Pulang Dari Rumah Sakit

52 5 0
                                    

Ingin dilepaskan tapi sayang
Ingin dipertahankan tapi bukan milik

Fls_29

.
.
.
.

"Lo mau pulang sekarang Ra?"

"Kalo gak sekarang terus kapan?" Tanya balik Ara pada Radit yang pagi-pagi sudah ada di ruangannya.

Radit mendengus. Seharusnya ia tolak saja ajakan Langit untuk menjemput Ara. Yang dikhawatirkan tak tau diri. Seharusnya ia buang saja ke rawa-rawa, mumpung Ara sendiri belum bisa berjalan normal. Kan mudah acara culik-menculiknya jika begini.

"Teo aja belum pulang. Masa lo udah mau pulang sih?" Tanya Radit lagi, tak percaya pada kondisi Ara.

Ara melotot. "Terus gue harus nunggu Teo pulang dulu gitu?!"

"Gue retak tulang Dit! Bukan sakit jantung apalagi geger otak!" Ucap Ara sebal.

Ia hanya terluka kecil tak seharusnya Radit sealay itu. Jika ia benar-benar harus menunggu Teo pulang terlebih dahulu, yang ada ia semakin parah dan bisa mati bosan di ranjang rumah sakit.

"Tapi gue rasa lo geger otak deh Ra. Lo kan gampang lupa." Ucap Radit serius yang semakin membuat Ara emosi.

"Lo! Radit Pamungkas!"

"Laksa Raditya Pamungkas!" Ralat Radit.

"Terserah gue! Yang punya mulut gue!" Omel Ara.

Radit mencebikkan bibirnya. Kenapa Ara jadi sensi begini sih? Ia kan hanya mengatakan hal benar menurutnya. Ara itu kan memang pelupa. Buktinya Ara salah menyebut namanya. Jadi tak salah jika ia mencurigai Ara terkena geger otak.

"Lo takut darah kan?"

Radit mengangguk membenarkan.

"Gimana, kalo gue bunuh diri di depan lo pake pisau buah itu." Ucap Ara sambil menunjuk pisau buah yang ada di nakas sebelah ranjangnya.

"Jangan dong!!! Kalo mau bunuh diri, cari tempat lain sana!! Jangan di depan gue!" Tolak Radit mentah-mentah.

Ara menatap Radit main-main, sangat senang mengusili Radit. Lagian Radit ada-ada saja. Ia itu kuat. Tak sekuat baja tapi cukup kuat untuk hal seremeh ini. Ia lebih kewalahan sama pileknya ketimbang sama kakinya yang di balut perban.

Stella yang mendengar perdebatan mereka hanya menggeleng heran. Putrinya itu kelewat usil. Dan selalu bisa menahan rasa sakitnya. Terkadang ia ingin tahu, seberapa besar toleransi Ara pada rasa sakit?

"Ribut?" Tanya Langit yang baru saja memasuki ruangan.

Di tangannya terdapat kresek hitam yang entah berisikan apa. Langit menyerahkan kreseknya pada Ara setelah berada di samping gadis itu. Radit bertanya-tanya apa yang Langit berikan pada manusia brandal macam Ara.

"Lo bawa apa Lang?" Tanya Radit heran sambil mengangkat tas kecil yang berisi perlengkapan Ara.

"Masker. Apa lagi? Dia kan lebih panik sama pilek timbang kakinya." Jawab Langit santai.

Radit mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya pada barang-barang yang akan di bawa pulang. Tak ada banyak barang, hanya satu tas berukuran sedang dan satu tas berukuran kecil.

"Barang-barang lo dikit amat Ra?"

"Mana gue tau. Gue dibawain bukan bawa sendiri." Ucap Ara datar pada Radit.

Lagian jika ia bisa menyiapkan sendiri barang-barangnya, tak mungkin akan ada tas berukuran sedang. Yang ada tas berukuran kecil yang akan ada di sini. Ia tak suka membawa banyak barang. Selain merepotkan ia juga malas beres-beres. Jadi sebisa mungkin Ara tidak akan merepotkan dirinya sendiri.

ARA (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang