Ke-Tiga puluh Delapan

28 11 2
                                        

•~Memberikan pilihan bukan berarti memutuskan akhir dari prioritas, melainkan menguji perasaan bahwa hati tidak bisa dibagi~•

Egy berhasil melepaskan pulpen ditangannya, dadanya yang teramat sakit dan tubuhnya yang sudah lemas tak mampu membuatnya berlama-lama untuk tetap berdiri.

Egy memilih menghentikan tugasnya, ia meraih ponselnya dan segera mengirim pada sang subjek.

Meski beberapa pesan Egy kirimkan, subjek tak kunjung membalasnya. Berharap Erika tidak marah dengan kepergiannya lagi secara tiba-tiba.

Suara ketukan pintu kamar membuat Egy mengalihkan pandangannya.

"Mari den, kita ke rumah sakit terlebih dahulu"

"Oh iya mang, sebentar lagi saya mau barang-barang ini ke panti" rengek Egy tak ingin lupa dengan janjinya

"Baik den. Biar saya bantu"

Selesai mengemas beberapa maiann dulu Egy, dan bahkan baju yang sudah tak terpakai Egy memilih untuk menyumbangkannya pada panti asuhan. Dan bahkan sebagian dari warisnya ia akan berikan pada panti.

"Mang, makasih banyak ya. Akhirnya bisa selesai juga" Egy terus menderek kopernya keluar rumah. Ia sudah siap melandas malam ini, semoga tujuannya tercapai

"Sama sama den. Aden gak usah cape-cape den. Biar amang aja yang bawa"

"Oh ya mang, sebelum pergi nanti saya mau kita mampir ke toko dulu"

Sopir pribadi yang sudah lama menetap dirumahnya Egy, mengangguk dengan senang hati. "Baik den" ia menutup kembali bagasi mobil dan membukakan pintu untuk Egy

**

"Kak Fatimah? Erika makasih banyak ya sama kak Fatimah. Udah mau bantu Erika sejauh ini"

Fatimah yang merasa dipuji berlebihan membuatnya sedikit salah tingkah, "Ah kamu bisa aja deh. Sama sama Erika, saya bangga sama kamu"

Erika tersenyum hambar, ia melirik jam yang melingkar ditangannya.

"Kalo gitu Erika mau pulang ya kak, kasian mama dirumah sendiri"

"Oh yasudah hati-hati ya"

Erika kini berjalan sendiri setelah pulang dari GO. Dan tepat pada hari ini di GO nya hanya untuk konsultasi sekolah saja, jika sewaktu-waktu Erika tidak lolos dalam beasiswa nya.

Ia melihat ponselnya yang mati, dan mau tidak mau ia harus pulang tanpa menunggu Egy. Sudah dari tadi sepertinya Egy pulang lebih dulu, dan Erika memutuskan untuk pulang sendiri

Erika kembali membawa ponselnya dan memasukan colokannya agar segera terhubung. Benar saja Egy telah menyepamnya dengan sebuah pesan

Erika buru-buru membukanya dengan cepat.

Egy

|Erika, aku minta maaf. Hari ini aku gak bisa jemput kamu. Mungkin lusa aku baru bisa| 13.10

Egy

|Oh ya, Jangan lupa belajar sungguh-sungguh. Jika sewaktu-waktu kamu ada masalah jangan sungkan tanyakan padaku, aku ingin berusaha jadi manusia terbaik| 13.10

Egy

|Erika? Aku minta maaf sekali lagi. Kamu doakan aku untuk pergi ke luar negeri malam nanti. Kamu tak perlu kesini, nanti biar aku videa call ya. Kamu kan harus les, dan harus lebih semangat mengejar cita-cita. Jadilah pribadi yang membanggakan| 15.12

Argh...Erika. membalasnya dengan sedikit kecewa, ternyata sejam lagi Egy akan landas kembali.

Namun ponselnya bergetar kembali lebih lama, dan ternyata Egy menepati janjinya ia memvideo call pada Erika. Erika mengangkatnya dengan semangat, melihat kecerian Erika membuat Anggun kembali senang, ia mulai mendatangi secara tiba-tiba dibalik punggungnya.

Erika menutup bagian layarnya malu, "Mama... Erika malu ih"

"Masa sih sama mama sendiri malu"

Nampaknya Egy tersenyum kearah Anggun yang baru saja diizinkan untuk melihat Egy disebrang sana. Melihat wajahnya yang pucat tak menghalangi ketampanannya.

"Erika, aku tutup ya. Ingat, jadi pribadi yang membanggakan. Semoga aku selalu menjadi kenangan"

Erika yang sedari tadi hanya tersenyum,kini meleraikan senyumnya. Ia menatap haru pada Egy yang menundukan kepalanya. "Aku tutup ya"

"Iya. Hati-hati" sambungan terputus tiba-tiba. Tapi ini memang yang terbaik, Egy memilih untuk pergi dan berobat. Sedangkan Erika? Ia hanya mampu menemaninya sampai sini.

"Egy makin ganteng aja ya sayang, pantesan aja nempel teros" ledek Anggun membuat Erika salah tingkah. Erika beranjak dari kasur, ia membuka buku nya untuk belajar.

"Kalo boleh mama tahu, Erika mau pilih siapa diantara Bisma sama Egy?"

Erika menyimpan pulpennya kembali, ia menatap mamanya yang masih duduk diatas tempat tidur.

"Emm Erika gak tahu ma, mereka bukan pilihan. Egy masalalu Erika, tapi Bisma-Erika juga gak tahu ah. Mama kenapa ngomong gitu? Erika kan jadi malu"

Anggun hanya terkekeh, akhirnya ia beranjak dari tempat tidur untuk menyambut Afgan diluar. Suara klakson dari tadi pun tak kunjung berhenti

Titt tittt titttt

"Mama nemuin suami tercinta ya sayang, semangat belajarnya. "

Erika malah tertawa mndengarnya, hanya geli yang ada dipikirannya.

Dilain tempat Bisma sedang memainkan ponselnya diatas kursi. Kedatangan Ardan tak disambut baik olehnya. Ardan merampas ponsel Bisma dengan mudah kemudian beliau menyimpannya diatas meja

"Papa..argh...pa...argh"

"Apa? Mau pura-pura lagi kerasukan?"

Bisma berhenti bergeliat, ia hanya nyengir menampakan giginya yang rapih. Tubuhnya yang hanya ditutupi kaos dan kolor, terlihat sangat sexy bagi Ardan.

"Kamu gak lagi itu kan-"

"Apaan? "

"Ini? Barusan kamu nonton apa? "

"Apa sih pah, dora juga bukan. Nanya terus"

Bisma merenggut ponselnya yang tidak jauh, justru membuat Adran kembali merampasnya dan meletakannya lebih jauh

Bisma mengacak rambutnya frustasi, Ardan memang sudah seperti temannya sendiri. "Pa..jangan kayak anak muda bisa gak sih"

"Kamu ya mau papa sumpal tuh mulut pake alkohol! "

"Nah hayoh... Gak sekalian pake sabu-sabu tuh biar dosanya gak nanggung"

"BISMA!!! "

Bisma tertawa sembari berlari ke kamarnya, untung saja ia berhasil membawa ponselnya kembali.

ERIKA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang