"Gue sama dia sama-sama gila! Ketika gue mencintai kebebasan dan lupa buat kembali. Dia dengan bodohnya mau nungguin gue."
"Dan ketika gue banting dia berkali-kali karna ke egoisan gue. Dia tetep disana buat nunggu gue."
"Lo ngomongin siapa Ra?" Tanya Radit bingung dengan arah pembicaraan Ara.
Ara itu terlalu rumit untuk dipahami, terlalu sakit untuk dimengerti. Hatinya bukan batu tapi bukan juga kapas. Seperti bunglon yang memiliki kemampuan mimikri begitu juga dengan hati Ara.
"Orang idiot yang jatuh cinta bukannya bahagia malah menderita karna menunggu." Jawab Ara kalem. Melepas kaleng yang penyok karna ia genggam.
"Lo itu di alusin gak peka. Dikasarin malah ilang." Komentar Radit.
"Berurusan sama lo itu sama ribetnya kaya matematika. Ketika gue gunain semua rumus yang ada, sialnya hasilnya malah nol." Tambah Radit lagi.
Ara tertawa, berbagi pikiran dengan Radit itu menyenangkan, karna akhirnya ia akan berdebat dengannya. Ara itu suka mengungkapkan hatinya dengan kata-kata implisit. Tidak langsung pada intinya dan bisa diartikan sebebas mungkin oleh pendengarannya.
"Gue manusia bukan matematika. Perasaan bukan sesuatu yang bisa lo ukur dengan desimal dan bukan bakteri yang bisa lo teliti dan pelajari."
"Perasaan itu kaya angin, gak nampak tapi lo bisa rasain kehadirannya." Ucap Ara panjang lebar.
Entah apa yang mengawali pembicaraan mereka. Tapi inilah akhirnya. Ketika A bisa berubah menjadi Z. Dari satu topik mengalir ke topik lainnya dan sampailah ke masalah hati.
"Jadi, lo akan milih Langit atau mencari yang lain?" Tanya Radit akhirnya. Karna ia tahu ucapan Ara pasti ada hubungannya dengan Langit.
"Gue susah ngebayangin gue hidup sama orang asing. Jadi 99% gue bakal ambil pilihan itu." Jawab Ara mantap dan menatap Radit dengan sorot serius.
"Dan satu 1% lo?"
"Gue males bayangin 1% tanpa keyakinan ini." Sahut Ara jelas.
Tak lama Very datang dengan sekresek minuman dan cemilan. Tidak mungkin ia membiarkan acara bolos membolos mereka hambar tanpa makan dan minum. Mereka membolos untuk bersenang-senang bukan mati karna kelaparan.
"Tapi Ra? 1% bisa mengubah segalanya. Jadi bagaimana pandangan lo sama 1% ini?" Tanya Very setelah meletakan kresek yang ia bawa.
"1% ini adalah ketika dia memilih menyerah dan ingin hidup dengan yang lainnya." Jawab Ara sambil mengambil snack kentang.
"Jadi intinya, 1% ini adalah keteguhan hatinya buat nunggu lo? Alias keputusan dia untuk bertahan atau menyerah?"
Ara mengangguk setuju pada argumen Very. Ia tak ingin memaksa rasa yang belum ia yakini. Dia datang bukan untuk menyakiti, tapi untuk bahagia bersama.
"Tapi menunggu sampai kapan?" Tanya Radit mewakili.
Menunggu bukan sesuatu yang menyenangkan. Dan terkadang dalam proses menunggu banyak hal bisa terjadi. Ia tak mau jika nanti akhirnya ada yang terluka karna permain tunggu-menunggu ini.
"Gue udah bilangkan? Hati manusia gak bisa diukur dengan desimal? Ketika perasaan itu siap lo bakal tau itu kapan." Jawab Ara. Kini ia mengambil minuman rasa lemon.
"Udah gak usah mikirin hal yang rumit. Sekarang kita pikirin aja gimana caranya kita bisa lari dari Pak Dana." Usul Very. Pasalnya tadi ketika ia akan ke koridor tempat Ara dan Radit, ia melihat Pak Dana berkeliaran di koridor bawah.
"Pak Dana ada disini?" Tanya Radit terkejut. Mampus mereka akan tertangkap kali ini.
"Ya?" Jawab Very ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARA (tamat)
Novela Juvenil(Cerita amatir yang jauh dari kata layak) Ara Azia Denata.. Seorang cewek yang memilih untuk tetap tersenyum di tengah sejuta masalahnya. Ara sangat tau rasa tidak di inginkan. Sangat tau rasa ada tapi dianggap tidak ada. Sudah sangat mahir denga...