Sinta kembali dengan dua air mineral ditangannya. Ia melihat Ara yang tengah memandang kedepan dengan pandangan kosong. Ia tahu Ara, dan ia yakin ini pasti berhubungan dengan Papanya. Ia tahu semuanya dari Stella, tapi ia tak pernah membahas hal itu jika Ara tak meminta pendapatnya. Dia menghargai perasaan orang lain dan ia tahu bercerita itu tak mudah.
"Ara kenapa?" Tanya Sinta duduk di bangku taman dekat Ara.
Ara tersenyum. Ia menghembuskan nafas perlahan sebelum menatap Sinta. Banyak emosi berkecamuk di kepalanya. Banyak hal, sulit ia kendalikan. Ia tak ingin kalah disini. Tapi ia juga tak tau harus apa. Semuanya sulit. Tak ada yang mudah dalam jalannya. Terlalu sering untuk terjatuh membuat Ara malas untuk memulai luka lagi.
"Ara gak perlu cerita apa masalah Ara. Ara cukup cerita gimana perasaan Ara." Ucap Sinta dengan senyum lembut. Ia mengusak rambut panjang Ara.
"Bun..."
'Apa alasan Tuhan menciptakan gue? Gue butuh jawaban. Gue... gak mau cuma menuh-menuhin bumi. Apalagi cerita hidup gue terlalu asyem untuk itu.' Semua hal itu dikatakan Ara dalam hati. Ia tak mungkin mengatakan hal kurang ajar itu. Kelakuannya memang kurang ajar, tapi ia tak ingin ucapannya sama kurang ajarnya dengan kelakuannya.
"Bun, kenapa Papa gak perduli sama Ara? Kenapa Papa seolah-olah ga ngangggap keberadaan Ara?"
"Ara capek Bun, untuk terus nyari Papa. Kenapa Ara selalu denger cerita Papa dari orang-orang?"
"Dari Papa nikah lagi sampai anaknya meninggal. Semuanya Ara denger dari orang. Sebenernya Ara ini anaknya apa bukan? Ara capek." Ucap Ara frustasi.
"Kita masih di kota yang sama tapi Papa udah nganggap Ara sebagai orang asing. Papa gak pernah ngelibatin Ara dalam hidup barunya. Pernikahan Papa sama Mama memang masa lalu. Tapi Ara bukan masa lalu." Tambah Ara lagi.
Sinta tak sanggup mendengar lagi. Ia memeluk Ara seerat mungkin. Benar tebakannya. Ini tentang Papanya.
Isakkan kecil lolos dari bibir Ara. Yang membuat Sinta semakin mengeratkan pelukannya. Banyak hal ingin ia ucapkan untuk menghibur Ara, tapi sayangnya semuanya tak bisa ia ucapkan. Lidahnya terlalu kelu untuk berbicara.
"Kenapa Bun? Apa salah Ara?" Tanya Ara ditengah isakkannya.
"Dengerin Bunda!" Ucap Sinta dengan menangkup wajah Ara.
Ia akan mengatakan sebuah kebenaran baginya dan bagi yang lainnya.
"Ara itu istimewa!! Bagi Bunda, Dadda, Momy, Daddy, bang Andri, Langit, Senja, Very, Radit dan yang lainnya."
"Ara itu spesial. Ara gak perlu mikirin orang yang gak mikirin Ara. Ara gak perlu peduli dengan orang yang gak peduli sama Ara. Ara gak butuh orang yang kaya gitu. Karna Ara punya kita semua. Orang yang bener-bener sayang sama Ara." Ucap Sinta menyakinkan Ara.
'Padahal gue udah janji gak bakal nangisin kehidupan kampret ini.'
Ara menjauh dari pelukan Sinta. Menghapus air matanya dan mencoba tersenyum. Cukup, jangan menangisi hidup lagi. Hidup tak cukup layak untuk ia tangisi. Ia harus yakin sama seperti sebelumnya. Meyakini hidupnya akan indah seperti bayangannya.
"Ara bingung Bun, harus apa." Ucap Ara pelan. Kembali melihat anak-anak yang tengah tertawa bebas.
Ara iri dengan mereka. Andaikan waktu bisa di ulang kembali, ia pasti akan memilih untuk tak menjadi dewasa. Tapi sayangnya pikiran manusia itu naif. Ketika mereka masih anak-anak, mereka ingin cepat dewasa. Tapi ketika mereka dewasa dan mengerti pahit manisnya hidup, mereka berharap untuk kembali menjadi seorang anak. Anak yang sudah bahagia dengan sebutir permen. Tak memikirkan uang, tujuan, dan cinta.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARA (tamat)
Teen Fiction(Cerita amatir yang jauh dari kata layak) Ara Azia Denata.. Seorang cewek yang memilih untuk tetap tersenyum di tengah sejuta masalahnya. Ara sangat tau rasa tidak di inginkan. Sangat tau rasa ada tapi dianggap tidak ada. Sudah sangat mahir denga...