis, "Makasih udah mau dengerin cerita saya. Maaf, saya malah nyeritain hal yang harusnya nggak saya ceritain. Saya permisi..."

"Hati-hati di jalan, dokter..." ucapan Una hanya dibalas anggukan oleh Jeka. Cowok itu berjalan menuju mobil dan masuk ke dalam sana. Beberapa detik kemudian, Audi hitam itu pun segera melaju pergi meninggalkan tempat yang semula dipijak.

* * *

Pagi ini Una terlihat sedang sibuk berbincang dengan Victor di kantin rumah sakit yang masih sepi. Pertemuannya dengan Jeka tadi malam membuatnya semakin ingin tahu lebih lagi tentang pria itu.

Victor mengangguk paham, "Sekarang saya ngerti kenapa dia milih kamu," kata Victor. "Kamu emang orang yang tenang... Bahkan dalam keadaan mendesak aja kamu tetap tenang. Jeka bener-bener perlu orang kayak kamu."

Una terdiam mendengar perkataan Victor. Dia tidak pernah menyangka jika ada cerita tragis di balik seorang Jeka yang menyebalkan.

"Serangan paniknya sering bikin konsentrasi dia hilang. Kamu emang pantas buat jadi partner kerjanya. Konsentrasi kamu selalu stabil selama di ruang operasi. Saya yakin gangguan panik Jeka bakalan membaik kalo kamu dampingin," Victor tersenyum manis.

Sekarang, Una benar-benar berubah pikiran. Baginya, jika mendampingi Jeka dapat membantunya, kenapa tidak? Lagipula nyawa pasien jauh lebih penting bagi Una.

* * *

"Selamat pagi, dokter..." sapa Una yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan Jeka.

"Kamu emang nggak pernah ngetuk pintu atau gimana sih?" Jeka heran.

"Eh, maaf... Saya lupa."

"Nggak papa. Silahkan duduk," Jeka mempersilahkan Una untuk duduk di hadapannya.

"Oke."

Hening.

"Una, maaf karena saya terus ngikutin kamu dan maksa kamu sampai membuat kamu nggak nyaman," Jeka memulai pembicaraan.

"Nggak papa kok, dok."

"Buat tadi malam, saya juga nggak tau kenapa saya harus cerita ke kamu. Tapi itu emang bener. Makanya saya bener-bener butuh pendamping."

"Saya ngerti... Saya ke sini buat menerima tawaran dokter kemarin."

Jeka membulatkan matanya, "Kamu yakin?!"

"Yakin. Jadi, mau mulai kapan?" tanya Una.

"Makasih karena kamu udah bisa ngertiin saya. Hari ini ada dua operasi, bisa ikut sama saya?"

"Bisa, dok!" Una tersenyum ceria.

Tbc.

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang