"Kemarilah akan aku ceritakan bagaimana aku bertahan"
.
.
."Rumah siapa, Ra?" Tanya Langit ketika memasuki rumah dengan gaya modern klasik.
Ara tak menjawab ia lebih memilih untuk melangkahkan kakinya memasuki rumah lebih dalam.
'Rese banget. Untung gue sayang.' Jangan tanya itu suara milik siapa yang pasti bukan milik Ara.
"Duduk Lang. Gue mau ke atas bentar." Ucap Ara lalu melenggang pergi tanpa mempedulikan jawaban Langit.
Langit memilih duduk sesuai perintah Ara. Selama menunggu, Langit tak henti-hentinya memperhatikan foto-foto yang bertengger di dinding ataupun yang berada di meja.
"Sebenernya ini rumah siapa sih?" Monolog Langit. Ia bingung selama matanya memandang yang ia tau itu adalah foto Ara. Dari Ara kecil sampai Ara sekarang juga ada.
"Ngapain lo clingak-clinguk?" Tanya Ara yang baru saja turun dari tangga.
Seragam yang Ara kenakan kini berganti dengan kaos hitam dan celana pendek selutut.
"Gak papa"
"Disini ada baju lo?" Tanya Langit setelah sadar penampilan Ara sudah berganti.
"Ya iya lah. Kan rumah gue." Ucap Ara memutar bola mata malas.
Langit memilih menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tak paham sekarang sedang berada di situasi apa. Yang ia tahu katanya Ara akan menunjukkan sesuatu padanya. Selebihnya Langit tak tau menau. Rumah siapa ini? Kenapa Ara mengajaknya kesini? Dan banyak lagi yang ia tak mengerti.
"Ini rumah gue." Ucap Ara sambil mendudukkan dirinya di sofa sebelah Langit. "Lebih tepatnya rumah lama." Katanya lagi.
"Oh" hanya itu yang Langit katakan. Biasanya otaknya selalu tanggap akan pembicaraan Ara. Tapi ntah kenapa untuk sekarang rasanya otak Langit tak lagi pada tempatnya.
"Lo gak bakal nemu foto unyu gue kalo di tempat momy Stella." Ucap Ara sambil menaikan satu kakinya ke meja. Gaya santai ala bos sedang Ara pratekan sekarang.
"Jadi... lo boleh puas-puasin ngeliat foto gue"
"Dapet hadiah gak?" Pertanyaan bodoh macam apa ini? Sejak kapan melihat foto mendapatkan hadiah? Jika iya, sepertinya kamu perlu tidur agar terwujud.
"Ini mau?" Ara menawarkan kepalan tangannya pada Langit.
Secara otomatis Langit menggeleng. Meski ia bisa bela diri, menghadapi Ara itu bukan suatu hal yang mudah. Syukur menang kalau KO? Iya kalau cuma KO, misalnya jiwanya meninggalkan raga bagaimana? No!!! Langit masih ingin menikah dan punya anak sebelas.
Ara menghela nafas. "Coba lo kesana!! Buka gorden warna merah. Ntar bakal gue ceritain sebuah kisah."
Langit itu penurut, baik, cakep, pinter, jago bela diri, dan banyak lagi nilai plus-nya. Tapi sayang semuanya gak berguna untuk Ara. Karna apa? Karna langit sama seperti ayam jago. Suka gonta-ganti pacar. Bukan cuma gonta-ganti, Langit bahkan nimbun pacar. Apa untungnya coba? Mending nimbun beras trus dijual. Kaya kan jadinya. Lebih bermanfaat dan berfaedah buat masa depan.
"Foto siapa Ra?" Tanya Langit terkejut.
Bagaimana tidak terkejut? Dibalik gorden merah yang Ara maksud ada sebuah foto. Dilihat dari gayanya sepertinya foto keluarga?
'Orang ini.... gue kayanya pernah liat...' Langit berfikir keras dimana ia pernah bertemu orang yang ada di foto.
"Foto gue sama keluarga gue." Ucap Ara santai tanpa beban.
"Trus apa tujuannya lo ngasih liat ini?" Tanya Langit bingung. Ia sekarang ingat laki-laki dalam foto ini adalah Papa Ara. Lalu apa tujuan Ara memperlihatkan ini padanya?
"Yang perempuan Mama gue. Sayangnya Mama udah gak ada sedari gue SD kelas 6."
"Dan gak lama setelah Mama meninggal, Papa gue nikah lagi. Nikah sama mantan pacarnya."
"Yang parahnya mereka udah berhubungan sebelum Mama gue meninggal. Gue gak paham kenapa bokap gue Kaya gitu."
"Tapi yang paling gue gak paham. Kenapa setelah nikah bokap ninggalin gue disini? Gue sendirian sampe akhirnya Dady sama Momy datang buat ngerawat gue." Cerita Ara panjang lebar.
Hidupnya tak semulus aksinya. Banyak hal telah terjadi dan meninggalkan luka yang dalam. Bagi Ara, sakit itu bukan hal asing dan ia sudah terbiasa merasakan. Jadi, jika ia diharuskan untuk sakit hati sekali lagi tak masalah. Karna menurutnya ia sudah terlatih dalam bidang itu.
"Gue seneng disaat orang yang seharusnya menginginkan gue gak perduli lagi sama gue. Gue masih punya orang lain yang perduli sama gue."
"Jatuh tapi gak jatuh banget. Itu yang gue rasain."
"Kadang gue mikir Lang. Bertanya-tanya. Bokap kangen gue gak ya? Bokap pernah mikirin gue gak ya? Bokap tau gak apa makanan favorit gue? Banyak lagi. Tapi... gue gak berani terlalu berharap. Takut... takut semuanya cuma harapan."
Ara menghela nafas. Yah meski sekarang sudah tak apa-apa tapi sesekali Ara akan merasakan rasa itu lagi. Rasa tak diinginkan, rasa tak dipedulikan, rasa tak dianggap ada, rasa kecewa yang tak terucapkan, banyak lagi rasa duka lainnya.
'Gue seneng lo cerita ini ke gue. Gue merasa istimewa dengan lo nyeritain ini.' Ucap Langit dalam hati.
"Gue tau Ra. Lo bukan orang cemen yang bakal KO. Tapi setidaknya sesekali lo boleh kok minta tolong gue atau yang lain." Ucap Langit dengan senyum menenangkan.
"Gue gak mau ngerepotin lo semua. Gue tau lo semua punya masalah masing-masing. Gue gak mau membebani kalian." Ucap Ara dengan dengan senyum. Ia benar-benar tak ingin.
"Gak papa kalo lo gak mau minta bantuan kita. Tapi... setidaknya lo cerita aja apa yang lo rasain. Jangan dipendem sendiri seakan-akan lo gak punya siapa-siapa."
"Lo punya kita Ra. Punya orang-orang yang perduli sama lo." Ucap Langit kemudian mendekati Ara.
Langit tak tau bagaimana rasanya menjadi Ara. Tapi yang pasti itu bukan hal yang mudah. Mengingat yang Ara lalui bukan perkara gemen-gemen secemen permen.
"Butuh waktu Lang buat cerita." Ucap Ara lalu jeda lama. "Butuh nangis berkali-kali buat siap nyeritain sebait apa yang gue rasain. Lagian..... gak mungkin gue nyeritain sambil nangis beleber-beleber gitu. Gue lebih seneng cerita sambil ketawa seakan-akan gak terjadi apa-apa."
"Air mata itu lumrah Ra. Malah kalo gak nangis gue curiga lo bukan manusia?" Kata Langit tertawa.
Sudah cukup jangan mengungkit rasa sakit. Disana masih banyak kebahagiaan yang belum diraih. Biarkan yang ingin pergi untuk pergi. Kita diciptakan bukan untuk menangisi yang telah pergi. Lebih baik kita raih apa itu mimpi bukan malah tenggelam dalam lautan air mata.
"Sialan. Gue manusia. Masih suka nasi masih suka jail. Masih suka ngeribetin Pak Dana." Ucap Ara tak lupa tangannya menabok Langit dengan kekuatan Terbesarnya.
.
.
."Orang yang menyakitimu bukan pahlawan. Untuk apa diingat? Lebih baik ingat kebahagiaan yang pernah kamu lalui. Bukan malah mengingat luka yang pernah kamu alami."
Fls_29

KAMU SEDANG MEMBACA
ARA (tamat)
Novela Juvenil(Cerita amatir yang jauh dari kata layak) Ara Azia Denata.. Seorang cewek yang memilih untuk tetap tersenyum di tengah sejuta masalahnya. Ara sangat tau rasa tidak di inginkan. Sangat tau rasa ada tapi dianggap tidak ada. Sudah sangat mahir denga...