•11

136K 11K 411
                                    

Lampu hijau menyala, mengarah pada Siny yang terbaring lemas di atas meja operasi. Seorang pria paruh baya masih fokus menjalankan operasi pada pasiennya ini.

"Bagaimana tanda-tanda vital pasien?" tanyanya.

"Semuanya normal, dok!"

Dia mengangguk, "Saya akan menutup luka sayatannya!"

Sedangkan Una hanya bisa tertunduk dalam, masih menangis. Sekarang dia tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk di depan ruang operasi dan menunggu kepastian dari Andy, spesialis bedah jantung yang menangani temannya.

"Nggak usah khawatir. Saya yakin operasinya berjalan lancar," Jeka yang duduk di samping Una masih berusaha menenangkannya.

Una tak mengatakan apapun, dia hanya menjawabnya dengan anggukan lemah. Seketika Una menengadah, menatap seorang pria yang sekarang melangkah keluar dari ruang operasi. Secepat kilat Una beranjak dari posisi duduknya.

"Gimana?!" tanya Una, tatapan matanya seolah meminta kepastian.

Andy tersenyum, "Operasinya berjalan dengan lancar. Kita hanya perlu menunggu proses pemulihan."

Una menghela napas lega, "Makasih, dok!"

"Sama-sama. Kamu nangis berapa kali? Matanya sampe sembab kayak gitu tuh!" ujar Andy disusul cekikikan kecil di akhir kalimatnya.

Una menyengir, "Habisnya saya panik banget."

Jeka tertawa kecil, "Dia nggak berhenti nangis dari awal operasi sampai selesai, dok."

"Ya ampun, kenapa nangis sih? Kamu nggak percaya sama saya?" tanya Andy lagi, bermaksud bercanda.

"Nggak gitu, dok..." lagi-lagi Una nyengir.

"Ya udah, kalau gitu saya permisi dulu ya..."

"Iya, makasih dok," Una tersenyum manis.

Andy mengangguk, lalu berjalan pergi menyisakan Una dan Jeka di depan ruang operasi. Perhatian Una kembali beralih pada pintu ruang operasi, beberapa perawat keluar dari dalam sana sembari mendorong kereta dorong yang membawa Siny.

Jeka langsung membulatkan matanya ketika melihat seseorang yang terbaring di atas kereta dorong, "Siny...?!" batinnya.

"Dok," panggil Una.

Jeka tak menjawab, matanya masih terus memerhatikan Siny yang sekarang dibawa menuju ruang transisi.

"Dok!" Una memanggil lagi.

Cowok itu menoleh ke arah Una, "Iya?"

"Saya permisi dulu ya... Makasih udah nemenin saya dari tadi."

"Kamu mau kemana?"

"Mau nyusul temen saya ke ruang transisi," sahut Una.

"Lebih baik kamu pulang aja. Ini udah hampir pagi, temen kamu serahin sama perawat aja. Kamu juga nggak perlu masuk kerja."

Una menggeleng, "Saya bakalan tetep masuk—"

"Jangan!" Jeka menyelak. "Kamu nggak boleh masuk dalam keadaan kayak gini. Kamu udah kecapekan, bisa pingsan kalau dipaksain. Daripada kamu pingsan, mendingan istirahat di rumah."

"Ya udah deh... Kalau gitu, saya permisi."

Sebelum gadis itu menghilang dari pandangannya, dengan segera Jeka menahan pergelangan tangan Una.

Una menoleh, "Kenapa, dok?"

"Pulang sama saya aja. Ini udah hampir pagi, nggak akan ada taksi yang lewat."

Doctors In Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang