'Aku tersadar, aku berada dalam kegelapan. Tak ada cahaya disini. Hanya ada cahaya dari cendela. Aku tak bisa melangkah keluar, tapi aku juga tak merindukan cahaya itu. Matahariku telah pergi, Bulan ku ikut pergi bersama sinar matahari. Aku terlalu nyaman terjebak di kegelapan ini. Sampai aku tak sadar ada seseorang yang mengetuk jendelaku.'
Setelah sekian lama Ara kembali menuliskan itu. Hatinya gundah. Ada banyak bayang-bayang berkeliaran di kepalanya. Dan tiba-tiba puluhan luka kembali memenuhi hatinya. Ia tak tahu harus apa. Ia terlalu buta arah untuk melangkah. Terlalu malas untuk mencari tahu. Ia memilih untuk menikmati luka ini.
"Woy! Bengong aja lo!"
Ara tersentak. Tanpa harus menoleh ia tahu siapa pemilik suara ini. Suara yang selalu menemaninya. Dan tak pernah pergi dari sisinya.
"Kapan dateng?" Tanya Ara sambil menutup bukunya. Ia tak ingin orang ini tau apa yang tengah ia rasakan dan pikirkan.
"Baru"
"Jalan-jalan yok Ra!" Ajaknya dengan menyenderkan badannya pada kursi yang diduduki Ara.
"Kemana?" Tanya Ara santai menikmati senja di balkon apartemennya.
"Malem minggu kan? Biasa dong. Masa gak tau?!"
"Lo ngapain niupin ubun-ubun gue? Mau nancepin paku?" Tanya Ara jengah dengan kelakuan Langit.
Langit hanya tertawa. Andaikan saja Ara tau bahwa barusan ia tengah membacakan mantra pasti ia akan digeplak tanpa ampun. Maka dari itu tertawa jalan teraman untuk menjawab pertanyaan Ara.
"Ya Ra? Jalan-jalan!" Ucap Langit lagi dengan kegembiraan tak terbendung.
Ara menoleh, menatap laki-laki yang sekarang mengenakan kemeja biru muda dan kaos putih itu. Ia tersenyum seakan baru sadar.
'Langit emang ganteng dengan caranya dia.'
Langit mengangkat satu alisnya melihat senyum Ara. Bertanya-tanya apa yang ada diotak gesrek ini. Otak yang memiliki ingatan amburadul.
"Oke" ucap Ara menyetujui ajakan Langit.
Ara berganti pakaian. Mengenakan hoodie kotak-kotak merah hitam dan celana jeans sobek-sobek. Tak lupa sepatu putih untuk melengkapi penampilannya.
"Berangkat?!"
"Ya!" Sahut Langit cepat.
Mereka menaiki motor menuju taman dekat apartemen Ara. Tempat dimana dulu ia pernah menolong Jingga. Dan dengan kecepatan sedang mereka sampai setelah menempuh perjalanan selama 10 menit.
"Lo ngajak gue jalan tapi ujung-ujungnya kesini juga." Ucap Ara malas.
Dengan wajah datar ia duduk di bangku taman dengan lampu taman sebagai penerangan. Langit juga duduk disebelahnya dan dengan tenang menunggu kata-kata apa yang akan diucapkan Ara.
"Dulu, disini gue pernah nolongin Jingga. Posisinya dia masih pacar lo. Tapi dia punya masalah sama mantannya. Dan berakhirlah dengan adu tonjok." Cerita Ara tentang ingatannya dua tahun lalu.
"Emang Jingga punya masalah apa?" Tanya Langit yang tak mengetahui kejadian itu.
"Entah. Gue gak inget kenapanya. Yang pasti itu berhubungan sama mantannya." Ucap Ara santai.
Langit mengangguk untuk memberi respon. Ia tak terlalu heran dengan Ara yang hanya bisa mengingat sebagian dari cerita. Itu malah bagus menurutnya. Dibandingkan ia melupakan segalanya.
"Itu mantan lo bukan sih?" Tanya Ara sambil menunjuk cewek yang duduk tak jauh dari mereka.
Langit menajamkan pengelihatannya. Memastikan ucapan Ara benar atau tidak. Dan ketika ia sudah yakin ia mengangguk pada Ara. Mengakui cewek yang duduk tak jauh dari mereka adalah mantannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARA (tamat)
Novela Juvenil(Cerita amatir yang jauh dari kata layak) Ara Azia Denata.. Seorang cewek yang memilih untuk tetap tersenyum di tengah sejuta masalahnya. Ara sangat tau rasa tidak di inginkan. Sangat tau rasa ada tapi dianggap tidak ada. Sudah sangat mahir denga...