•~Jangan mau terus dihakimi, sesekali kita perlu berani untuk menghantam~•
Erika membuka sepatunya didepan rak, ia melihat dimeja makannya penuh dengan makanan. Ada acara apa? Itu yang harus ditanyakan. Namun ponselnya berderit memaksa untuk dijawab
"Mama"
Erika mendekatkan ponselnya dekat telinga, sesekali ia melihat sekelilingnya yang kosong.
"Hey sayang, Mama keluar sama Ayah, gak papa kan? Soalnya kami akan menemui nenek beliau sakit Erika"
Erika menghela nafasnya berat, sebetulnya ia tidak terlalu berani dirumah sendiri. Tapi ya mau bagaimana lagi "Iyaya ma gak papa"
"Oh ya jangan lupa makan mama udah siapin, mama juga tadi nitip beberapa barang dikamar kamu ya"
"Iya ma"
"Kalo gitu selamat istirahat sayang"
"Makasih ma, sampaikan salam Erika buat nenek"
"Iya pasti"
Erika menyimpan ponselnya kembali berniat mengganti pakaiannya dan mencari Fanya keluar. Barangkali saja ia berpapasan atau tidak ia mendapatkan informasi
Tapi sebelumnya, Erika pernah mencoba menghubungi Fanya hp nya tidak aktif dan mau tak mau ia harus terjun turun tangan. Erika merapatkan cardigan yang dikenakannya, celana pendek beserta rambutnya yang dibiarkan terurai.
Setelah selesai tidak lupa ia membawa sepeda ontelnya, sudah lama sepertinya ia tidak memakainya kembali. "Sayang banget kan kalo ditaro. Dari pada uang habis buat bayar kendaraan mendingan bawa sepeda biar sehat" gumamnya
Erika meninggalkan halaman rumahnya, langit nampaknya mendukung lumayanlah lebih cerah dibandingkan kemarin. Erika menurunkan kedua kakinya sebagai pemopang, ia masih berada di bawah flyover kelelahan
Kedatangan seorang gadis membuat Erika nampak terpaku setengah percaya. "Hai? "
Erika mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha yakin bahwa didepannya ini adalah nyata.
"Fanya? " melihat itu Erika segera turun dari sepedanya dan memeluk Fanya erat.
"Lo apaan sih" Fanya melepas lingkaran tangan Erika dilehernya, karena ini sudah benar-benar memalukan. "Gue seneng ketemu lo"
"Lo cantik ya Rik, pantesan aja Bisma nempel teros"
"Apaan sih" Erika menahan tawanya yang ingin meledak, baru kali ini Fanya bersikap lembut. "Oh ya Fan, gue mau minta maaf soal-"
"Gak apa, gue udah maafin lo kok"
"Tapi...gue janji akan kasih lo sesuatu" girang Erika membuat Fanya tersenyum.
"Lo apaan sih Rik, gue gak butuh hadiah. Gue butuh lo ada, cuman itu sih" Fanya melihat raut wajah Erika berubah menjadi sendu, mengingatkan kembali dengan kesalahan Erika yang tidak ada untuknya malam itu.
"Fan.. "
"Em sorry Rik, maksud gue gak itu. Lo gak salah, mereka orang tua lo. Dan gue salut lo berbakti sama mereka" Fanya memeluk Erika yang kian memeluknya kembali, saling mengerti adalah kunci kebahagiaan.
"Thanks banget Fan, lo sahabat gue yang paling ngerti"
"Gue juga makasih lo udah mau temenan sama gue"
Kali ini Erika melepas tangannya yang terus memeluk erat, menatap Fanya lekat seakan ingin mengingat selalu wajah riang dan garangnya dia.
"Gue aneh Fan sama dunia. Gue ingin banget rasanya ngadu"
"Sebetulnya gue mau cerita banyak ke Bisma, tapi dia gak bisa buat gue nyaman"
"Cie.. Jadi lo nyoba buat nerima dia nih ceritanya? " Fanya terkekeh mendengarnya, meski ia gadis nakal tapi jangan salah kepekaannya lebih tinggi dari siapapun
"Nggak gitu. Mereka ngajak gue darting mulu, lama lama kesel sendiri. Andai aja gue bisa muter waktu, gue mau kembali ke panti atau enggak nyusul-"
"Lo gak boleh ngomong kayak gitu Erika! " Erika tersentak begitu kala Fanya menekan kalimatnya.
Fanya membalikan badannya menghadap lain, menarik wajahnya agar mendongak keatas menatap langit.
"Ada seseorang yang pernah bilang, Jika waktu bisa diputar semua orang dimuka bumi ini gak akan pernah belajar dari hidupnya"
"Gue yang denger aja langsung jealous dong! Gue yang hampir mau akhirin hidup gue juga gak jadi. Semua akan sia-sia pada waktunya"
Erika masih dengan setengah pikir untuk mencermati apa yang Fanya katakan, penuh teka-teki. Sedikit namun pasti Fanya kembali membalikan badannya agar benar-benar saling berhadapan dengan Erika.
"Dia juga bilang, kita mati tuh bukan ngilangin masalah, justru itu awal dari masalah. Dan disana gue cuma bisa nangis doang gak tahu harus ngapain. Gue udah salah besar, harusnya gue ikutin semua alur yang Tuhan buat. Gak semua takdir itu mutlak kok, ada yang mesti kita ubah"
"Em..sorry Fan, gue buat lo sedih ya?"
Fanya menggeleng pelan, "Enggak Rik, justru gue lega udah ngomong ini sama lo. Oh ya lo acara apa nyari gue tadi? "
Akhirnya Fanya menatap Erika yang kian menatapnya sendu, berusaha tetap yakin bahwa Erika akan mengerti apa yang disampaikannya tadi.
"Udah tiga hari lo gak masuk, guru pada nanya. Dan bener kata Jessie, kayaknya gue gak bisa buat lo percaya ya?"
"Lo jangan mau dihakimin sama orang Rik. Sesekali lo belajar berani, bukan berarti Jessie pernah jadi sahabat lo, lo jadi gak enakan sama dia" tukasnya enteng, lantas membuat Erika melotot bertanya
"Lo tahu darimana? "
"Gue gak sengaja lihat foto lo bareng Jessie. Sorry ya,"
Erika diam tidak menjawab, sejujurnya ia ingin membalas tapi tak bisa. Bagaimana pun Jessie sempat seperti Fanya disisinya.
"Semua bakalan baik baik aja kok Rik, lo tinggal ikutin alur dan berdoa. Semoga nasib lo jauh lebih beruntung dibanding gue"
"Ya semoga. Gue udah beruntung bisa ngomong langsung sama lo. Dan gue beruntung lo pengertian banget, itu diluar dugaan gue Fan" Erika terkekeh dengan wajahnya yang ingin berteriak keras, Fanya pun ikut tertawa
"Iya sih..oh iya kita makan yuk, gue laper nih" rujuk Fanya menepuk nepukan tangannya didepan perut
"Yauda gue bawa sepeda dulu, lo mau bareng? "
"Ha? Gimana ceritanya gue naik sepeda bareng lo? Nggak ah. Gue jalan aja deh" deliknya
"Yeah gue juga maksudnya lo bantu dorong"
"Sialan".
KAMU SEDANG MEMBACA
ERIKA [TAMAT]
Ficțiune adolescenți| PERBAIKAN | MOHON MAAF BILA BANYAK TYPO Ketika kamu percaya bahwa tidak ada sahabat sejati di dunia ini, lantas apa yang kau pikirkan setelahnya? berteman dengan kemunafikan? atau berteman dengan kebohongan belaka? -Erika- Namun, seorang Bisma ya...