"Udah berkali-kali gue coba buat damai. Tapi hasilnya selalu nihil. Gue selalu ngerasain sakit gara-gara hal yang sama. Gue gak tau harus gimana lagi. Yang pasti gue lelah... gue pingin pergi... tapi gue juga gak tau mau pergi kemana... " Ucap Ara sambil meremas dadanya. Hatinya berdenyut sakit mengingat semua yang sudah ia lalui.
Rasa sakit yang sama selalu menghatuinya. Meski ia tak pernah menampakkan emosi terluka bukan berarti batinnya baik-baik saja. Ia selalu merasa ditikam berkali-kali di bagian hatinya. Rasanya... hatinya kini tak lagi berbentuk. Kebahagiaan yang selalu ia impikan hanya khayalan semu yang tak akan terwujudkan.
Ara menyerah. Menyerah pada hidupnya, ia tak lagi berimpi suatu saat akan bahagia. Ia hanya berharap semuanya cepat berlalu dan ia segera menyusul Mamanya.
"Maaaa...." Rintih Ara di tengah langkahnya.
Memorinya beberapa menit lalu kembali menyeruak. Membuat rasa sakit semakin dalam. Ketika Papanya melontarkan kata yang tak pernah di prediksi oleh otaknya.
"Papa.." Sapa Ara sumringah.
Kali ini ia rindu Papanya. Dan ajaibnya ia dipertemukan di tempat ini. Tempat favorit Mamanya. Apa Papanya sedang bernostalgia? Ara harap begitu.
"Ara.." Ucap Papa Ara tersenyum.
"Kamu sama siapa?" Tanya Papa Ara tenang.
"Sendiri." Jawab Ara masih tetap dengan senyumnya. "Kalo Papa sama siapa?" Tanya Ara balik.
Setaunya Papanya tak pernah menyukai seafood. Papanya dulu selalu menolak keras ketika ia dan Mamanya mengajak ke tempat ini. Dan hebatnya.. Papanya kini ditempat yang dibencinya.
"AYAAAAHHHHH..." Teriak seorang gadis dari seberang jalan. Membuat Papa Ara berhenti dan mengurungkan niatnya menjawab pertanyaan Ara.
"Yaa.... SAYANGGG." Sahut Papa Ara membalas teriakan gadis itu.
"Siapa Pa?" Tanya Ara.
Ia kira Papanya sendiri tapi faktanya Papanya datang bersama orang lain. Dan itu bukan dirinya.
"Kakak kamu." Jawab Papa Ara dengan senyum lebar. Senyum yang tak pernah Ara lihat, senyum penuh kasih sayang tapi sayangnya senyum itu bukan untuk dirinya. Dan tak akan pernah diberikan kepadanya..
Hancur sudah harapannya. Papanya memang tak pernah peduli dengannya ataupun Mamanya. Bunga harapan yang sempat mekar langsung hancur berkeping-keping menjadi butiran. Papanya tak akan berubah dan tak akan pernah berubah...
"Setau Ara.. Papa gak pernah mau datang ke tempat ini." Ucap Ara terus mempertahankan senyumnya. Mencoba bertahan ditengah badai lokal yang mengahtui hatinya. Tak apa.. hanya kata itu yang terus Ara rapalkan untuk menguatkan dirinya.
"Kakak kamu lagi pingin. Makanya Papa sekarang ada di sini." Ucap Papa Ara masih dengan senyumnya.
"Papa sayang banget ya... sama anak tiri Papa." Komentar Ara.
'Harus berapa kali lagi...'
"Tentu. Apapun bakal Papa lakuin untuk dia." Jawab Papa Ara bangga.
'Lalu bagaimana dengan aku?'
"AYAH CEPET. AKU LAPER." Teriak gadis yang ada diseberang jalan sekali lagi.
Tanpa sepatah kata Papa Ara langsung pergi. Tak ada basa-basi ataupun bermaksud mengajak Ara untuk bergabung. Seakan-akan ia tak pernah berbicara dengan Ara dan menganggap Ara sebagai angin berlalu.
"Siapa Yah?"
"Hmm... bukan siapa-siapa. Ayo masuk."
Setak tampak itukah Ara dimatanya? Ara ada tapi keberadaannya tak pernah dianggap ada. Rasanya Ara seperti sebuah hologram... terlihat nyata tapi tak pernah ada. Bukan Ara yang menarik atensi dirinya tapi Papanyalah yang tak pernah melihat atensi Ara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA (tamat)
Teen Fiction(Cerita amatir yang jauh dari kata layak) Ara Azia Denata.. Seorang cewek yang memilih untuk tetap tersenyum di tengah sejuta masalahnya. Ara sangat tau rasa tidak di inginkan. Sangat tau rasa ada tapi dianggap tidak ada. Sudah sangat mahir denga...