Tujuh

19.1K 1.1K 22
                                    

Berjuang menjadi orang tua tunggal memang tidaklah mudah. Itulah yang dialami Sakura selama beberapa tahun terakhir ini. Ia harus pintar dalam membagi waktu antara putri dan pekerjaannya.

Saat pulang kerja rasa lelah yang dirasakannya meluap begitu saja saat melihat senyum manis putrinya. Kadang kala ia merasa sedih ketika melihat wajah Sarada. Ia selalu mengingat orang itu. Orang yang sangat dicintainya namun dalam sesaat mampu membuat rasa cintanya berubah jadi benci. Tak pernah terpikirkan dalam hidupnya jika Sasuke bisa setega itu menyuruhnya membunuh darah dagingnya sendiri. Separuh hidupnya adalah Sasuke ia bahkan hampir saja melakukan hal gila itu. Namun kembali terpikirkan dalam benaknya anak itu yang sekarang adalah Sarada ia tak bersalah bagaimana ia dengan jahatnya mengikuti apa yang disuruh Sasuke. Itu sangat keterlaluan.

Lamunan Sakura buyar ketika seseorang dihadapannya memanggilnya dengan nada lumayan tinggi agar ia bisa meninggalkan dunia lamunnya.

"Sakura kau dengarkan aku"

Sakura menatap pria itu dengan bingung. Sedari tadi ia tak mendengar apa yang dikatakan Sasuke, pikirannya sudah lebih dahulu melalang buana sebelum Sasuke membuka pembicaraan.

Saat ini mereka sedang berada di cafe yang tak jauh dari kantor Sasuke. Sebelum ini Sasuke membuat janji dengan Sakura namun tak semudah yang dibayangkan merencanakan pertemuan dengan wanita itu. Dia akan banyak menggunakan alasan mulai dari siapa yang akan menjaga Sarada, bagaimana kalau Sarada lapar dan mencarinya atau lebih parah  bagaimana jika Sarada hilang lagi. Sasuke sampai dibuat geleng-geleng kepala atas ucapan Sakura alasan macam apa itu.

Dan dengan segala balasan yang Sasuke berikan akhirnya wanita itu mau bertemu dengannya tapi hanya setengah jam saja dia tak ingin lama-lama meninggalkan Sarada pada tetangga yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.

"Hmm maaf. Apa yang kau katakan tadi"

"Aku ingin membiayai semua kebutuhan Sarada"

Sakura tersenyum lebar sampai menampakan gigi-giginya yang putih tersusun rapih, "aku masih mampu Sasuke membiayai Sarada anakku" ucap Sakura penuh penekanan.

"Bukan itu Sakura. Sarada anakku juga jadi aku ingin membiayainya apapun itu. Apalagi disaat aku sudah mengetahui bahwa dia adalah anakku tak mungkin aku memberikan pertanggungjawaban padamu"

"Hee anak yang tak diinginkan Sasuke. Kau harus ingat itu kau tak menginginkannya. Dan lagi soal pertanggungjawaban memang dari awal kau tak bertanggungjawab atas apa yang kau lakukan padaku. Kau hanya tau ahh dan membuang dalam rahimku lalu ketika sudah berbuah kau dengan entengnya mengatakan 'gugurkan Sakura'. Cihh gila" kata-kata yang keluar dari mulut Sakura bagaikan ribuan jarum yang menghantam jantungnya. Sasuke terdiam ia seperti orang baik yang dituduh berbuat jahat. Padahal kenyatannya ia adalah orang jahat yang memang melakukan hal jahat. Ia brengsek kalau ia punya hati tak mungkin ia menyuruh Sakura melakukan hal keji itu. Benar, memang benar apa yang dikatakan Sakura tapi ia sakit hati dengan perkataan wanita itu. Sebagian dirinya mengatakan bahwa ia tak sepenuhnya salah. Lagipula sekarang ini ia mencoba untuk memperbaiki semuanya, salahkah ia meminta satu kesempatan lagi.

"Aku tahu aku salah sakura tapi.."

"Kau memang salah Sasuke tak perlu bertingkah seolah-olah kau tak salah" ucap Sakura masih bertahan dengan sikap dinginnya. Ia berusaha untuk tak menumpahkan air matanya di depan pria itu. Pertahanan yang ia bangun tolong jangan sampai runtuh begitu saja dihadapan pelakunya. Ia tak ingin terlihat lemah seperti dulu lagi dimana bentakan Sasuke saja bisa membuatnya menangis. Tidak ia sudah dewasa ia sudah mempunyai seorang anak jadi ia harus kuat.

Sasuke lagi-lagi terdiam. Kata-kata wanita itu kenapa sangat menusuk hatinya. Ia sakit hati. Bukan karena ucapan Sakura mengenai dirinya tapi karena kelakuan Sakura pasti karena sikap brengseknya dulu. Kalau saja ia tak menyuruh hal tersebut pasti Sakura tak mungkin mengeluarkan kata-kata kasar itu. Yah kalau saja.

"Sakura aku minta maaf aku menyesal" gumam Sasuke sambil menunduk lemah. Ia tak berani lagi menatap wajah dingin wanita itu. Sakura terlihat berbeda sekarang ini. Ia memang dingin dari luar tapi ia rapuh sangat rapuh.

Bunyi suara kursi berdecakan dengan lantai membuat Sasuke mengangkat kepalanya menatap Sakura yang sudah berdiri.

"Hiks kau jahat Sasuke" ujar Sakura lalu berjalan meninggalkan cafe tersebut dengan tangisan.

Sasuke menatap kepergian wanita itu dengan hati yang hancur. Sakura cintanya begitu hancur dan itu karena dirinya.

.

.

.

Sakura memperbaiki make-up diwajahnya. Sedikit menambah bedak agar tak nampak bahwa ia habis menangis. Ia tak ingin membuat putrinya khawatir. Cukup dirinya saja yang merasakan sakit itu jangan sampai Sarada.

Ia berjalan keluar lift lalu berhenti di apartemen yang tak jauh jaraknya dari apartemennya. Itu adalah apartemen milik sepasang suami istri Tsunade dan Jiraya. Mereka tak mempunyai anak dan memang dari Sarada masih bayi mereka yang selalu membantu Sakura mengurus Sarada bahkan jika Sakura pergi kerja mereka akan dengan senang hati menawarkan diri untuk menjaga Sarada. Sakura awalnya merasa tak enak tapi mereka meyakinkannya bahwa mereka sudah menganggap Sakura sebagai anak mereka begitu juga dengan Sarada.

Menekan bell. Tak berapa lama pintu terbuka menampilkan wajah Tsunade wanita yang berumur hampir setengah abad tapi masih terlihat sangat muda.

"Bibi maaf kalau aku lama" ucap Sakura dengan senyum canggungnya.

Tsunade tersenyum lembut sambil mengelus pundak Sakura, "Sakura sudah ku katakan jangan sungkan begitu. Kau sudah seperti anak sendiri bagiku"

"Hehehe maaf bibi"

"Tak apa. Ayo masuk Sarada baru saja tidur"

Sakura ikut masuk ke dalam apartemen tersebut. Matanya langsung menangkap putrinya yang asik tiduran di depan tv. Mereka yang menyediakan tempat tidur untuk Sarada disitu alasannya karena Sarada sangat suka menonton kartun sambil rebahan.

"Ngomong-ngomong paman Jiraya dimana bibi?" tanya Sakura ia baru saja memberikan satu kecupan di jidat putrinya itu.

"Dia sedang pergi ke kantor katanya ada urusan mendadak"

"Ohh. Hmm bibi makasi banyak yahh telah menjaga Sarada selama ini. Aku tak tahu harus melakukan apa untuk membalas kebaikanmu dan paman Jiraya"

"Sakura aku sudah katakan dari awal kan tak perlu sungkan padaku"

Sakura mengangguk tak enak lalu menunduk menatap wajah damai Sarada yang tertidur pulas. Lagi-lagi ia harus mengingat wajah Sasuke. Kenapa Sarada sangat mirip dengan ayahnya padahal pria itu yang tak menginginkan kehadirannya kenapa malah wajahnya yang diikuti Sarada. Dunia ini tidak adil memang.

"Bibi apa Sarada melakukan ulah hari ini?"

"Tidak Sakura. Kau tahu kan Sarada anak yang penurut"

"Hmm baiklah bibi. Sekali lagi makasi banyak yahh" gumam Sakura yang lagi-lagi membawa kata terima kasih. Membuat Tsunade menggeleng-gelengkan kepalanya.

.

.

.

Bersambung....

Vote dan komen....

.

.

.

Maap baru up gaes dua hari ini aku sibuk pembekalan dan mungkin aja beberapa hari kedepan aku makin sibuk. Karena gak lama lagi udah mau PKL. Aku gak sabar gaess kesannya kayak dag dig dug gitu :)

Fusion of Destiny (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang