"Gue tau, cerita gue gak sehebat dan sekeren yang lain. Gue cukup tau, kisah gue cuma kisah klasik tanpa arti. Yah... mungkin sebagian orang mikir gitu. Tapi ada satu hal yang orang gak tau. Kebenaran luka yang emang nyata gue tanggung. Terkadang saking banyaknya luka yang gue punya, gue gak tau itu nyata atau cuma ilusi semata. Dan yang paling parah, gue selalu berfikir luka gue gak se-tragis itu buat ditangisi. Padahal gue masih nangis. Konyol emang. Itu bukan sebuah fikiran tanpa dasar ya, mengingat banyak dari mereka yang selalu ngomong 'lo mending, lah gue?'. Positif aja. Seseorang gak bakal tau luka orang lain kalo dia gak ngalami hal yang sama. Kalo sama-sama ngerasain baru tau tuh sakitnya gimana. Jadi jangan pernah menghakimi mereka yang gak paham gimana luka kita."
"Lo gak mabuk kan, Ra?" Tanya Langit curiga. Tak biasanya Ara berbicara panjang kali lebar, apalagi ini masalah serius. Bercanda saja ia hanya menggunakan satu atau dua kata. Tapi ini...????
Ara tersenyum, ia baik-baik saja. Ia hanya ingin berkata apa yang tengah ia pikiran sekarang. Respon Langit tak pernah terbayangkan, lagian menurutnya tak ada yang aneh jika ia berbicara panjang kali lebar seperti ini.
"Lo pengin tau tentang gue kan?" Tanya Ara.
Kini mereka berdua tengah ada ditaman kota. Taman yang tak jauh dari sekolah mereka. Tujuan mereka yang ingin pulang karna takut masuk angin berubah drastis ketika melewati taman ini. Taman yang sama saat mereka menyaksikan Dera dan Alex berkencan tanpa sepengetahuan Langit. Lagi pula ada kah yang berselingkuh tapi minta izin? Tak ada dan tak akan pernah ada.
"Huh?" Langit tak paham. Darimana Ara tahu jika ia ingin tahu tentang hidupnya. Atau Senja yang memberi tahu?
"Gue sebenarnya cukup peka loh, asal lo tau aja." Ucap Ara lagi dengan senyum yang bertengger manis dibibirnya.
"Kalo lo emang peka. Kenapa reaksi lo selalu gitu ke gue."
Biarkan Langit mengungkapkan hatinya. Biarkan ia membuang rasa kesal yang ditimbulkan oleh ketidakpekaan Ara. Biarkan... biarkan Langit puas mengungkapkan rasanya.
"Selow lah Lang. Gak usah pake otot." Ara tertawa, ia sudah menduga Langit pasti akan protes atas sikapnya selama ini.
"Udah lama gue kode-kode juga. Kesel gue. Mana yang gue kode ternyata pura-pura gak peka."
"Terosss. Lanjut Lang."
"Stop Ra! Kok lo malah ketawa sih."
"Suka-suka gue lah."
Ara berhenti tertawa, ia mengelap air yang sedikit merembes dari matanya. Menghembuskan nafas, ia menatap Langit dengan sorot jenaka.
"Lo sakit mati sama gue?"
"Eh.. typo. Sakit hati maksudnya." Ucap Ara meralat ucapannya yang sebelumnya.
"Tau. Ngambek gue." Langit bersedekap dada, membuang muka kearah lain.
"Lih... ilih. Anak bujang bisa ngambek pula."
"Lang"
"Langit"
"Langit Galaxkin Aksandra"
"Langggggg"
Ara masih berusaha untuk terus menarik perhatian Langit. Dicolek, dicubit hingga dipukul tak membuat Langit menoleh kearah Ara. Persetan.. biarkan Ara berusaha membujuk dirinya. Kapan lagi?
"Saayang."
Jurus pamungkas anti penolakan Ara lancarakan. Tinggal hitung 1-3 Langit pasti akan berbalik.
1........... 2........
"Barusan lo bilang apa?"
Kan? Lihat sekarang Langit menoleh ke arah Ara. Beri tepuk tangan yang gemuruh untuk otak cerdas Ara menaklukkan Langit.
"Apa?"
"Yang barusan!!" Ucap Langit kekeh.
"Apa sih Lang? Apa?" Ucap Ara tanpa dosa.
Kan? Ara itu emang nyebelin.
"Au ngambek lagi. Biar dipanggil sayang."
Ara menghela nafas, cukup bermain-main sekarang waktunya serius.
"Lo ngambek gue balik."
"Jangan dong. Tega banget. Gue di PHP mulu dari tadi." Ucap Langit menyerah. Berurusan dengan Ara yang memang pada dasarnya sangat pro masalah begini tak akan menang jika tetap ngeyel.
"Ikut gue ke suatu tempat. Gue bakal tunjukin sesuatu sama lo."
Ara berdiri di ikuti Langit. Mereka pergi meninggalkan taman, menaiki motor ke arah yang berlawanan dengan rumah Ara.
Pepohonan rimbun menyambut mereka ketika motor yang mereka naiki memasuki kawasan perumahan elit. Perumahan elit ini jauh dari perumahan Langit ataupun apartemen Ara, dan bisa dipastikan jika mereka tetap berkendara mungkin, sekitar 50 kilo lagi mereka akan keluar kota.
"Masih jauh? Badan gue udah pegel ini." Ucap Langit sedikit berteriak agar mampu di dengar oleh Ara.
"Kalem. Bentar sampe kita."
"Nah itu yang warna putih." Ucap Ara ketika tujuannya sudah terlihat.
Bukannya senang karna mereka sudah sampai Langit malah mendengus. Bagaimana tidak? Warna putih? Apanya? Rumahnya? Semua rumah disini warnanya putih kali.
Apa pagarnya yang warna putih? Disini gak ada pagar warna putih. Trus apa yang warna putih? Sudah badan pegal Ara tak jelas lagi memberi arah.
"Langit yang itu warna putih. Lo liat gak sih." Ara nge-gas karna Langit tak memperhatikan arahannya.
"Yang mana? Putih mana?" Langit yang notabene cukup pandai mengontrol emosi juga ikut nge-gas.
Apa-apaan mereka.
"Belok kerumah 29."
Satpam yang memang menjaga rumah itu langsung membukakan gerbang untuk Langit. Membiarkan Langit masuk kedalam rumah majikannya.
"Nah gitu kek Ra. Jelas. Warna putih... warna putih. Lo pikir gue paham." Ucap Langit setelah membelokkan motornya ke rumah bernomor 29.
"Berisik aja lo."
"Lo gak liat? Gentengnya tuh warna putih. Lain kali yang bener kalo ngeliat biar tau." Ucap Ara kesal dengan Langit. Sedari tadi ia memang bilang warna putih tapi bukan cat rumah ini yang ia maksud melainkan warna genteng yang di cat bewarna putih.
"Lagian ini rumah aneh banget. Gak cuman temboknya warna putih gentengnya juga diwarna putih." Komentar Langit setelah melihat genteng yang Ara maksud.
Rumah yang mereka datangi didominasi oleh warna putih. Dari kursi meja hingga ayunan yang ada ditaman juga bewarna putih. Tapi jika kalian fikir rumah ini membosankan jawabannya tidak. Karna rumah ini dihiasi tanaman merambat yang tentunya tidak bewarna putih.
"Aneh ya? Padahal banyak taneman nya. Di pilar, deket pintu sampe di meja juga dikasih tanaman. Tapi kok gak ada kesan gak kerawat ya. Tanemannya juga gak ganggu sama sekali malah keliatan adem dimata."
Ara memutar bola mata malas. Sempat-sempatnya Langit mengomentari rumah ini, padahal mereka kesini memiliki tujuan. Lebih tepatnya bukan mereka melainkan Ara.
"Eh kok lo punya kunci rumah ini? Emang rumah ini gak ada orangnya?" Tanya Langit sedikit terkejut karna melihat Ara membuka rumah ini dengan kunci yang ia ambil dari sakunya.
"Lo berisik banget ya Lang dari tadi." Ucap Ara kesal mendengar ocehan Langit yang tak berhenti sedari tadi. Andaikan ia tak memiliki tujuan bisa dipastikan sekarang Langit ia depak dari rumah ini. Jika perlu ia musnahkan agar berhenti berbicara yang tidak penting.
'Gue kan cuma kepo.' Ucap Langit dalam hati. Mana mau dia berkata begitu didepan Ara. Di depak sungguhan mampus dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA (tamat)
Novela Juvenil(Cerita amatir yang jauh dari kata layak) Ara Azia Denata.. Seorang cewek yang memilih untuk tetap tersenyum di tengah sejuta masalahnya. Ara sangat tau rasa tidak di inginkan. Sangat tau rasa ada tapi dianggap tidak ada. Sudah sangat mahir denga...