"Aku diam bukan berarti tak bisa melakukan apapun, memahami apapun disekitarku, atau bahkan ketidakpedulian yang akut terhadap makhluk lain. Justru karena aku sering diam, dari situlah banyak sekali yang bisa aku lihat dari sisi yang tak bisa dilihat orang lain."
---
Lopa duduk dikursi dan didepannya adalah meja belajar yang begitu rumit. Banyak sekali sticky note dengan ukuran berbeda didindingnya, buku-buku yang berwarna-warni, kertas-kertas penuh coretan, pena yang banyak sekali jenisnya juga sebuah komputer yang dikelilingi stiker diseluruh pinggiran layarnya.
Hari libur yang membosankan. Tidak ada teman keluar, tidak ada rencana apapun, dia kekosongan belaka. Dia melihat kesekeliling kamarnya. Ada gitar listrik yang tertidur nyenyak diatas ranjangnya, gitar listrik yang menyala dengan warna merahnya. Gorden pintu yang ada dibalkon dipenuhi dengan kerajinan tangan aneh dari Lopa sendiri. Dan, dinding yang dipenuhi foto-foto artis kesukaannya.
Melihat itu semua, gadis itu menghela napas lalu menengadahkan kepalanya sembari duduk dikursi kayu penuh stiker itu. Melihat langit-langit kamarnya yang tampak hampa kecuali lampu itu.
"Aku sudah mengetahuinya, aku hanya ingin Metro jatuh terperosok. Aku ingin melihatnya, ingin sekali." Ucapnya dengan dirinya sendiri.
Kelulusan SMP...
Butuh perjuangan yang sangat keras untuk masuk ke Brillian Art. Dia sudah bisa masuk kesana, tinggal menjalaninya dengan baik.
Gadis muda itu kini berada di gudang rumahnya sendiri. Sudah lama sekali tidak pernah menengok tempat ini. Mirecleine Lovania, Lopa panggilannya. Dia begitu penasaran akan sesuatu hal, dia datang kesini untuk mengambil novel yang bundanya tadi malam ceritakan. Dia sudah masuk kedalamnya dan langsung menemukan buku itu. Bukunya tidak tipis juga tidak tebal. Cocok untuk dirinya yang seorang pembaca musiman.
Dia memegangnya erat lalu berlari kecil menuju kamarnya sendiri. Dia kunci kamarnya lalu duduk selonjor diranjangnya.
Kaget saat tahu kalau ada amplop berukuran sedang terjatuh ke lantai. Dia meraihnya, penasaran. Dia membukanya perlahan.
Surat dari panti asuhan?
"Ada namaku?" lirihnya lalu duduk dipinggiran ranjangnya.
Dia membasahi bibirnya sekali. Matanya terfokus, membacanya dalam hati.
"Apa ini?" Lagi.
Dia menghampiri komputernya, dia mengetikkan suatu kode kedalam sebuah situs. Dan, disanalah ada namanya terpampang jelas.
Nama : Mirecleine Lovania
Kode. Seri06Diberikan oleh keluarga besar Premiroirs atas nama dari putra tunggalnya Dazy Premiroirs dan Nyonya Sarina, mantan istri Vigas Mirecleine. Surat ini sudah disepakati dan sah oleh pendiri Metro juga yang terkait. Atas persetujuan itu maka kami dengan legowo melaksanakan penelitian peningkatan kecerdasan manusia untuk pertama kalinya di Metro. Salam kesejahteraan, salam Metro.
Dengan rasa hormat,
Gary AtlantuisaDia berteriak kencang, meneriaki bundanya. Semua itu nyata adanya.
Malamnya suasana menegangkan terjadi antara bunda, kakaknya Migas Mirecleine dan Lopa. Bisa dirasakan hembusan napas amarah milik Lopa. Bundanya merasa lemah saat itu juga. Meja makan itu terasa hampa dengan tangan yang masih diatas meja tanpa melakukan apapun.
"Aku bukan anak dari Mirecleine tapi mengapa nama belakangku Mirecleine? Seperti apa Dazy Premiroirs itu? Dia salah satu pendiri Metro? Lalu kenapa aku tinggal disini? Dan-"
"CUKUP!" Bentak Migas.
Pemuda itu sedikit terganggu, dia menatap Lopa sangat tajam.
"Sudah, kita makan dulu." Tutur bundanya.
Tangan Lopa mengepal dan mengeras diatas meja itu.
"Kenapa aku ditaruh di panti asuhan Modesita Lanka, panti itu untuk anak-anak miskin yang tak disanggupkan hidupnya oleh keluarganya? Siapa Vigas? Kenapa?!" Gertak Lopa seakan tak mau ada yang diam saja.
"CUKUP LOPA!" Bentak Migas sekali lagi.
Bundanya sudah menangis deras, begitu terluka melihat putrinya seperti itu.
"Berisik, Migas!"
Migas melotot atas apa yang dikeluarkan dari mulut Lopa. Ini sudah keterlaluan.
"Kau sangat mirip dengan karakteristik Premiroirs, keras dan tak mau dikalahkan!" Penuturan itu?
Migas beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan bunda dan Lopa.
"Aku adalah kelinci percobaan yang berhasil diciptakan, iya kan?" Desaknya kepada Sarina yang menutup mulutnya rapat-rapat dan tangisannya itu.
"Aku tidak bisa mengelak-"
Lopa menghentakan kakinya dan berdiri. Dia diam sejenak.
"Kenapa kau mau saja diseperti itukan apalagi dengan seorang pemuda berumur 28 tahun dan baru saja lulus SMA? Itu menjijikan!" Bungkam.
"Aku tidak tahu, Lopa. Bunda akan jelaskan semuanya nanti. Ini sangat rumit, nak. Bunda mohon, sangat mohon kepadamu. Lopa..."
Lopa pergi saja, dia tak mau mendengarkan apapun lagi untuk sekarang. Tapi yang pasti dia harus bertemu dengan orang yang bernama Dazy Premiroirs itu.
Setelah itu, satu minggu kemudian. Lopa yang tak mau keluar sama sekali dari kamarnya. Gadis itu sangat fokus selama satu minggu didepan komputernya. Lopa tidak mempunyai teman kecuali Shu dan Ryujin saja. Karena dia pernah melakukan kesalahan. Saat itu adalah ujian akhir kelas satu SMP, entah karena kesombongannya dalam hal meretas sebuah situs. Dia meretas situs milik sekolahnya dan mencuri soal ujiannya. Dia mencurinya lalu mengerjakan di rumah dan mendapatkan nilai paling tinggi di SMPnya tapi beberapa hari kemudian dia dipanggil bersama bundanya untuk menyelesaikan masalah peretasan itu. Dia peretas berbahaya, itulah sebutan untuk dirinya selama berada di SMP.
Dan kini, dia juga melakukan peretasan besar-besaran. Dia sudah berada dilaman yang tak pernah bisa orang lain temukan. Dengan begini, semua informasi yang dia butuhkan sangat mudah.
Dia menghela napas sangat panjang. Dia membaca satu persatu dokumen-dokumen penting yang ada di Metro.
"Orang-orang kejam, tidak akan bisa diselamatkan dalam jangka waktu yang panjang..." dia mencuri beberapa dokumennya, "Aku akan membalasnya."
"Orang-orang paling bodoh sedunia, pendiri Metro yang kehausan tahta, harta dan duniawi yang ada."
Lopa lalu berjalan keluar dari kamarnya, dia ingin minum sesuatu yang dingin tapi manis. Sampai dibawah, bisa dilihat sosok pemuda sedang mengobrol dengan Bi Midah.
Pemuda itu merasakan kehadirannya, dia tersenyum kepada Lopa.
Atha, Athanase Atlantuisa. Yang membuat Lopa tahu bahwa kembar itu tidak pasti satu rahim tapi bisa satu kesakitan yang sama.
---
AruHanjina
Semangat🍉
KAMU SEDANG MEMBACA
[METRO I] HE'S PSYCHOPATH?
De Todo"Kalian akan mati..." - Athanase Atlantuise Cerita ini mengandung banyak kesadisan. Dimohon pengertian, terima kasih. CERITA SUDAH TAMAT