•~Terkadang memisahkan diri merupakan cara terbaik dari lingkungan yang tidak ingin menerima kehadiran kita~•
"Bu saya izin ya mau ke kantin"
Suara Bisma seketika membuat seisi kelas semakin ricuh, mereka segera gunakan waktu yang tersisa untuk mencontek pada temannya.
"Kalo sudah sih, ya sah-sah aja"
Bisma mengangkat alisnya begitu, ia berjalan membawa kertas ulangannya dan keluar kelas melambaikan tangannya enteng.
Tatapannya beralih pada gadis incerannya yang berjalan membawa rapot didadanya
"Wit wiw..cewek godain aku dong"
Erika mengangkat bibirnya jijik, ia melihat Bisma layaknya ulat yang menempel pada ranting. Cowok itu memeluk tembok sebagai penahan bangunan yang kokoh dengan mengangkat satu kakinya menempel.
"Cowok stress"
"Wah..lo bisa dipidana tahu gak Rik. Lo udah masuk kepasal-"
"Yang gak mengenakan hati. Udah tahu" potong Erika cepat. Gadis itu tetap berjalan mengabaikan Bisma
"ERIKKKKK"
Teriakan Bisma tak dihimbaunya, baiklah sepertinya Bisma akan ke kantin saja mengisi perutnya yang kosong setelah itu ia menggoda kembali Erika
Sepanjang koridor ia melihat beberapa segerombolan cewek cewek sedang bergosiplah, main game lah, bercanda lah, bahkan belajar pun ada. Ternyata Bisma baru tersadar bahwa Erika bukan dari sebagian mereka, kenapa dengan Erika? Sepertinya ia belum pernah melihat gadis itu bergerombolan. Haha terlalu jauh, jangankan seperti itu melihat Erika berdua saja dengan gadis lain ia belum pernah melihatnya
"Fanya!" pekik Bisma membuatnya menoleh malas
"Woles men. Woles, kita belum kenalan ya?" Bisma mengulurkan tangannya percaya diri
"Gue Bisma cowok ganteng-"
"Yang halalin semua cara buat dapetin cewek!" sambung Fanya gemas. Kedua ujung bajunya yang dilinting tak membuat Bisma takut, ia percaya senakal nakalnya Fanya jika dibentak sekali saja akan nangis. Hehehe
Bisma meraih tangannya kembali, sangatlah tidak lucu bila di abaikan.
"Kok lo gitu sih ah, gak asik ah gak asik"
"Lo ya! Udah godain Erika terus sekarang ke gue gitu? Lo pikir gue mau?! Ngotak dong!"
Bisma menelan salivanya pasrah. Siapa juga yang mau godain cewek ngeselin kayak si Fanya. Batinnya
"Yaudahlah gak penting lupain. Gak jadi kenalan" Bisma gengsi jika ditolak, ia mulai memundurkan badannya dan berjalan menuju kantin. Emang ya gadis-gadis di SMA ini sulit sekali untuk ia goda.
**
"Akhir-akhir ini nilai kamu turun Erika. Kenapa coba? Katanya mau ambil beasiswa buat kuliah nanti. Bisa-bisa nanti kamu kalah dengan orang diluaran sana. Kamu banyak pikiran?" tutur pak Gunawan selaku wakasek yang mengurusi bidang registasi beasiswa untuk anak kelas 12
"Kamu ada masalah apa Erika?adakah kesulitan dalam belajar? Oh ya, selain nilai pribadi, nilai kelompok seperti kita belajar di lab itu juga perlu Erika. Setelah saya baca hasil analisis kamu selalu berbeda dengan teman kelompok mu"
"Tapi saya ngerjain maksimal pak. Apa ada yang kurang? Bukannya perbedaan itu ada?" tanya Erika
"Bukan bukan itu. Saya akui kamu pintar, kamu rajin, kamu bisa disegala bidang, tapi nilai kelompok kamu juga harus masuk Erika. Bukankah itu yang sering saya sampaikan?. Terkadang bersosialisasi juga perlu, meski menurut kamu nantinya kamu sekolah sendiri"
"Kamu seharusnya lebih bersosialisasi lagi, mau diajak kerjasama, mau menerima kelebihan kekurangan dalam kelompok. Bukan seperti bu Elang, kamu bilang kamu memisahkan diri jika ada tugas kelompok. Bahkan disetiap pelajaran kecuali Biologi dan Kimia katanya" sambung pak Gunawan sebagai akhir dari pembicaraannya.
Sejujurnya Erika juga bersedih mengapa ia tidak seperti orang lain? Yang secara mudah mendapatkan keakraban dari lingkungannya? Mengapa ia harus banyak beradaptasi?. Dan bahkan mengapa selalu ia yang harus disalahkan?
"Sebelum terlambat kamu coba ya masukan nilai kelompok, biar nanti kamu terbiasa dijenjang yang lebih tinggi. Kalo boleh saya tahu, kamu kenapa lebih milih memisahkan diri Erika? Bukankah apapun jika dikerjakan bersama-sama akan terasa lebih ringan?"
Erika menahan air matanya yang ingin terjatuh, ia seperti ini bukan keinginannya. Ia seperti ini karena keadaan yang terus mendesak.
Erika menyusut ujung matanya saat menundukan kepala. Ia menguatkan dirinya untuk tetap tegar menahan hawa nafsunya dihadapan pak Gunawan yang selalu memberikan pengarahan dan pengertian kepadanya.
Perlahan Erika mengangkat wajahnya melihatkan senyuman keterpaksaan yang dibuatnya.
"Maaf pak, sebelum saya mau bergabung bersama mereka, apakah mereka mau kedatangan saya? Harusnya itu yang ada dibenak bapak jika bapak sudah tahu konsidisi saya. Saya seperti ini bukan keinginan saya pak. Saya didesak dimana suatu keadaan tidak berpihak lagi kepada saya. Jika bapak keberatan untuk mempertahankan saya untuk beasiswa itu, saya tidak masalah. Sekalipun bapak mencabutnya untuk saya. Saya minta maaf pak, saya sudah lancang, saya sudah tidak bisa disalahkan dengan satu pihak saja. Saya permisi, terimakasih sebelumnya"
Erika beranjak dengan memundurkan kursinya kebelakang, ia mulai meyusut air matanya yang terus membanjiri wajahnya. Kelopak matanya sudah tidak mampu menahan bendungan yang terus ingin keluar.
Melihat Erika yang keluar dari ruangan wakasek membuat Griyyan berinisiatif mengikutinya. Pasalnya Griyyan melihat Erika dengan wajah sendu yang terus mengusap ngusap wajahnya
"Bisma harus tahu soal ini"
Griyyan berlari mencari keberadaan makhluk itu. Barangkali saja Bisma bisa membantu Erika..ya meski sangat minim pengharapan
Suara bel pulang menyaring membuat beberapa siswa memasukan alat tulis mereka kedalam tas dan bersiap untuk pulang.
"Baiklah saya tutup pelajaran."
Seisi kelas berhamburan keluar, tetapi Fanya masih melihat kursi sebelahnya yang tidak berisikan apapun. Hanya tas Erika disana, ia melihat sendu jika Erika membolos pada pelajaran yang penting sih untuk UN nanti. Tapi kenapa Erika mau membolos?
Ia melihat bu Elang dengan pak Gunawan sedang berbicara serius diambang pintu. Ah mungkin mereka lupa bahwa didalam kelas masih ada Fanya yang membawa tas Erika.
Pintu terhalang oleh keduanya yang terus beradu mulut entah soal apa. Mungkin jika diperdekat Fanya bisa sedikit menyimpulkannya.
"Em. Kamu kenapa Fanya?" Fanya yang terus mengamati keduanya bergantian kini ditatap bu Elang sinis
Fanya menahan geramannya, ia tidak peduli mendapat nilai jelek dari bu Elang sekaligus. "Nggak. Saya mau keluar tapi terhalang yauda saya nunggu aja."
Bu Elang salah tingkah, ia memundurkan tubuhnya memberi Fanya sedikit jalan.
"Ya seharusnya bapak mengerti Erika seperti apa. Kenapa bapak hanya menyebut saya saja? Bukankah guru lain pun beranggapan sama seperti saya?"
"Loh bu, bukan saya tidak bermaksud menjelek jelekan nama ibu. Tapi saya hanya memberi contoh"
Fanya segera berlari mencari Erika. Ia juga berusaha mencari Bisma ke kelasnya. Namun hanya segerombolan siswi yang keluar dari kelasnya
Fanya mengatur nafasnya yang terus membara. "Em sorry, lo ada lihat Bisma gak?"
"Nggak, dia keluar dari tadi sama temennya"
"Oh gitu ya. Thanks banget"
Fanya berlari lagi entah tujuannya sekarang kemana. Ia sedikit memperkecil larinya beralih dengan langkah menuju pria yang melipat kedua tangannya sedang menyender pada tiang.
Matanya yang lurus menatap dedaunan hijau membuat Fanya menyimpan punggung tangannya di dahi.
Griyyan buru buru menepis tangan Fanya dengan datar. "Beraninya ya lo megang gue"
"Bodoamat. Bisma mana?"
Griyyan mendelik. Tidak ada untungnya jika ia memberitahukan Fanya. "Gak tahu cari aja sendiri"

KAMU SEDANG MEMBACA
ERIKA [TAMAT]
Teen Fiction| PERBAIKAN | MOHON MAAF BILA BANYAK TYPO Ketika kamu percaya bahwa tidak ada sahabat sejati di dunia ini, lantas apa yang kau pikirkan setelahnya? berteman dengan kemunafikan? atau berteman dengan kebohongan belaka? -Erika- Namun, seorang Bisma ya...