Ke-Tiga puluh Dua

33 17 0
                                    

•~Sakit adalah penabur dosa, jadi banyaklah berdoa dikala apapun~•

Bisma masih dengan ice cream yang dipegangnya, menunggu Erika keluar dari toko aksesoris tapi tidak mengizinkan cowok itu ikut dengannya kedalam. Sebagai janjinya Erika akan kembali, Erika menitipkan ice nya pada Bisma. Bagus bukan?

Selesai membayar ke kasir, Erika keluar dengan kereseknya. Ia melihat Bisma yang meratapi ice miliknya mulai meleleh. "Aduh sorry ya Bis lo jadi lama nunggu gue"

"Hm"

Erika membawa ice nya dari tangan Bisma, ia menjilatnya kembali dan menghabiskannya tepat saat sampai parkiran. Bisma melirik tangan kirinya, melihat arah jarum jam yang menunjukan pukul 11 malam. Bahkan selarut ini Erika masih belum ingin tidur, cewek itu terus menyanyi nyanyi dibelakang Bisma

Sesampai dirumah Erika, Bisma pamit dan segera menuju rumah sakit. Perasaan sudah tidak enak, takut takut ada masalah dirumah sakit. "Rik, gue balik dulu ya"

"Ya, makasih ya Bis"

"Sama sama. Inget gosok gigi cuci muka terus ganti baju"

"Lama-lama lo jadi bokap tiri deh"

Erika tertawa hambar, begitupun Bisma. "Gue mau jadi mantunya aja"

Erika menyunggingkan senyumnya, ia mendorong pagar rumahnya dan melambaikan tangan sebelum Bisma benar-benar pergi.

**

Masih dengan perasaan tidak nyaman, gadis berwajah pucat pasi dengan beberapa selang ditubuhnya membuat ia merasa nyeri. Tubuhnya sudah benar benar kaku.

Dorongan pintu membuat Fanya menatap tubuhnya. Bisma datang dengan martabak ditangannya. Kedatangan Bisma membuat Fanya sedikit banyak diam. Ia tidak ingin mengganggu istirahatnya Bisma, padahal ia sendiri dari tadi ingin buang air.

"Lo gak tidur Fan? "

Fanya menggeleng berat, tangannya masih setia memegangi kertas panjang yang diberikan dokter. Perlahan matanya kembali ia buka, masih dengan keadaan kantuk yang tertahan, perut yang tidak sabar ingin ke toilet benar-benar menjadi penghalangnya malam ini.

"Oh ya gue bawa martabak, lo mau? Biar gue potong kecil"

"Ngg-gak Bis. Gue pengen ke toilet"

Akhirnya Fanya mengaku, ia akan kembali merepotkannya. Bisma berusaha keras membangunkannya, ia sedikit menuntun Fanya dalam dekapannya untuk ke toilet.

Mendengar teriakan-teriakan Fanya yang keras dan penuh tekanan, membuat Griyyan yang pulas memelekan matanya. Melihat Bisma yang berdiri diambang pintu toilet terlihat begitu gusar.

Griyyan yang berawal dari tak tega, datang menghampirinya dengan wajah setengah sehat.

"Bis? Lo kenapa? " tanya Griyyan setelah menguap yang begitu panjang

"Nggak. Lo ngapain? "

"Bantu lo, denger teriakan ditoilet ganggu banget. Dia didalem ngapain? Tidur? atau ngelindur sih? "

Bisma tertawa, "Yauda lo tunggu dia ya. Gue ngantuk banget"

"Hm" Griyyan kini beralih pada tempat Bisma, ia menunggu Fanya yang belum juga selesai. "Udah belom sih! " teriakan Griyyan membuat Fanya tersentak.

Pintu terbuka menampakan Fanya yang kian hari kian memucat. "Kok jadi lo sih? "

"Si Bisma molor. Udah cepet gue bantu lo ke habitat. Gak baik buat kesehatan lo, harusnya lo banyak istirahat"

Fanya menurut saja, kini tangannya ia lingkarkan pada leher jenjang Griyyan, berjalan lebih dekat dengannya membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Meski Griyyan mempunyai watak yang cuek, ngasal, dan menyebalkan tetap saja ia terlihat dewasa dari Bisma.

Sedekat dekatnya Fanya dengan Bisma, ia sama sekali tidak melihat bahwa Bisma akan berbicara halus. Palingan juga Bisma akan melarang ini itulah, mengomelinya lah, dan banyak lagi.

Berbeda dengan Griyyan, meski cuek dari awap hingga akhir ia tetap perhatian dibalik katanya yang misterius. Dan Fanya suka itu

"Bis, Gry. Gue ada surat dari dokter, tadinya gue mau nyimpen aja. Tapi gue rasa gue mau dewasa aja kayak lo pada, gak ada rahasia"

Griyyan menarik kertas yang dibawanya, ia melihat hasil lab dan keterangan untuk Fanya.

"Itu hasil dari dokter, dia bilang gue udah stadium akhir. Gue harus cuci darah seminggu dua kali. "

"Lo pasti sembuh Fan! Gue percaya itu, sekarang lo tidur aja" Griyyan melipat kembali kertasnya, ia menyimpan hasil skenan dokter kedalam laci.

"Nggak! Gue gak percaya itu. Lo jangan terus ngasih gue kesempatan Gry. Gue tahu lo bohong"

"Dokter itu bukan Tuhan Fan! Itu cuman prediksi, nyawa tuh ditangan Tuhan"

"Gue udah gagal ginjal Gry. Gak ada donor yang cocok buat gue, lalu buat apa yang gue harepin? Selain gagal ginjal gue punya kelainan di jiwa gue. Gue tes kejiwaan waktu itu, dan Bisma tahu. Gue punya kelainan diparu-paru juga, gue stress. Gue gak bisa hidup lama lagi. Kejiwaan gue ke ganggu hingga gue kayak gini. Gue sama sekali gak takut mati, bahkan gue lebih senang didekati dengan kematian. Tapi sisi lain gue takut, dan itu cuman sebentar-"

Fanya berhasil menitikan air matanya, ia terus berusaha berkata namun tidak jelas.

Yang lebih jelasnya, Edo merasa terganggu dengan teman-temannya sisebrang sana. Griyyan mendorong tubuh Bisma hingga menubruk tembok. "Lo gak pernah bilang itu ke gue. Kenapa Bis? Gue sobat lo, tapi lo nutupin semuanya dari gue! Lo nyimpen kesedihan seseorang sendiri! Lalu buat apa ada gue! "

"Gue tahu Gry. Tapi gue nunggu waktu yang tepat!" Bisma tak kalah marah, ia menaikan pitam hingga suaranya melebihi kerasnya suara Griyyan

"Jangan mentang-mentang lo deket sama Fanya lo nyembunyiin semuanya dari gue Bis. Gue kecewa sama lo, tahu gini gue gak sudi nginjek tempat ini!"

Griyyan melepas kerah Bisma. Ia menghempaskan tubuh Bisma hingga terdorong asal, menyambar kunci motor dan jaketnya membuat Fanya semakin menjerit.

Edo berusaha mengejar Griyyan yang berjalan jauh meninggalkan kamar, terlihat pria itu sangatlah murka. Namun keputusan Griyyan mebyat Edo sadar, ia akan kembali ke tempat dan meleraikan suasana

"Fan, gue selimutin lo ya"

Edo menarik selimutnya sampai keatas dada. Isakannya tak kunjung berhenti, bahkan Fanya batuk-batuk membuat Edo memilih untuk memencet tombol merah diatasnya.

Kedatangan dokter dengan suster membuat Bisma berdiri, memegani tubuhnya yang masih terasa nyeri. "Kami akan memeriksa pasien, kalian harap tunggu diluar saja"

Edo menarik Bisma agar mengikuti intruksi dokter, pintu yang tertutup rapat membuat Edo bersikeras menyaksikan proses pemeriksaan dokter di balik kaca pintu

"Bis, ini gegara lo pada. Lo pada kenapa sih? Gak ada dewasa banget!"

Edo mengomelinya dengan kesal, ia hanya melihat Bisma duduk saja menundukan kepalanya menangis.

ERIKA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang