Dua Puluh Lima

1.1K 72 0
                                    

Kesadaran Leo berangsur pulih saat fajar telah bertahta dilangit. Ia membuka matanya pelan. Pandangannya masih buram tapi ia masih bisa melihat Lily yang memandangnya nanar saat ini.

"Leo? Kamu udah bangun nak?" Kata Lily dengan lirih. Leo hanya mengangguk lalu mengitari pandangannya ke setiap sudut ruangan. Tampak Edwin terlelap bersama Roman dan Dafa. Dahinya mengkerut saat ia memastikan pandangannya sekali lagi dan menyadari Arani tidak ada.

"Awh" Pekik Leo sambil memegangi kepalanya yang terasa amat sakit saat ia mencoba untuk bangun.

"Kamu mau kemana?" Kata Lily sambil memegangi tubuh Leo. Roman, Edwin dan Dafa terbangun. Leo sudah memalingkan wajahnya untuk tidak menatap Edwin. Ia masih trauma dengan kejadian semalam.

"Ma? Istri aku dimana?" Tanya Leo.

"Ngapain kamu cari istrimu. Masih butuh? Gara-gara kamu Arani stres dan pingsan karna perutnya sakit" Kata Edwin sarkastik. Leo melirik Edwin sekilas lalu menundukkan kepalanya.

"Istri kamu masih istirahat. Dia ruangan khusus Ibu dan Anak" Kata Dafa. Leo menatap Dafa dengan ragu. Ia merasa takut dan malu. Meski suara kakek tua itu terdengar tenang ia adalah orang tua Arani satu-satunya. Dan kini entah bagaimana pandangan Dafa terhadap dirinya.

"Ma, Leo mau liat Arani"

"Nggak usah! Kamu itu cuma akan buat dia semakin stres" Timpal Edwin.

"Iya Leo. Lebih baik jangan dulu. Kepala kamu juga pasti masih sakit kan" Kata Lily dengan lembut.

"Tapi Ma, Leo khawatir"

"Hari ini dia boleh langsung pulang kok. Karna keadaannya udah lumayan membaik. Tapi kamu masih harus dirawat"

"Nggak Ma. Leo nggak mau dirawat. Leo udah nggak apa-apa Ma"

"Ya memang seharusnya begitu. Sayang-sayang duit aja keluar cuma buat bayar rumah sakit perawatan kamu" Timpal Edwin.

"Udahlah Win" Kata Roman sambil meletakkan tangannya di pundak Edwin. Bermaksud membuatnya tenang.

"Edwin kesel Pa sama anak itu. Kaya orang nggak punya otak aja. Percuma kuliah tinggi. Kerja jadi guru. Tapi lagaknya kaya setan!" Kata Edwin. "Leo! Kamu itu harusnya sadar diri. Kamu itu punya kelainan. Masih untung Arani mau terima kamu! Ini malah main gila sama perempuan lain! Macam nggak punya moral aja kamu! Istri kerja kelompok bukannya temenin atau di tungguin. Malah keenakan kamu nggak ada istri kamu dirumah" Lanjut Edwin sambil melotot.

"Pa... Leo..."

"Apa? Mau ngomong apa lagi kamu?" Sekat Edwin.

"Sabar Pa. Nanti darah tingginya kambuh lagi gimana?" Kata Lily menenangkan. Leo memilih diam. Saat ini berkata benar pun percuma. Semua orang tidak lagi mempercayai dirinya. Kemarin Leo masih bisa membela diri didepan Arani. Tapi kejadian semalam sudah jelas membuatnya tak bisa berkutik. Keluarganya beserta kakek Dafa sudah menjadi saksi persetubuhan dirinya dengan Hima. Terlebih mata kepala Arani sendiri juga ikut menyaksikannya.

Leo benar-benar muak dengan Hima. Ia muak dengan situasinya saat ini. Ia benci dengan dirinya yang bodoh. Kalau saja ia tidak membiarkan Hima masuk kedalam rumahnya, kejadiannya tidak akan seperti ini. Seharusnya, semalam dia bisa bersenang-senang bersama keluarganya dan menikmati akting Arani yang akan bersikap baik padanya meski hanya didepan keluarga. Seharusnya begitu.

Leo membayangkan kembali saat dirinya bersetubuh dengan Hima. Dimana detik-detik ia memasukkan penisnya kedalam celananya setelah kepergok melakukan hal menjijikan itu. Ia merutuki dirinya. Rasanya ia ingin berdoa sepanjang hari agar Tuhan membuat kejadian ini hanya sebuah mimpi buruk.

Jodoh Untuk LeoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang